Raja-Raja Arab, Benarkah Mereka Berpaling dari Palestina?

Ada apa dengan raja-raja Arab dalam kasus Palestina

Saudi Gazette
Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Hissein Brahim Taha dalam KTT yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis, Alumnus IIUM

Semua pemimpin negara Arab mengecam serangan brutal Israel ke Gaza. Namun, sebagian kerajaan Arab menolak bertindak secara nyata. Cukup bermain kata-kata, menjaga citra, sambil menusuk rakyat Palestina dari belakang.

Itulah yang digambarkan berbagai media massa dunia dalam liputan mereka terkait hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Liga Arab baru-baru ini. Negara-negara Arab telah gagal menyepakati bentuk pembelaan nyata terhadap perjuangan Palestina.

Sebagaimana diberitakan Republika (13/11/23), Aljazair menggerakan beberapa negara Arab untuk mengusulkan lima langkah penting menekan dan memaksa Israel menghentikan serangan ke Gaza.

Langkah pertama, mencegah alat-alat perang AS yang berada di berbagai pangkalan AS di Timur Tengah tak digunakan untuk Israel. Kedua, membekukan semua kontak diplomatik dan ekonomi dengan Israel.

Ketiga, menggunakan minyak sebagai instrumen menekan Israel. Keempat, melarang penerbangan ke dan dari Israel melalui wilayah udara Arab, dan kelima, mengirimkan delegasi Arab ke AS, Eropa, dan Rusia untuk mendorong gencatan senjata di Gaza. 

 

 

Hanya 11 dari 22 negara Arab mendukung usulan itu. Empat negara Arab menolak, yaitu Arab Saudi, Yordania, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Sisanya abstain. Tentu, jika dikumpulkan suara menolak dan abstain sama besarnya dengan jumlah suara mendukung. Tampak jelas, hanya setengah negara Arab yang setia pada perjuangan rakyat Palestina.

Pun begitu, masih ada kabar baiknya. Beberapa negara Arab sudah menyatakan bersedia membayar harga termahal untuk membela perjuangan kemerdekaan Palestina yang sedang berlansung saat ini. Libanon, Suriah, Irak, dan Yaman bahkan sudah mempersiapkan diri untuk skenario terburuk. Menghadapi perang total skala kawasan yang akan membakar seluruh Timur Tengah.

Kota-kota mereka dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi target pemboman massif Israel, Amerika Serikat dan negara-negara NATO. Warga mereka mungkin akan merasakan penderitaan yang dialami warga Gaza. Risiko buruk semacam itu sudah disadari dan diambil tanpa ragu. Rakyat Palestina tidak akan ditinggalkan sendirian.

Mengapa sebagian negara Arab begitu bersetia dan mengapa sebagiannya lagi berpaling dari perjuangan rakyat tertindas Palestina? Rekam jejak negara-negara Arab itu mampu menjelaskan semuanya. 

Libanon dan Suriah pernah berperang dengan Israel sebelumnya. Permusuhan mereka dengan Israel masih terus terjaga. Lagi pula, sebagian tanah mereka masih diduduki oleh Israel. Lahan pertanian Sheeba Libanon dan Dataran Tinggi Golan Suriah masih dicaplok Israel hingga kini secara illegal. Membela perjuangan kemerdekaan Palestina bagi kedua negara ini bermakna juga, membebaskan tanah Libanon dan Suriah dari pendudukan Israel.

Irak dan Yaman punya cerita pengalaman berbeda dalam memusuhi Israel. Hingga saat ini, Irak sebenarnya masih dijajah Amerika Serikat. Sejak invansi tahun 2003, militer Amerika masih menduduki Irak secara paksa. Mereka tersebar di berbagai pangkalan militer di  negara itu, hingga ke wilayah otonomi Kurdi. 

 

 

Dalam hal ini, bukan saja pengalaman keterjajahan telah mendorong Irak bersolidaritas pada perjuangan Palestina. Terpenting dan utama, bahwa mereka dijajah oleh Amerika, negara yang mengasuh dan melindungi kebrutalan Israel di Timur Tengah. 

Bagi Irak, mendukung kemerdekaan Palestina saat ini menjadi momen sejarah menggalang dukungan seluruh rakyat Irak mengusir Amerika Serikat dari negara itu. Irak melihat, Amerika dan Israel sama-sama negara penjajah. Keduanya harus diusir dari tanah Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan.

