Israel Jadikan Kelaparan di Gaza sebagai Senjata

Tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November

EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Pengungsi Palestina menyiapkan roti menggunakan kayu bakar akibat kekurangan gas di kamp pengungsi Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 17 November 2023. Lebih dari 11.000 warga Palestina dan setidaknya 1.200 warga Israel tewas, menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Israel.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA --  Samar Rabie bertanya-tanya bagaimana caranya bisa memberi makan 15 orang yang tinggal bersamanya. Ibu empat anak ini menjadi tuan rumah bagi teman-teman suaminya dan keluarga mereka yang mengungsi dari Gaza City ke rumahnya di Khan Younis. Dia berjuang untuk mendapatkan bahan-bahan pokok seperti roti.

“Saya pergi ke salah satu mal untuk membeli beberapa barang, tapi saya tidak menemukan apa pun,” kata perempuan berusia 28 tahun ini dikutip dari Aljazirah.

Rak-rak kosong, tanpa gula, kacang-kacangan, keju, atau produk susu lainnya. “Yang ada hanya minyak goreng,” kata Rabie, sambil menunjukkan bahwa harga pangan telah meningkat tiga kali lipat sejak perang dimulai.

Rabie mengaku, warga Khan Younis telah kekurangan banyak bahan makanan pokok, seolah-olah semuanya diatur sedemikian rupa. "Selain tidak memiliki listrik atau air, kami juga akan kelaparan," ujarnya.

Karena kekurangan roti, keluarga dan teman-temannya bergantung pada memasak pasta dan nasi, tetapi persediaan makanan tersebut juga cepat habis. “Saya hanya khawatir tentang bagaimana kami akan saling memberi makan setelah dua atau tiga hari, dan apa yang akan kami jalani di hari-hari sulit yang semakin mencekik kami,” kata Rabie.

Mahmoud Sharab yang juga warga Khan Younis mengatakan, meskipun dia kecewa dengan kenaikan harga, dia tidak menyalahkan pedagang atas inflasi yang terjadi pada sayuran. “Pertanian mereka telah dihancurkan oleh pemboman Israel yang terus-menerus. Mereka tidak dapat mencapai tanahnya," kata pria berusia 35 tahun itu.

Sharab keluar setiap hari menjelajahi toko-toko dan pasar untuk mencari makanan, dengan harapan setidaknya bisa menemukan makanan kaleng dan biji-bijian. “Saya tidak dapat menemukan apa pun,” katanya.

“Saya harus bertanya kepada orang-orang apakah mereka punya tambahan kacang kalengan atau daging agar saya bisa membelinya untuk keluarga saya," ujarnya.

Sharab mengatakan, yang dilakukan Israel adalah menjadikan kelaparan sebagai senjata di Gaza. Kebijakan ini membuat takut banyak orang termasuk anak-anak. Pemboman yang disengaja terhadap toko-toko roti telah membuat orang-orang mengantre selama enam atau tujuh jam hanya untuk mendapatkan sekantong roti.

Menurut PBB, tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November karena kekurangan bahan bakar, air, dan tepung terigu serta kerusakan struktural. Sebanyak 11 toko roti di Jalur Gaza hancur total, sementara lainnya tidak dapat beroperasi karena kekurangan tepung, bahan bakar, dan listrik.

“Ada indikasi mekanisme penanggulangan yang negatif akibat kelangkaan pangan, termasuk melewatkan atau mengurangi waktu makan dan menggunakan metode yang tidak aman dan tidak sehat untuk membuat api,” ujar laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada pekan ini.

“Orang-orang dilaporkan beralih ke pola makan yang tidak lazim, seperti mengonsumsi kombinasi bawang mentah dan terong mentah," kata laporan itu.

Sejak Israel memberlakukan blokade total terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober, konvoi bantuan hampir tidak dapat masuk. Kondisi ini diibaratkan oleh badan-badan kemanusian dengan hanya dapat menyediakan “setetes air di lautan” dari dibutuhkan oleh 2,3 juta orang di wilayah tersebut.

Sebanyak 91 truk yang membawa bantuan masuk dari Mesir pada 14 November, sehingga jumlah truk yang memasuki Gaza sejak 21 Oktober hanya 1.187 truk. Sebelum perang dimulai, rata-rata 500 truk memasuki Jalur Gaza setiap hari.

Meskipun jumlah bahan bakar yang diperbolehkan masuk 15 November 2023 untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober, jumlahnya sangat terbatas. Pihak berwenang Israel mengatakan, bahan bakar tersebut akan digunakan secara eksklusif untuk truk yang mendistribusikan bantuan kemanusiaan ke tempat penampungan, klinik, dan penerima manfaat lainnya.Penggunaan lainnya, misalnya untuk pengoperasian generator di rumah sakit atau fasilitas air dan sanitasi, dilarang.

Selain itu, pengiriman bantuan ke wilayah utara menjadi mustahil karena sebagian besar akses telah terputus. Persediaan makanan yang terbatas didistribusikan terutama kepada para pengungsi dan keluarga  di Jalur Gaza bagian selatan, dengan hanya tepung yang disediakan untuk toko roti di Jalur selatan. Sementara pengangkutan makanan apa pun ke Gaza City dan bagian utaranya tidak diizinkan oleh Israel.

Warga Palestina kini bergantung pada bantuan untuk makan...

Baca Juga

Menurut kelompok advokasi Euro-Mediterania Human Rights Monitor, Israel telah secara tajam meningkatkan perang kelaparan terhadap warga sipil di Jalur Gaza. Tindakan ini sebagai alat penaklukan bagian dari perang yang sedang berlangsung.

Sebelum perang Israel, 70 persen anak-anak di Jalur Gaza sudah menderita berbagai masalah kesehatan termasuk kekurangan gizi, anemia, dan lemahnya kekebalan tubuh. Menurut Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania, jumlah ini meningkat hingga lebih dari 90 persen akibat pemboman Israel.

Laporan tersebut menyoroti, Israel memfokuskan serangan terhadap generator listrik dan unit energi surya yang menjadi sandaran perusahaan komersial, restoran, dan lembaga sipil. Tindakan ini dilakukan untuk mempertahankan tingkat operasi seminimal mungkin.

Laporan tersebut juga memperingatkan, serangan Israel mencakup penghancuran kawasan pertanian di timur Gaza, silo tepung, dan perahu nelayan, serta pusat pasokan untuk organisasi bantuan, khususnya Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Padahal ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dan berlindung di sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dikelola PBB bergantung pada bantuan UNRWA.

“Kami bergantung pada bantuan untuk memberi makan anak-anak kami,” kata Maysara Saad yang mengungsi bersama sembilan anaknya dari kota utara Beit Hanoon ke sebuah sekolah di Bani Suhaila, sebelah timur Khan Younis.

Saad mengatakan, tidak ada apa pun di toko, dan rak-raknya kosong. "Kami terpaksa mengungsi dari rumah kami untuk melindungi anak-anak kami, namun kami juga tidak ingin mereka mati kelaparan," ujarnya.

Pria berusia 59 tahun itu mengatakan, warga Bani Suhaila kerap datang ke sekolah untuk melihat apakah masih ada sisa bantuan untuk keluarganya.  “Seolah-olah Israel mengatakan kepada kita bahwa jika kita tidak mati akibat pemboman tersebut, mereka akan membuat kita mati karena kehausan, kelaparan, atau kedinginan. Ini adalah perang yang sangat kejam dan tidak memiliki rasa kemanusiaan," katanya.

 
Berita Terpopuler