Karmin Serangga Haram Menurut NU Jatim, Ini Alasan Keputusan Fatwa Halalnya Menurut MUI

Fatwa halal karmin MUI melalui penelitian empirik

Republika/Thoudy Badai
Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan hukum fatwa halal karmin.
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Media massa ramai memperbincangkan pewarna alami karmin yang berdari serangga cochineal. Umumnya, pewarna ini bisa digunakan untuk berbagai jenis makanan dan minuman. 

Baca Juga

Penggunaannya telah difatwakan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.  

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, secara jelas fatwa itu menyebutkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. 

Dalam ilmu Biologi, hewan ini digolongkan serangga karena termasuk kelas insecta, dengan genus Dactylopius, ordo Hemiptera dan species Dactylopius coccus.  

"Serangga ini hidup di atas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir," kata Kiai Niam melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (28/9/2023). 

Baru-baru ini, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur membahas hukum pewarna dari karmin yang dinyatakan najis dan menjijikkan. 

Atas munculnya pendapat tersebut, Kiai Niam menyampaikan bahwa menghargai pembahasan dan juga hasil keputusan LBM NU Jawa Timur terkait dengan hukum penggunaan karmin untuk kepentingan pewarna makanan. Menurutnya, hal ini bagian dari proses ijtihad yang perlu dihormati. 

"Pada hakikatnya MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqiah," ujar Kiai Niam. 

Baca juga: 5 Dalil yang Menjadi Landasan Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Kiai Niam menambahkan, hanya saja penetapan hukum MUI dan LBM NU berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. 

MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum.

Dia menjelaskan, pendekatan al-ihtiyath (hati-hati) dan al-khuruj min al-khilaf atau sedapat mungkin keluar dari perbedaan pandangan fuqaha. Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa MUI, khususnya yang saat ini sedang dibahas berkaitan dengan hasyarat atau serangga secara umum. 

"Khusus terkait masalah pewarna hewan cochineal ini, MUI sebelum menetapkan fatwa, mengundang khusus ahli entomologi dari Departemen Proteksi Tanaman dan ahli bioinsektisida yang disertasinya khusus meneliti soal ini di Cardiff University Inggris, dan memberikan informasi utuh mengenai jenis hewan cochineal yang digunakan sebagai pewarna," jelas Kiai Niam. 

Guru Besar Bidang Ilmu Fikih ini menegaskan MUI mendalaminya dengan sekasama, dengan pendekatan tahqiqul manath, melakukan kajian mendalam mengenai tashawwur masalah secara utuh. Karena jenis serangga itu sangat beragam, dengan berbagai spesiesnya.  

Kiai Niam menerangkan, mengenai jenis serangga cochineal untuk pewarna makanan, MUI telah melakukan pembahasan yang sangat intensif, dilakukan beberapa kali rapat dan juga pembahasan. Lebih dari enam kali forum diskusi dilaksanakan. 

"Di dalamnya, kita mendengar berbagai pendapat dari para ahli di bidangnya untuk dijadikan pertimbangan penetapan hukum (fatwa),” kata Kiai Niam. 

Salah satu ahli yang ada saat forum diskusi dilakukan adalah ahli entomologi, Dr Dra Dewi Sartiami, M.Si yang memberikan penjelasan mengenai anatomi (spesies, ordo dan proses tumbuh) Cochineal, termasuk tentang pola hidup, bahaya, dan manfaat. 

Selain itu, Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menyebutkan bahwa karmin memiliki beberapa manfaat seperti memungkinkan penggunaan pewarna alami dengan kualitas yang baik. 

Baca juga: Temuan Peneliti Amerika Serikat dan NASA Ini Buktikan Kebenaran Alquran tentang Kaum Ad

Apalagi, karmin sudah digunakan sejak ribuan tahun lalu oleh suku Aztec di Amerika Selatan dan terbukti aman, tidak membahayakan (’adam al-dlarar) 

“Dari berbagai penjelasan ahli diperoleh kesimpulan bahwa sifat cochineal memiliki kemiripan dengan belalang atau al-jarad. Sementara belalang dalam konteks fiqih Islam, sekalipun masuk dalam hasyarat, tapi memiliki kekhususan tersendiri, karena ada hadis yang menyatakan kehalalan bangkainya," kata Kiai Niam yang juga Katib Syuriyah PBNU.  

Hadits Riwayat Ahmad, menyebutkan, “Dari Abdullah ibnu Umar ra, dia berkata Rasulullah SAW bersabda, "Dihalalkan bagi orang Muslim dua bangkai dan dua darah, sedang dua bangkai ialah ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati dan limpa.” 

 

"Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan," ujar Kiai Niam yang juga Pengasuh Pesantren Al-Nahdlah Depok.    

 
Berita Terpopuler