Media Israel Serang Netanyahu

Sebagian besar orang Israel menyalahkan Netanyahu.

AP Photo/Abir Sultan
Sejumlah surat kabar Israel mengkritisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena telah gagal melindungi negara.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sejumlah surat kabar Israel mengkritisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena telah gagal melindungi negara. Serangan mengejutkan kelompok perlawanan Palestina, Hamas pada 7 Oktober 2023 menjadi pukulan telak bagi intelijen Israel.

Netanyahu membangun reputasinya sebagai elang keamanan berkat pengabdiannya di unit pasukan khusus elite yang melakukan beberapa penyelamatan sandera Israel yang paling berani. Warisannya sebagai pemimpin terlama Israel kini tercoreng oleh infiltrasi Hamas yang di luar dugaan. Termasuk sekitar 200 warga Israel yang disandera Hamas di Gaza saat infiltrasi berlangsung.

Dalam masa jabatannya yang keenam sebagai perdana menteri, Netanyahu memimpin salah satu koalisi sayap kanan paling ekstrem di Israel. Dia mendapat tekanan yang semakin besar karena serangan mengejutkan Hamas telah memicu kemarahan warga Israel. Netanyahu semakin tersudut ketika Hamas merilis video sandera yang berbicara tentang kegagalan pemimpin Israel. Dalam video itu, tiga orang sandera yang merupakan warga Israel menyalahkan Netanyahu atas kekacauan yang terjadi.

Dalam salah satu konferensi pers, Netanyahu menolak untuk bertanggung jawab atas kegagalannya melindungi Israel. Dia hanya mengatakan bahwa setiap orang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit ketika perang dengan Hamas berakhir. Netanyahu juga menolak pertanyaan apakah dia akan mengundurkan diri.

Jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar orang Israel menyalahkan Netanyahu.  Jajak pendapat surat kabar Maariv pada 18-19 Oktober menunjukkan mantan menteri pertahanan Benny Gantz lebih disukai sebagai perdana menteri oleh 48 persen responden. Sementara responden yang mendukung Netanyahu hanya 28 persen.

"Netanyahu akan mundur. Sama seperti pejabat tinggi militer, intelijen, dan GSS (badan intelijen). Karena mereka gagal," ujar surat kabar harian Israel Hayom dalam editorialnya minggu ini.

Popularitas Netanyahu telah ternoda oleh perselisihan sengit mengenai rencana untuk mengekang kekuasaan Mahkamah Agung, yang menyebabkan ratusan ribu warga Israel turun ke jalan selama berbulan-bulan. Untuk saat ini, konsekuensi politik telah tertunda karena jet-jet Israel melancarkan serangan udara di Gaza yang telah membunuh lebih dari 8.000 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan.

Selain tekanan atas berbagai isu, seperti perluasan pemukiman Yahudi yang tiada henti di wilayah pendudukan Tepi Barat, terdapat kekhawatiran yang meningkat secara internasional mengenai besarnya korban jiwa selama pemboman di Gaza. Sementara itu, perekonomian Israel semakin terpukul karena sektor bisnis, mulai dari konstruksi hingga jasa makanan melaporkan penurunan pendapatan yang tajam.

Netanyahu, yang biasanya merupakan sosok yang tenang dan percaya diri, kini tampak semakin tidak menentu. Pada larut malam,. dia menulis unggahan di platform media sosial X  yang menyalahkan kepala intelijennya karena gagal memperingatkannya tentang serangan 7 Oktober 2023. Namun unggahan itu dihapus keesokan paginya dan Netanyahu mengeluarkan permintaan maaf. Namun kerusakan telah terjadi dan terdapat banyak kritik dari pers serta seluruh spektrum politik.

“Dia adalah orang yang tidak layak untuk menjabat sebagai perdana menteri,” ujar seorang editorial di Yedioth Ahronoth, surat kabar terlaris Israel, minggu ini.

Baca Juga

Netanyahu seharusnya mundur atau dicopot....


Editorial itu menambahkan bahwa Netanyahu seharusnya mengundurkan diri atau dicopot segera setelah serangan 7 Oktober. Kritik terhadap Netanyahu juga dilontarkan oleh mantan sekretaris jenderal NATO,  Javier Solana meyakini bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, adalah politisi terburuk dalam sejarah Israel. Berbicara kepada stasiun penyiaran Spanyol, Cadena Ser, Solana mengatakan, tidak ada hal baik yang terjadi selama pemerintahan Netanyahu.

“Saya kira tidak ada hal baik yang akan terjadi jika hal ini terjadi. Tapi hal itu bisa membuat Netanyahu menghilang dari politik Israel," kata Solana, merujuk pada perang Israel-Hamas di Gaza.

Solana juga menekankan bahwa, meskipun AS mendukung Israel, Presiden Joe Biden sama sekali tidak menyukai Netanyahu. Dia mengatakan, Biden telah bekerja keras untuk menekan Netanyahu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan AS di Irak setelah serangan 9/11.

“Keduanya bukan teman, tapi bukan musuh.  Biden tidak pernah menerima Netanyahu di Gedung Putih,” kata Solana.

Solana adalah Sekretaris Jenderal NATO dari 1995 hingga 1999, serta Kepala Diplomat Uni Eropq dari 1999 hingga 2009. Solana mengataka, dia menghabiskan banyak waktu di Gaza selama karirnya, termasuk bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mengawasi perbatasan Rafah dari Gaza ke Mesir agar tetap dibuka.  Program itu dimulai pada 2005 dan berlangsung selama 19 bulan.

Solana juga menyebut Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, merupakan kesalahan besar. Dia mengatakan, perjanjian tersebut menumbangkan gagasan sebelumnya yang meminta negara-negara mengakui Israel melalui perundingan damai dengan Palestina.

"Menurut saya, gagasan perdamaian terhadap pengakuan atau pengakuan atas perdamaian adalah gagasan yang sangat indah," ujar Solana.

Solana juga mengkritik Netanyahu karena melakukan kampanye besar-besaran untuk mengubah dirinya menjadi seorang otokrat melalui reformasi peradilan. Dalam memoar barunya, “Witness of an Uncertain Time”, Solana berbagi refleksinya mengenai situasi geopolitik yang lebih luas saat ini.

Momen ini ditandai dengan dua ciri utama yaitu  pertama, dunia bukan lagi sekadar negara-negara besar.  Kedua, mayoritas masyarakat di dunia tidak tinggal di negara-negara Barat.

"Di negara-negara Barat, kita masih percaya bahwa dunia adalah milik kita, namun yang jelas bukan itu masalahnya," ujar Solana.

 
Berita Terpopuler