Kemarau dan Malapetaka Bagi Petani di Sawah yang Retak Menunggu Hujan

Padi yang harusnya panen Oktober mendatang harus mati dan gagal panen.

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Warga melihat areal lahan tambak ikan yang mengering di desa Pabean Udik, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (23/9/2023). Petambak terpaksa membiarkan tambaknya mengering karena kualitas air saat musim kemarau yang buruk disebabkan meningkatnya kadar garam sehingga bisa menyebabkan kematian ikan.
Rep: Shabrina Zakaria Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Acep (40 tahun) berjalan menyusuri pematang sawah yang menghampar di Desa Pabuaran, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor pada Senin (25/9/2023). Hari itu, terik matahari lebih menyengat. Ini musim kemarau.

Acep seperti tak peduli panas yang membakar kulit siang itu. Setelah menyusuri pematang sawah, ia duduk termangu. Pandangannya tajam melihat hamparan sawah hijau seluas 10,5 hektare. Acep melamun. Sesekali ia memelintir rumput yang terselip di gigi-giginya.

Ketika ditemui Republika.co.id pada Senin siang itu, Acep hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Kepalanya ditutupi topi berbalut kain berwarna ungu. Kulit tubuh dan wajahnya menggelap. Ia tak perlu menyebut sudah berapa hari bergelut dengan panas terik matahari.

Baca Juga

Di belakang Acep, sebuah cangkul digeletakkan begitu saja di atas permukaan sawah yang retak. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Acep sebagai petani selama tiga bulan terakhir. Kekeringan yang melanda desanya, diakuinya paling parah selama 10 tahun ke belakang.

Padi yang telah ditanamnya bersama teman-teman di Kelompok Tani (Poktan) Subur Tani sejak Mei lalu, harus gagal panen. Semestinya, padi yang ditanamnya itu bisa dipanen sebulan lagi, atau pada Oktober mendatang.

Acep bangkit dari duduknya, mencoba mencabut padi yang ditanamnya, hingga retakan tanah sawah yang kering turut tercabut. “Harusnya ini panen bulan Oktober, umurnya sudah tiga bulan sejak bulan Mei. Sekarang udah nggak bisa ngapa-ngapain, udah nggak ke sawah lagi,” kata Acep seraya menghempaskan padi yang gagal panen itu ke sawah yang kering.

Menurut Acep, meskipun musim kemarau selalu melanda setiap tahun, padi yang ditanamnya selalu bisa dipanen tepat waktu. Berbeda dengan tahun ini, ia harus menelan pil pahit gagal panen dan terpaksa menjadi pengangguran hingga musim kemarau berlalu.

Menganggur selama kemarau...

Seorang pria berjaket merah berjalan menuju sawah. Ia mendekat. Sodik namanya. Petani berusia 62 tahun ini datang memeriksa padi-padi yang sudah mati tersebut, kemudian berdiri di sisi Acep.

Sodik termenung memandang seluruh penjuru sawah. Meski padi yang ditanam di sawah tersebut masih berwarna hijau, nyatanya sebagian besar padi tersebut sudah mati dan gagal panen.

Di tangan Sodik terdapat cangkul dan arit yang terbungkus kantong kresek. Namun, cangkul dan arit itu untuk sementara ini tidak bisa digunakan Sodik. Sama halnya dengan Acep, kini Sodik harus menganggur karena mengalami gagal panen.

Sodik memang kerap kali pergi ke sawah untuk menyegarkan pikirannya. Ia merasa kebingungan bagaimana caranya mencari modal lagi untuk membayar traktor dan bibit padi untuk penanaman berikutnya.

“Padahal ini sudah ditanam (padi) semua sampai ujung. Kalau gini nggak bisa panen, sudah mati. Saya ke sawah cuma ngecek, dilihat lagi juga cuma kekeringan aja, bengong aja di sawah,” tuturnya.

Ketua Poktan Subur Tani Desa Pabuaran, Otoh Suhendar, mengatakan di lokasi tersebut ada 7,5 hektare dari 10,5 hektare sawah yang mengalami gagal panen. Namun tiga hektare sisanya masih bisa diselamatkan, karena struktur tanahnya masih basah dan mengandung air.

