Kemunduran Prestasi Bulu Tangkis Nasional

Rentetan kegagalan PBSI harus disikapi dan dievaluasi serius.

BPK
Ketua Umum PBSI Agung Firman Sampurna.
Red: Bilal Ramadhan

Ditulis oleh Wartawan Republika, Bilal Ramadhan

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, Rasanya kita harus mulai belajar dan mengembangkan budaya malu. Kita tidak perlu malu untuk mengikuti budaya ini dari negara lain, misalnya di Jepang yang sangat kuat tradisinya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya pun telah membuat sebuah konsep besar yang bisa jadi budaya malu ini juga termaktub di dalamnya.

Di Jepang, kita tidak akan heran, membaca sebuah berita adanya pejabat yang mundur. Jangan kan karena terserempet kasus korupsi, sekadar tidak berhasil memenuhi targetnya pun sudah cukup menjadi salah satu alasan pejabat di Jepang untuk mengundurkan diri. Bahkan di Jepang, tercatat ada lima perdana menteri yang mundur. Salah satunya Shinzo Abe. 

Agung Firman Sampurna terpilih sebagai Ketua Umum PP PBSI periode 2020-2024 di Musyawarah Nasional pada November 2020. Dia terpilih karena menjadi calon tunggal, dan tanpa pesaing, untuk maju ke Cipayung. Masa jabatan memang tinggal hitungan bulan. Persoalannya, minimnya prestasi timnas di bawah kepemimpinan Agung yang amat terasa.

Rentetan kegagalan Firman Agung Sampurna...

 

Di masa pemerintahan Agung Firman Sampurna, banyak kegagalan para pemain Pelatnas di turnamen atau kejuaraan-kejuaraan besar. Misalnya pada 2021, tim beregu putra Indonesia untuk pertama kalinya gagal melaju ke babak final SEA Games 2021. Karena biasanya tim putra Indonesia, selain meraih medali emas, paling banter dapat medali perak karena kalah di babak final. Di SEA Games 2021 itu pula, Indonesia hanya mendapatkan 2 emas, kalah dari Thailand yang dominan dengan 4 emas.

Pada 2022, Indonesia juga gagal mempertahankan Piala Thomas yang sebelumnya diraih pada 2020. India membuat sejarah dengan merebut Piala Thomas untuk pertama kalinya sejak Piala Thomas bergulir.

Selain itu, dalam tiga kali edisi Kejuaraan Dunia BWF pada 2021 hingga 2023, tak ada satu pun pemain Indonesia yang menjadi Juara Dunia. Indonesia terakhir meraih gelar Juara Dunia pada 2019 melalui pasangan senior Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan.

Dan puncaknya, sejarah paling buruk pun tercipta di Asian Games 2022. Dalam dunia bulutangkis Indonesia, Asian Games 2022 memang bisa disebut sebagai ajang dengan prestasi terburuk. Jika Indonesia kerap menjadi penyumbang medali utama di ajang SEA Games, Asian Games dan bahkan ‘tradisi emas’ di Olimpiade. Kini, PBSI pantas malu karena tidak menyumbangkan satu medali pun untuk Indonesia. Tidak hanya tidak menyumbang medali emas, bahkan 1 perunggu pun tak dibawa pulang.

Padahal dalam sejarahnya, Asian Games 1986 menjadi prestasi bulutangkis terburuk karena hanya menyumbangkan 4 medali perunggu. Namun, gelar itu kini harus tergantikan oleh Asian Games 2022.

Kacaunya manajemen di Pelatnas...

 

Memang banyak faktor kegagalan para pemain Pelatnas di ajang internasional. Misalnya kacaunya manajemen di Pelatnas. Salah satu yang menjadi ‘korbannya’, yaitu Flandy Limpele yang mengaku sempat menjadi pelatih di Pelatnas tanpa ada kontrak hitam di atas putih. Karena ketidakjelasan status, Flandy pun ‘melompat’ ke Hong Kong untuk menangani sektor ganda di sana.

Sistem rotasi kepelatihan juga buruk. Dalam tulisan saya sebelumnya, ‘sutradara’ utama di Pelatnas PBSI bukan dipegang Riony Mainaky selaku Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi, melainkan Ketua Harian PBSI Alex Tirta. Ini pun secara tidak langsung diakui Herry Iman Pierngadi.

Saat diwawancara para wartawan di Pelatnas PBSI Cipayung beberapa waktu lalu, Herry IP menceritakan pemindahannya dari kepala pelatih ganda putra menjadi ganda campuran karena atas permintaan Alex Tirta, bukan Riony Mainaky selaku Kabid Binpres yang seharusnya menjadi tokoh utama yang ‘mengutak atik’ Pelatnas.

Kisruhnya jabatan kepemimpinan di PBSI juga bermasalah. Salah satu legenda Indonesia, Taufik Hidayat pun pernah membeberkan alasan mundurnya dari kepengurusan PBSI karena jabatannya sebagai Staf Ahli Pembinaan dan Prestasi sekadar ‘pajangan’.

Jangan sampai buruknya prestasi ini terus terjadi hingga di Olimpiade Paris 2024. Harus ada evaluasi serius dan nyata di tubuh PBSI. 

 

 

 
Berita Terpopuler