Sukarela Jual Ginjal Korban TPPO Akibat Terhimpit Ekonomi, Oknum pun 'Bermain' 

Oknum Polres Bekasi diduga menerima uang Rp 612 juta dari sindikat TPPO.

www.lienaaifen.com
Seorang pria ditinggal kekasihnya usai menjual ginjalnya untuk beli cincin pertunangan mereka. (ilustrasi)
Rep: Ali Mansur Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, menyisakan derita bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit dan sulitnya lapangan kerja, telah mendorong sebagian masyarakat mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang. Salah satunya yang akhir-akhir marak adalah jual ginjal.

Polda Metro Jaya menyampaikan, bahwa para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus jual ginjal secara sukarela menjual bagian organ tubuhnya. Hal itu dilakukan lantaran para korban membutuhkan uang akibat himpitan ekonomi, dampak dari pandemi Covid-19. 

"Sukarela (menjual ginjalnya). Bermotif ekonomi sebagai dampak dari pandemi, sebagian besar kehilangan pekerjaan dan sebagainya,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (21/7).

Selain itu, Hengki memastikan, tidak ada tindakan kekerasan atau penyiksaan kepada korban TPPO dengan modus jual ginjal. Kemudian meski tidak ada paksaan, perbuatan menjual ginjal dengan motif ekonomi tidak dibenarkan oleh undang-undang. Sehingga perbuatan tersebut dianggap melanggar pidana dan termasuk ke dalam kasus TPPO.

"Dalam pengertian eksploitasi dalam UU TPPO itu dengan persetujuan atau tanpa persetujuan itu termasuk dalam klausul TPPO," ujar Hengki. 

 

 

 

Jual ginjal (ilustrasi) - (Ilustrasi/Mardiah)

Sindikat Indonesia

Dalam kasus ini, sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga Rp 200 juta. Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibukota Kamboja. Rumah sakit militer tersebut di bawah kendali pemerintah Kamboja.

 

Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 12 orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjulan organ tubuh ginjal. Dua diantaranya merupakan oknum kepolisian dan imigrasi, Kamis (20/7). - (Republika/Alli Mansur)

 

"Para sindikat Indonesia terima pembayaran Rp 200 juta, (lalu) Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat terima Rp 65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya," ungkap Hengki. 

Total omzet yang didapat para sindikat sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp 24,4 milyar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata 2 atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.  

"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan para korban yang umumnya kesulitan secara finansial dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan diberi uang Rp 135 apabila berhasil mendonorkan ginjalnya," kata Hengki.

Kasus ini TPPO modus jual ginjal sendiri terungkap berangkat dari informasi intelijen. Kemudian kepolisian menggerebek sebuah rumah yang diduga menjadi tempat penampungan penjualan ginjal ini terletak di Perumahan Villa Mutiara Gading, Jalan Piano 9, Blok F5 Kelurahan Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Diduga di rumah tersebut, para korban TPPO ditampung untuk selanjutnya dikirim ke Kamboja untuk diambil ginjalnya. 

Oknum polisi dan imigrasi

Praktik ilegal jual ginjal ini, tak luput juga dari peran serta seorang oknum anggota Polres Bekasi Kota Aipda M. Dalam bisnis jual ganjal terebut yang bersangkutan diduga menerima uang Rp 612 juta dari sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO). 

Selain itu terancam pidang, dia juga bakal diproses secara kode etik dan profesi atas pelanggaran yang dilakukannya. "Sekarang sudah jelas pidana ya, ancaman pidana. Tentu langkah-langkah pidana disertai dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Propam nantinya, baik itu melalui kode etik, apalagi oleh pidana," tegas Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko kepada awak media, Jumat (21/7).

Namun Trunoyudo belum dapat membeberkan mengenai saksi pidana maupun etik yang bakal diterima Aipda M. Pastinya, yang bersangkutan dikenakan pasal 22 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo. Pasal 221 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Obstruction of justice/Perintangan penyidikan). 

Kemudian untuk sanksi etik, kata Trunoyudo, akan diputuskan dalam sidang kode etik profesi. Tentunya melalui mekanisme yang telah diatur dan Trunoyudo enggan berspekulasi yang mendahului proses sidang. 

Dia memastikan semua tersangka dalam kasus TPPO modus jual ginjal diproses hukum secara profesional. "Nanti putusannya seperti apa itu nanti melalui proses mekanisme sidang," kata Trunoyudo.

Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto menegaskan akan menindak tegas siapa saja yang berupaya menutupi atau membekingi kasus TPPO.  Tidak terkecuali oknum anggota Polri yang terbukti terlibat dalam perkara tindak pidana tersebut. Termasuk Aipda M yang diduga menghalangi-halangi penyidikan kasus TPPO modus jual ginjal. 

"Dalam memberantas TPPO, apabila ditemukan beking-bekingan kami akan melakukan tindakan sesuai aturan hukum yang berlaku tanpa terkecuali," tegas Karyoto. 

Dalam kasus ini Polda Metro Jaya menangkap dan menetapkan 12 orang sebagai tersangka. Ke-12 tersangka masing-masing berinisial MA alias L, R alias R, DS alias R alias B, HA alias D, ST alias I, H alias T alias A, HS alias H, GS alias G, EP alias E, LF alias L. Mereka dikenakan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dan atau Pasal 4 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

Kemudian selain Aipda M, juga seorang pegawai imigrasi berinisial AH alias A. Pegawai imigrasi Bali tersebut disangkakan Pasal 8 Ayat (1) UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang. 

 
Berita Terpopuler