Di samping itu, Poktan Subur Tani memiliki 26,65 hektare sawah dan lahan pertanian di lokasi lain. Sembari berteduh di dalam saung, Otoh mengatakan, hujan memang sudah jarang mengguyur Desa Pabuaran. Terutama pada dua hingga tiga bulan belakangan ini, yang membuat puluhan petani di Poktannya terdampak, termasuk Otoh sendiri.

Ada 230 hektare gagal panen...

Agar para petani tidak hanya jalan di tempat, Otoh berharap Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Bogor, bisa memerhatikan sumber air untuk petani. Mulai dari pembangunan irigasi, dam, parit, hingga modal para petani ke depannya setelah musim kemarau usai.

“Saluran irigasi infrastruktur masih kurang. Saluran belum tersentuh. Kami mohon kepada Pemda, Bogor khususnya, pembangunan dam parit dan saluran irigasinya,” kata Otoh.

Keresahan yang dirasakan petani, juga turut membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor merana. Sebanyak 7,5 Hektare sawah yang gagal panen itu, hanya segelintir dari ratusan hektare sawah se-Kabupaten Bogor yang juga mengalami gagal panen.

Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Kabupaten Bogor mencatat ada hampir 600 hektare sawah di 24 kecamatan se-Kabupaten Bogor dilaporkan terdampak kekeringan. Dimana 230 hektare di antaranya mengalami gagal panen.

Ada tiga kriteria lahan perkebunan dan pertanian yang terdampak kekeringan. Pada kriteria ringan, lahan atau sawah mengalami tanah pecah namun tidak mendapatkan sumber air.

Kemudian, pada kriteria sedang, mengalami tanah pecah, tidak mendapatkan sumber air, namun pertumbuhan tanaman sudah terlihat bagus. Sedangkan, pada kriteria berat tanah sudah terbelah hingga kaki bisa masuk, dan daun-daun tanaman menggelinting.

Berharap segera turun hujan....

 

Seorang warga memompa air disamping sawah yang terdampak kekeringan. (Ilustrasi) (Antara/Fakhri Hermansyah)

Kabid Perlindungan dan Pelayanan Usaha Distanhorbun Kabupaten Bogor, Judi Rahmat, berharap lahan perkebunan dan pertanian yang terdampak kekeringan tidak naik status dari ringan ke sedang, bahkan sedang ke berat.

“Yang gagal tumbuh, sudah nggak bisa tumbuh lagi, nggak bisa panen. Nah, yang sisanya kami berharap tidak naik status yang masih ringan tidak menjadi sedang dan seterusnya. Berharap juga hujan. Jadi, kalau hujan, insya Allah, yang ringan dan sedang itu ada peluang untuk tumbuh kembali,” harap Judi.

Sebagai bukti pemerintah hadir di tengah masyarakat, khususnya para petani, Distanhorbun Kabupaten Bogor melakukan langkah-langkah penanganan dampak kekeringan pada sektor pertanian. Salah satunya melalui jaminan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) bagi para petani padi yang mengalami gagal tumbuh atau gagal panen akibat bencana kekeringan.

Para petani ini akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah sebesar Rp 6 juta per 1 Hektare sawah yang gagal panen. Apalagi, Pemkab Bogor belum bisa menyalurkan bantuan air bersih untuk sektor pertanian. Sebanyak 3 juta lebih liter air bersih disalurkan ke 171 desa di 37 kecamatan se-Kabupaten Bogor yang terdampak bencana kekeringan, hanya untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.

Setelah mendapat informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofiksika (BMKG) bahwa 2023 akan terjadi El Nino, asuransi ini pada 2023 ditingkatkan 150 persen atau 2,5 kali lebih besar dari 2022. Pemkab Bogor pun memberikan sosialisasi kepada petani berkolaborasi dengan BMKG.

Kemudian, ada juga rehabilitasi sarana dan prasarana seperti jaringan irigasi air tersier. Namun tentunya dengan jumlah kelompok tani yang banyak dan keterbatasan anggaran, Distanhorbun Kabupaten Bogor mengaku memang belum bisa mengakomodasi semua kepentingan.

“Jika seandainya petani mengalami kegagalan panen atau padinya tidak bisa tumbuh, mungkin ini salah satu solusi agar, orang Sunda bilang mah jangan rugi-rugi teuing," ujarnya.

Tips hadapi cuaca panas tak biasa. - (Republika)

 
Berita Terpopuler