Netanyahu Sudah 'Kalah' Saat Perang Darat Israel-Hamas Baru akan Dimulai

Oleh para pakar, Netanyahu saat ini dinilai sudah kalah secara politik.

AP Photo/Jacquelyn Martin
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani

Baca Juga

Sepekan setelah serangan militan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober lalu, Israel saat ini tengah bersiap melancarkan serangan balasan lewat jalur darat menyusul hujan bom dari pesawat-pesawat tempur Zionis ke wilayah Gaza dalam beberapa terakhir. Perang darat baru akan dimulai, namun Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu kini dinilai sebagian pakar kajian Timur Tengah malah sudah berada dalam fase kekalahan secara politik.

Kolumnis David Rothkopf seperti dikutip dari Daily Beast, pada Senin (16/10/2023), mengulas bahwa dominasi Netanyahu di peta politik Israel selama 20 tahun terakhir telah menemui jalan akhirnya. Netanyahu diprediksi akan dipaksa lengser dari kepemimpinannya pada akhir konflik Israel-Hamas, atau bahkan bisa lebih cepat.

Analisis itu merujuk pada beberapa polling terakhir. Polling yang digelar Dialog Center pekan lalu contohnya, mengindikasikan bahwa sembilan dari 10 warga Israel mengkarakteristikkan serangan Hamas sebagai konsekuensi dari kegagalan pemerintahan Netanyahu. Dalam polling yang sama, 56 persen warga Israel menilai Netanyahu harus mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri segera setelah perang berakhir.

Kemenangan di Gaza dari perang terhadap Hamas saat ini mungkin saja memberikan efek kejutan dari kompetensi rezim Netanyahu yang bisa membalikkan persepsi hasil polling di atas. Namun, beberapa ahli meyakini hal itu tidak akan terjadi.

"Sejujurnya, saya bahkan tidak yakin dia (Netanyahu) akan selamat hingga akhir perang, khususnya jika apa yang terjadi di Gaza nantinya ternyata berantakan seperti biasa (tidak sesuai yang diharapkan)," ujar salah seorang veteran yang enggan disebutkan namanya.

Opini veteran tersebut pun diamini oleh yang lain dengan mengutuk kegagalan pemerintahan Netanyahu sejak serangan Hamas dan absennya rencana jangka panjang apa yang akan rezim Netanyahu lakukan setelah mereka menyerbu Gaza dan menghancurkan kantong-kantong Hamas. Absennya rencana jangka panjang ini juga dilaporkan menjadi keprihatinan AS.

Apa yang terjadi beberapa pekan ke depan sangat berisiko bagi Netanyahu. Gaza sebagai wilayah padat penduduk memicu kekhawatiran akan potensi sangat banyaknya korban jiwa jatuh dari kalangan sipil. AS pun sudah berulang kali mengingatkan Israel akan hukum internasional dan risiko terus bertambahnya korban sipil.

Seperti yang diingatkan oleh penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, "Banyak, banyak sekali warga Palestina yang tidak ada hubungannya dengan kebrutalan Hamas- mayoritas warga Gaza- mereka berhak atas harga diri mereka. Mereka berhak atas keselamatan dan keamanan."

Peta Blokade Gaza - (Republika)

 

Sullivan juga sudah mengumumkan, bahwa Israel akan kembali memasok jaringan air bersih ke Gaza, langkah yang diambil menyusul tekanan dari AS. Menteri Luar Negeri (Menlu) Antony Blinken, dalam pertemuan dengan Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman, juga menggarisbawahi pentingnya melindungi kepentingan masyarakat sipil.

Faktor X lain yang menjadi perhatian Blinken dalam pertemuan tu adalah potensi meluasnya konflik. Apalagi, seperti dilaporkan Al Jazirah, Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian baru saja menggelar pertemuan dengan pemimpin Hamas, di Qatar pada akhir pekan lalu. Amir-Abdollahian juga dilaporkan bertemu dengan pemimpin Hizbullah di Libanon dan 'mengancam' bahwa Iran bisa ikut terlibat dalam konflik tergantung pada eskalasinya nanti.

Tidak hanya karier politik Netanyahu yang dinilai tengah mendekati akhirnya, begitu juga ambisi-ambisinya terancam pupus. Reformasi yudisial yang pernah memicu gelombang protes di Israel sepertinya akan menemui jalan buntu, pun dengan proses normalisasi Israel-Arab Saudi yang diharapkan dapat menguntungkan Netanyahu saat ini ditangguhkan. 

