Umat ​​​​Kristen Palestina Merasa dalam Bahaya

Netanyahu telah memperburuk kehidupan umat Kristen di tempat kelahiran agama Kristen.

AP Photo/Abed Khaled
Warga Palestina memeriksa kerusakan di gereja yang digunakan warga sebagai tempat berlindung, di rumah sakit al-Ahli, di Kota Gaza, Rabu, (18/10/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pemimpin gereja Katolik Roma di Yerusalem mengatakan, pemerintahan sayap kanan Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memperburuk kehidupan umat Kristen di tempat kelahiran agama Kristen. Patriark Latin yang ditunjuk Vatikan, Pierbattista Pizzaballa, mengatakan, komunitas Kristen yang berusia 2.000 tahun di wilayah tersebut semakin banyak mendapat serangan.

Di bawah pemerintahan sayap kanan Israel para ekstremis semakin berani melecehkan para pendeta dan merusak properti keagamaan dengan semakin cepat. Meningkatnya insiden anti-Kristen terjadi ketika gerakan pemukim Israel, yang digalakkan oleh sekutu-sekutunya di pemerintahan, tampaknya memanfaatkan momen ini untuk memperluas usahanya di ibu kota yang diperebutkan tersebut. Bukit Zaitun menjadi target terbaru dalam perebutan kendali atas Yerusalem

“Frekuensi serangan dan agresi ini telah menjadi sesuatu yang baru. Orang-orang ini merasa mereka dilindungi, bahwa suasana budaya dan politik saat ini dapat membenarkan, atau menoleransi, tindakan terhadap umat Kristen," ujar Pizzaballa.

Kekhawatiran Pizzaballa tampaknya melemahkan komitmen Israel terhadap kebebasan beribadah, yang tertuang dalam deklarasi yang menandai berdirinya negara tersebut 75 tahun lalu. Pemerintah Israel menekankan, mereka memprioritaskan kebebasan beragama dan hubungan dengan gereja-gereja, yang memiliki hubungan kuat dengan luar negeri.

“Komitmen Israel terhadap kebebasan beragama sangat penting bagi kami selamanya. Ini berlaku untuk semua agama dan minoritas yang memiliki akses bebas ke tempat-tempat suci," kata Tania Berg-Rafaeli, direktur departemen agama dunia di Kementerian Luar Negeri Israel.

Namun umat Kristen mengatakan, mereka merasa pihak berwenang tidak melindungi situs mereka dari serangan yang ditargetkan. Permusuhan terhadap minoritas Kristen bukanlah hal baru di Kota Tua yang padat penduduk, yang merupakan pusat ketegangan yang dianeksasi oleh pemerintah Israel pada 1967.

Para pemimpin pemukim Yahudi memegang peran penting dalam pemerintahan Netanyahu. Mereka adalah  Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich, dan Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, yang telah dijatuhi hukuman pidana sejak 2007 karena menghasut rasialisme anti-Arab dan mendukung gerakan pemukim ilegal Yahudi.

Pengaruh Smotrich dan Ben-Gvir telah memberdayakan pemukim Israel yang berusaha untuk memperkuat kendali Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Hal ini membuat para pemimpin gereja khawatir karena rencana pemerintah untuk membuat taman nasional di Bukit Zaitun merupakan ancaman terhadap kehadiran umat Kristen di Israel.

“Unsur-unsur sayap kanan bergerak menuju Yudaisme di Kota Tua dan wilayah lainnya, dan kami merasa tidak ada yang dapat menghalangi mereka saat ini,” kata Pastor Don Binder, seorang pendeta di Katedral Anglikan St George di Yerusalem.

Saat ini terdapat sekitar 15.000 orang Kristen di Yerusalem dan mayoritas dari mereka adalah orang Palestina. Populasi Kristen sebelumnya berjumlah 27.000 orang. Kemudian mereka terusir setelah perang pada 1967. Yusef Daher dari Jerusalem Inter-Church Centre, mengatakan, 2023 akan menjadi tahun terburuk bagi umat Kristiani dalam satu dekade.

