Ingin Anak Bermental Kuat? Begini Caranya

Orang tua membantu anak mengidentifikasi masalah yang mereka alami.

Republika/Prayogi
Ada sejumlah tips agar anak memiliki mental yang kuat.
Rep: Desy Susilawati  Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendidik anak memang bukan perkara mudah. Kesalahan dalam mendidik anak bisa jadi pemicu berbagai kasus pada anak mulai dari kekerasan, perundungan bahkan hingga nekat bunuh diri. Lalu, bagaimana cara yang tepat mendidik anak agar memiliki mental yang kuat?

Baca Juga

Praktisi psikolog keluarga, Nuzulia Rahma Tristinarum mengatakan mendidik anak anak agar bermental kuat. Pertama, tanamkan nilai spiritual. Bukan hanya ritual agama, tetapi barengi juga dengan pemaknaan dari apa yang mereka kerjakan

Kedua, penuhi hati mereka dengan kasih sayang dan cinta. "Jangan menukar cinta dan kasih sayang dengan materi dan fasilitas, tetapi ciptakanlah hubungan yang hangat dalam keluarga," katanya saat dihubungi, akhir pekan kemarin.

Kemudian, orang tua perlu hadir lebih sering untuk anak. Orang tua perlu mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian. 

"Hindari terlalu banyak mengomel dan mengomentari hidup anak," katanya.Kemudian, hargai anak, kemampuan mereka, dan usaha mereka. Hargai sekecil apapun yang mereka lakukan," ucapnya.

Sementara itu, melansir laman CNBC, Sabtu (14/10/2023), ada lima hal yang dilakukan orang tua cerdas untuk membesarkan anak yang sukses dan kuat secara mental. Pertama, biarkan mereka membenarkan perasaannya.

Tanggapan anak sering kali tidak....

 

 

Tanggapan anak-anak sering kali tampak tidak proporsional dengan keadaan. Namun mengatakan, "Tenang! Ini bukan masalah besar," atau "Jangan takut. Segalanya akan baik-baik saja," justru merugikan mereka.

Perasaan mereka, tidak peduli seberapa dramatis kelihatannya, adalah nyata. Orang tua yang cerdas mengajari anak-anak bahwa perasaan mereka baik-baik saja dan yang penting adalah apa yang mereka lakukan terhadap perasaan itu . Mereka mengatakan hal-hal seperti, "Merasa marah boleh saja, tapi memukul adikmu tidak boleh."

Kemudian, orang tua yang sukses tidak bertanggung jawab atas emosi anak-anaknya. Daripada menenangkan anak ketika sedang kesal atau menyemangati anak ketika sedang sedih, mereka memberikan alat yang dibutuhkan anak untuk mengatur emosinya sendiri.

Mereka secara proaktif membantu mereka mengidentifikasi keterampilan mengatasi masalah yang cocok untuk mereka. Meskipun mewarnai mungkin merupakan cara yang baik bagi seorang anak untuk mengatasi perasaan sedih, anak lain mungkin merasa lebih baik dengan mendengarkan musik.

Meskipun sulit melihat seorang anak melakukan kesalahan, orang tua yang cerdas mengubah kesalahan menjadi kesempatan belajar. Kesalahan dan konsekuensi wajar yang diakibatkannya, dapat menjadi guru terbesar dalam kehidupan.

Entah seorang anak lupa mengemas botol airnya, atau dia menunggu hingga menit terakhir untuk mengerjakan proyek pameran sainsnya, orang tua yang cerdas tidak akan memberikan jaminan kepada anak-anak mereka. Sebaliknya, mereka membantu anak-anak mereka belajar bagaimana menjadi lebih baik di masa depan.

Entah anak-anak mereka lupa mengerjakan tugas atau kesulitan dengan nilai mereka, orang tua yang cerdas melibatkan anak-anak dalam pemecahan masalah. Mereka mengajukan pertanyaan seperti, "Apa yang bisa membantu Anda menjadi lebih bertanggung jawab?" dan mereka mengembangkan rencana bersama.

Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memberikan konsekuensi – mereka tentu saja memberikan konsekuensi. Namun kedisiplinan mereka terfokus pada pengajaran agar mereka berbuat lebih baik di lain waktu, daripada mempermalukan mereka karena gagal mencapai tujuan mereka.

Orang tua yang cerdas memberi anak mereka kesempatan untuk melatih keterampilan mereka dengan membiarkan mereka merasa tidak nyaman. Hal ini tidak berarti mereka memaparkan anak-anak mereka pada keadaan yang sulit hanya untuk menguatkan mereka, tapi itu berarti mereka membiarkan anak-anak mereka merasa bosan, kecewa, dan frustrasi kadang-kadang.

 

Dan bukannya membantu mereka “tidak merasa takut,” mereka mendorong anak-anak mereka untuk “menjadi berani.” Anak-anak mereka semakin percaya diri akan kemampuan mereka untuk menoleransi rasa tidak nyaman dan mereka belajar bahwa mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan.

 
Berita Terpopuler