Jika serangan Israel ke Gaza nantinya menghasilkan jumlah korban yang signifikan dari kalangan sipil, akan sangat sulit bagi Arab Saudi menandatangani sebuah perjanjian normalisasi jangka panjang dengan Israel. Jika pun normalisasi tetap terealisasi, sangat mungkin Arab Saudi akan memasukkan klausul yang menguntungkan rakyat Palestina dan mencegah konflik di tanah Palestina kembali terjadi pada masa depan.

Salah satu tujuan Netanyahu lewat normalisasi dengan bangsa Arab adalah mengirim pesan bahwa perbaikan hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab bisa dilaksanakan tanpa harus memikirkan masalah Palestina. Namun ternyata, sebelum pesan itu sampai, Hamas lewat serangannya lebih dulu mengirimkan pesan bahwa isu Palestina merdeka tidak bisa dihilangkan dalam kerangkan upaya normalisasi Arab-Israel.

 

 

 

Kegagalan intelijen

Serangan Hamas pada Sabtu, 7 Oktober 2023 telah mengejutkan tidak hanya Israel, tapi juga dunia. Muncul pertanyaan, mengapa intelijen Israel yang selama ini dikenal unggul dan canggih bisa kebobolan? 

Dikutip dari Intel News, Senin (16/10/2023), divisi intelijen baik dari Angkatan Pertahanan Israel (IDF) dan Badan Intelijen Israel (IMI), diyakini telah melaksanakan asesmen situasi regional dua pekan sebelum serangan 7 Oktober. Asesmen termasuk bahwa, Hamas tidak memiliki keinginan mengubah status quo dengan menyerang Israel.

Asesmen di atas sudah dilaporkan kepada Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Bagi Dr. Avner Barnea, peneliti di Pusat Studi Keamanan Nasional di Universita Haifa, Israel, asesmen dua divisi intelijen Israel itu semata berdasar pada prediksi atau angan-angan belaka, bukan data intelijen yang konkret.

Kegagalan mengoleksi data intelijen yang konkret itu kemudian diperparah dengan isu bahwa petinggi intelijen Mesir sebenarnya sudah mengirimkan peringatan kepada Israel akan adanya 'gerakan yang tidak biasa, sebuah operasi besar' dari Hamas yang mengarah dari Gaza. Peringatan yang dilaporkan dikirim oleh Abbas Kamel, Direktur Direktorat Jenderal Intelijen Mesir itu dikirim ke kantor Netanyahu beberapa hari sebelum 7 Oktober 2023.

Yedioth Ahronot, koran Israel, yang mempublikasi peringatan dari Mesir itu, melaporkan, bahwa Kamel diberitahu oleh petinggi Israel bahwa mereka fokus mencegah aksi serangan di Tepi Barat, bukan dari kawasan Gaza. Namun, dalam sebuah pidato, Netanyahu membantah telah menerima laporan intelijen dari Mesir dengan menyebut informasi itu sebagai berita palsu.

Sebuah sumber dari pemerintahan Mesir juga menegaskan bahwa kalangan intelijen mereka telah menginformasikan kepada Israel akan rencana serangan besar Hamas. Namun, Laporan itu diabakan oleh Netanyahu cs.

Pada 11 Oktober, juru bicara IDF mengakui, bahwa pada malam sebelum serangan 7 Oktober, gerakan mencurigakan dari operasi Hamas terdeteksi di dekat blokade pagar besi di sekitar Gaza. Namun, menurut juru bicara itu, "Tidak ada tanda waspada dari gerakan Hamas itu". 

Bagaimana bisa komunitas intelijen Israel gagal mengoleksi data atau informasi relevan terkait rencana serangan Hamas pada 7 Oktober? Avner Barnea, dalam analisisnya mengatakan, bahwa Hamas selama ini memahami cara-cara IDF dan IMI dalam mengoleksi informasi intelijen. Sehingga, Hamas kemudian menghindari untuk menggunakan saluran komunikasi secara digital dalam mengorganisasikan serangan. "Yang mana itu membuat Israel kesulitan mengintersep," kata Avner.

Avner mengatakan, bahwa kalangan intelijen Israel telah gagal melakukan penetrasi ke dalam lingkaran kepemimpinan Hamas, sehingga mereka pun gagal untuk mengeluarkan peringatan akan adanya serangan pada 7 Oktober 2023. 

Hamas menggunakan sistem kompartemen komunikasi yang sangat terbatas, yang hanya membolehkan sedikit orang mengetahui gambaran rencana serangan. Hasil interogasi IDF terhadap militan Hamas yang ditangkap, mengungkap bahwa, latihan dan persiapan serangan 7 Oktober telah digelar beberapa bulan belakang, namun plot serangan hanya diketahui oleh segelintir elite petinggi Hamas.

 

Sikap Arab Saudi terhadap Israel Penjajah Palestina - (Republika)

 
Berita Terpopuler