Antisipasi Kebijakan the Fed, Rupiah Kembali Melemah

Pelaku pasar terus mengamati konflik geopolitik di Timur Tengah.

Republika/Prayogi
Karyawan menghitung mata uang dollar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Rep: Retno Wulandhari Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih terbuka di awal pekan ini, Senin (13/11/2023). Menurut Pengamat Pasar Keuangan Ariston Tjendra, faktor pergerakan suku bunga masih menjadi perhatian pelaku pasar. 

Baca Juga

"Pelaku pasar masih mengantisipasi pernyataan beberapa pejabat bank sentral," kata Ariston saat dihubungi Republika.co.id. Gubernur the Fed Jerome Powell masih membuka peluang kenaikan suku bunga acuan AS untuk menurunkan tingkat inflasi. 

Sampai saat ini, AS masih belum berhasil menurunkan inflasi ke level target dua persen. Selain itu, lanjut Ariston, beberapa sentimen eksternal juga masih berpotensi mendorong pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan menekan rupiah. 

Pelaku pasar terus mengamati konflik geopolitik di Timur Tengah yang masih berlangsung. Selain itu, terdapat isu pelambatan ekonomi Cina. Aktivitas ekspor Cina pada Oktober menunjukkan penurunan melebihi konsensus pasar. 

Cina juga mengalami deflasi yang menunjukkan penurunan permintaan. Di sisi lain, Ariston melihat, penurunan outlook utang AS oleh Moody’s bisa memberikan sentimen negatif untuk dolar AS. Menurut Ariston, kondisi tersebut mungkin ini bisa menahan penguatan dolar AS hari ini.

"Potensi pelemahan hari ini ke arah 15.730, dengan potensi penguatan di kisaran 15.630," kata Ariston. Menurut Bloomberg, pagi ini nilai tukar greenback terhadap mata uang garuda menguat 0,07 persen, sehingga membawa rupiah melemah ke level Rp 15.705 per dolar AS.

 
Berita Terpopuler