Begitu pula dengan Yaman. Negara termiskin di dunia Arab itu baru saja mengakhiri perang panjang selama delapan tahun dimulai dari 2014. Amerika Serikat, Inggris, dan Isarel telah mendorong Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan sekutu mereka ikut campur dalam perang saudara di internal Yaman. Koalasi Arab dan NATO ingin menghalangi rakyat Yaman membentuk pemerintahan revolusioner anti Amerika Serikat dan Israel.

Ini mudah dipahami. Karena ekonomi maritim dan pasokan energi Israel sebagiannya bergantung pada keamanan laut merah. Dimana Yaman yang revolusioner dapat menutup lalulintas perdagangan di laut merah melalui kontrol penuh pada Bab El Mandeb. 

Raja Arab Berkhianat?

Sekilas, jika dibandingkan dengan kesetiaan Libanon, Suriah, Irak, dan Yaman maka Arab Saudi, Yordania, UEA, dan Mesir terlihat tiba-tiba berkhianat pada perjuangan Palestina. Tapi sesungguhnya, tidak ada yang tiba-tiba. Kerajaan-kerajaan Arab teluk itu ditambah Mesir, mereka sudah terlalu lama menyandarkan keamanan kekuasaan mereka kepada Barat, pencipta  dan pengasuh Israel.

Hitung saja berapa dana yang digelontorkan Amerika untuk membangun militer Mesir. Setiap tahun AS memberikan 1,3 juta USD dana khusus bantuan militer ke negeri Piramida itu. Dan Mesir merupakan negara yang mendapatkan bantuan militer kedua terbesar di Timur Tengah setelah Israel dari negara Paman Sam.

Kepatuhan Arab Saudi, Yordania, dan UEA pada arahan Amerika Serikat saat ini juga beralasan. Kerajaan-kerajaan Arab teluk ini pada dasarnya tidak mampu mengamankan diri mereka tanpa keberadaan pangkalan-pangkalan militer Amerika yang tesebar di kerajaan-kerajaan itu.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin di abad millennium ke tiga, sebuah keluarga masih menguasai kehidupan jutaan warga negara secara absolut melalui sistem politik monarkhi gaya kuno. 

 

Cepat atau lambat, rakyat di kerajaan-kerajaan Arab itu akan menumbangkan raja-raja diktator mereka melalui sebuah revolusi yang menuntut didirikannya republik atau bentuk lain dari sistem politik yang lebih demokratis. Negara-negara milik keluarga di dunia Arab akan segera digantikan menjadi milik bersama warga negara. 

Kehadiran pangkalan-pangkalan militer Amerika di kerajaan-kerajaan itu sejauh ini masih efektif menakut-nakuti perlawanan rakyat mereka. Ketergantungan keamanan seperti ini sangatlah penting dan fundamental. Tidak seorang pun dapat meremehkan fungsi pangkalan-pangkalan militer Amerika merawat kekuasaan raja-raja Arab. 

Setidaknya 60.000 tentara Amerika saat ini ditempatkan di negara-negara Timur Tengah, menurut Komando Pusat Amerika Serikat. Demi menjaga keberlansungan hidup Israel Raya dan kestabilan kekuasaan raja-raja Arab sapi perah Amerika. Sebenarnya, dua agenda itu terhubung satu sama lain. Amerika harus menjaga monarkhi Arab, satu paket demi keamanan Israel.

Itu sebabnya, dari bacaan seperti ini adalah tidak akurat menyimpulkan kerajaan-kerajaan Arab mengkhianati Palestina. Kita lebih tepat mengatakan para penguasa Arab Saudi, Yordania, UEA, dan Mesir telah berkhianat pada rakyat mereka sendiri. Bagaimana mungkin, raja-raja Arab berkhianat pada perjuangan rakyat Palestina yang memang tidak pernah mereka dukung sepenuh hati sejak awal.

Percayalah, raja-raja Arab tidak pernah berpaling. Mohammad bin Salman (MBS), Mohammad bin Zaid (MBZ), Abudullah II, dan Abdul Fatah Al-Sisi tidak berpaling dari perjuangan Palestina. Pandangan mereka realistis. Tertuju fokus lurus memikirkan cara merawat kekuasaan mereka sendiri. Lebih kekal, lebih lama.

 

 
Berita Terpopuler