Pasang Bendera Kecil di Sepeda Menjelang Sumpah Pemuda 1928, Ada Pandu yang Dipukuli Polisi

Bendera Merah Putih dijadikan lambang untuk mempertebal daya tahan dan meneguhkan hati pada perjuangan nasional. Menjelang Sumpah Pemuda 1928, para anggota Pandu memasang bendera kecil di sepeda mereka, ada yang dipukuli polisi.

network /oohya! I demi Indonesia
.
Rep: oohya! I demi Indonesia Red: Partner

Para siswa sekolah dasar mengibar-kibarkan ben dera Merah Putih kecil, menyambut perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan di Cibinong. Menjelang Sumpah Pemuda 1928, ada Pandu yang memasang bendera Merah Putih kecil di sepeda, dipukuli polisi (foto: antara/republika).

Pada pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia II, bendera Merah Putih kecil juga dibuat. Tuntutan untuk dibuatkan lambang-lambang yang bisa dipakai sudah mengemuka, diajukan oleh anak-anak belasan tahun anggota Pandu.

Frits KN Harahap menuturkan pengalamannya:

Ketika diadakan rapat-rapat persiapan, anak-anak muda sekaligus pula telah mendorong dan mendesak “orang-orang tua” kami agar secepat mungkin diadakan juga sebagai lambang-lambang yang kiranya dapat diharapkan akan mempertebal daya tahan dan meneguhkan hati kami, suatu bendera nasional serta dikarang pula suatu lagi kebangsaan.

Oohya! Baca juga ya:

10 Juta Bendera Merah Putih Kecil dari Kertas Disebar Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Pekik Merdeka dengan Tangan Mengepal atau Tangan Terbuka, Pilih Kubu Mana? Ini Kata Sukarno

Hasto Merekedeweng Soal Gaya Salam Pekik Merdeka Anies Baswedan, Begini 'Sunah' Proklamator

Tanpa Persiapan, Siapa yang Siapkan Bambu untuk Pengerekan Bendera pada Proklamasi Kemerdekaan?

Pada 17 Agustus 1945 Bendera Merah Putih Dikibarkan di Tiang Bambu Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Kata Muh Yamin pada 1951, Merah-Putih Sudah Ada di Nusantara Sejak 6.000 Tahun Lalu

Monako Meminta Indonesia Ganti Bendera Merah Putih, Begini Penjelasan Muh Yamin

Permintaan itu dipenuhi. Kata Frits KN Harahap:

Sang dwi-warna segera kami pergunakan dan antara lain kami pasang di muka sepeda kami. Dalam pada itu setiap kali bertemu dengan polisi di jalanan (hampir semua masih berpangkagt ‘agen’ saja; jenderal-jenderal polisi belum ada seperti sekarang, apalagi dari bangsa Indonesia; dan mereka berkeliaran di segala pelosok), maka terpaksa kami menerima pengalaman pahit bendera Merah-Putih yang tercinta “diturunkan” dari sepeda kami, bahkan lebih pahit lagi sang dwi-warna dirobek-robek di hadapan kami yang tak berdaya apa pun dan nama kami ditulis pula dalam buku catatan “saudara sebangsa” sang polisi!

Di atas segala-galanya pula sekali-sekali tidak luput juga kami, bila dirasakan oleh sang agen sudah terlalu brutal, dipukuli dengan tongkat polisi yang dibuat dari kayu yang diberi selimut putih dari karet tebal. Pukulan-pukulan keras dan bertubi-tubi itu dimaksudkan sebagai hukuman setempat tanpa peradilan!

Demikian nasib “anak-anak nakal” yang nerasa dirinya terpanggil untuk setia kepada Sang Merah-Putih, suatu “keganjilan” dan sekaligus pelanggaran menurut tafsiran pihak Belanda bersama kaki tangannya, tetapi suatu sollen normal yang tak dapat ditawar-tawar lagi bagi kami, yang merasakannya sebagai suatu conditio sine qua non ... demi memperoleh ketenteraman jiwa yang justru dicari sampai dikejar.

Menurut Frits, ada 30-40 anggota Pandu Jong Indonesia yang bergabung untuk selalu membawa bendera di sepeda. Mereka sering berkumpu di Jalan Kawi dan Gang Kenari. Di lapangan rumput di Jalan Kawi, mereka kibarkan bendera Merah Putih di tengah lapangan juga menjadi sasaran polisi.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

“Bersifat Temporerkah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928” karya Frits KN Harahap di buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974)

 
Berita Terpopuler