Serangan fisik dan pelecehan terhadap pendeta seringkali tidak dilaporkan. Jerusalem Inter-Church Centre telah mendokumentasikan setidaknya tujuh kasus serius vandalisme terhadap properti gereja dari Januari hingga pertengahan Maret 2023. Para pemimpin Gereja menyalahkan ekstremis Israel atas sebagian besar kasus tersebut. Para pemimpin Gereka menyatakan, mereka khawatir akan terjadi eskalasi lebih lanjut.

“Eskalasi ini akan membawa lebih banyak kekerasan. Ini akan menciptakan situasi yang sangat sulit untuk diperbaiki," ujar Pizzaballa.

Pada Maret, dua warga Israel menyerbu basilika di samping Taman Getsemani. Mereka menyerang seorang pendeta dengan tongkat logam sebelum ditangkap. Pada Februari, seorang Yahudi Amerika menarik patung Kristus setinggi 10 kaki dan membantingnya ke lantai, memukul wajahnya dengan palu sebanyak belasan kali di Gereja Pencambukan di Via Dolorosa.

Insiden Meludah

Baca Juga

 

Pada 3 Oktober 2023, sebuah video menunjukkan orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks meludah di dekat umat Kristen Asia yang membawa salib kayu di kota suci Yerusalem. Insiden ini telah memicu kemarahan.

“Apa yang terjadi dengan nasionalisme agama sayap kanan adalah bahwa identitas Yahudi telah berkembang di sekitar anti-Kristen. Bahkan jika pemerintah tidak mendorongnya, mereka mengisyaratkan tidak akan ada sanksi," kata Yisca Harani, seorang pakar Kristen dan pendiri hotline Israel untuk serangan anti-Kristen.

Kekhawatiran atas meningkatnya intoleransi tampaknya melanggar komitmen Israel terhadap kebebasan beribadah dan kepercayaan suci terhadap tempat-tempat suci, yang tertuang dalam deklarasi yang menandai pendirian negara tersebut 75 tahun lalu.  Israel merebut Yerusalem Timur dalam perang tahun 1967 dan kemudian mencaploknya dalam sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional.

Insiden meludah tersebut, direkam oleh seorang reporter surat kabar Haaretz. Video itu menunjukkan sekelompok peziarah asing memulai prosesi mereka melalui labirin batu kapur di Kota Tua, yang menjadi situs suci bagi tiga agama yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.

Sepanjang jalan, orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks yang mengenakan jas hitam dan topi hitam bertepi lebar berpapasan dengan para peziarah Kristen di gang-gang sempit. Setidaknya tujuh orang Yahudi ultra-Ortodoks meludah ke tanah di samping kelompok peziarah Kristen tersebut.

Seorang pemimpin pemukim ultranasionalis dan mantan penasihat anggota parlemen dalam koalisi pemerintahan Netanyahu, Elisha Yered mengatakan, meludahi pendeta Kristen dan gereja adalah kebiasaan Yahudi kuno. “Mungkin karena pengaruh budaya barat kita agak lupa apa itu agama Kristen. Saya pikir jutaan orang Yahudi yang menderita di pengasingan akibat Perang Salib tidak akan pernah lupa," ujar Yered.

Ketika video dan komentar Yered menyebar dengan cepat di media sosial, gelombang kecaman semakin meningkat.  Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen mengatakan meludahi umat Kristen tidak mewakili nilai-nilai Yahudi. Sementara Menteri Agama Israel, Michael Malkieli, yang merupakan anggota partai ultra-Ortodoks Shas, berpendapat, meludah seperti itu bukanlah cara Taurat. Sedangkan salah satu kepala rabi Israel menegaskan, meludah tidak ada hubungannya dengan hukum Yahudi.

 

 
Berita Terpopuler