Sahur, Ramadhan, dan Peristiwa 17 Agustus 1945

Hari kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 beriringan dengan bulan Ramadhan.

Nationaalarchief.nl)
Hari kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 beriringan dengan bulan Ramadhan. Foto: Sjahrir, Sukarno, dan Hatta berfoto bersama Letnan Kolonel Van Beek (Komandan KST) di Yogyakarta.
Rep: Rossi Handayani Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dahulu perjuangan para pemimpin bangsa Indonesia selama hari kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 beriringan dengan bulan Ramadhan. Di samping memperjuangkan bangsa, mereka pun tak lupa menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim untuk berpuasa. Kala itu, kemerdekaan jatuh pada 9 Ramadhan 1364 hijriah.  

Baca Juga

Dikutip dari buku Api Sejarah 2 tulisan Prof Ahmad Mansur Suryanegara, saat itu, dalam kalender 1945, 17 Agustus bertepatan dengan hari Jumat Legi, tanggal 9 Ramadhan 1364. Ini berarti umat Islam di seluruh dunia sedang dalam melaksanakan ibadah shaum. Naskah teks proklamasi yang dituliskan oleh Bung Karno dan diketik oleh Sajoeti Melik, serta ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta dilakukan pada saat waktu makan sahur shaum Ramadhan 1364.

Hatta menuturkan makan sahur di rumah Laksamada Tadashi Maeda. Beberapa jam sebelum proklamasi kemerdekaan, kondisi Soekarno dan Hatta dalam keadaan lelah. Mereka baru tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Sebelumnya, mereka berada di Rengasdengklok, diculik sejumlah pemuda yang memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, sebelum 17 Agustus 1945.

Seampainya di Jakarta, mereka langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1. Sebelumnya, Soekarno lebih dahulu menurunkan istrinya, Fatmawati, dan putranya, Guntur, di rumah Soekarno.

Rumah Laksamada Maeda dipilih sebagai tempat penyusunan teks proklamasi karena sikap Maeda yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. Perwira Angkatan Laut ini memang berbeda dengan perwira militer lainya. Ia akrab berhubungan dengan rakyat Indonesia.

Ia adalah pejabat yang bertanggung jawab atas Bukanfu di Batavia. Maeda tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya, tetapi juga membentuk suatu kantor penerangan yang dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, ia membuat berbagai program, termasuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas bagi masa depan bangsanya.

 

 

Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco, kepala pemerintahan umum, yakni Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajaki sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo. Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebijakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.

Soekarno kecewa dengan sikap Nishimura. Baginya, tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung.

Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan BM Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun golongan pemuda, menunggu di serambi muka. Menurut Soebardjo, di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas.

Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai, sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka, dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.

Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dini hari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks proklamasi yang masih merupakan konsep.

Soebardjo melukiskan suasana ketika itu: "Sementara teks proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa ketika meninggalkan Rengasdengklok. Kemudian, teks proklamasi dibacakan pada saat proklamator menjalankan ibadah shaum."

Itulah sekelumit kisah perjuangan para pendiri bangsa. Nama dan usaha mereka akan tetap terkenang.

 

 

 
Berita Terpopuler