Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 Hijriyah, Wajibkah Puasa Asyura?

Muharram merupakan salah satu dari empat bulan yang suci di dalam Islam.

Edi Yusuf/Republika
Warga melakukan pawai obor menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 H di Ciumbuleuit Atas, Kota Bandung.
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Asyura (bulan Suro dalam dialek lokal Jawa) adalah hari kesepuluh di bulan Muharram dalam penanggalan Hijriyah. Namun, benarkah ada ibadah puasa khusus pada hari Asyura dalam syariat?

Muharram merupakan salah satu dari empat bulan yang suci di dalam Islam. Saking sucinya bulan-bulan tersebut, di masa Nabi SAW, peperangan tidak dilakukan di keempat bulan itu dalam rangka penghormatan. Karena barang siapa yang melakukan kebaikan, termasuk puasa di keempat bulan mulia itu, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya.

Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku Sejarah Puasa menjelaskan dalam syariat Islam ibadah puasa didasarkan pada sumber-sumber utama, yakni Alquran, hadits, dan juga ijma (konsensus) para ulama. Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW dan para sahabat telah mendapatkan perintah untuk mengerjakan puasa.

Baca Juga

Di antaranya adalah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa pada 10 Muharram (Asyura). Hal ini sebagaimana hadits, “Kaana Rasulullah SAW yashumu tsalatsata ayyamin min kulli syahrin wa yashumu yauma asyura." Yang artinya, “Rasulullah SAW berpuasa tiga hari pada setiap bulannya dan beliau berpuasa di hari Asyura." HR Abu Dawud.

Kemudian, turunlah ayat yang memerintahkan Nabi beserta umat Islam untuk mengerjakan puasa fardhu hanya di bulan Ramadhan saja. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surath Al Baqarah ayat 183.

Allah berfirman, “Ya ayyuhalladzina aamanuu kutiba alaikum as-shiyamu kamaa kutiba alalladzina min qablikum la’allakum tattaqun." Yang artinya, “Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertakwa."

Sehingga semua puasa yang sudah ada sebelumnya...

Sehingga semua puasa yang sudah ada sebelumnya tidak diwajibkan lagi. KH Achmad Syukron Ghozali dari Majelis Taklim Asy-Syakirin mengatakan salah satu yang khas dari bulan Muharram di Indonesia adalah adanya istilah lebaran anak yatim. Menurut dia, meski ini kegiatan istilah ini memang tidak berasal langsung dari Rasulullah SAW.

Namun demikian, tradisi tersebut bersifat baik untuk dilakukan sebagai bentuk memberikan kasih sayang kepada anak-anak yatim. Menurut beliau, bersedekah kepada anak yatim yang diidentikkan di bulan Muharram kemungkinan mengacu pada peristiwa kemenangan besar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.

Seperti peristiwa diterimanya taubat Nabi Adam usai melanggar perintah Allah di surga, dilahirkannya Nabi Ibrahim, terbebasnya Nabi Ibraham dari kobaran api, terbebasnya Nabi Yunus dari perut ikan paus, hingga disembuhkannya penglihatan Nabi Yakub. Sehingga karena banyaknya peristiwa kemenangan besar di bulan Muharram, kata beliau, implementasi tersebut dicurahkan dengan menyenangkan anak-anak yatim.

Namun, beliau mengingatkan kepada segenap umat Muslim untuk terus mengencangkan tekad dalam memberikan kebahagiaan kepada anak-anak yatim di luar bulan Muharram. Sebab sebagaimana amanat yang diabadikan Allah dalam Alquran, menyayangi anak-anak yatim harus dilakukan sepanjang waktu.

Di sisi lain, Kiai Syukron juga mengingatkan agar umat Muslim terus menjaga amalan-amalan ibadah utama di bulan Muharram. Sebagai umat Nabi Muhammad, beliau menyebut alangkah baiknya apabila amalan-amalan ibadah seperti berpuasa dan juga ibadah sunnah harian dapat dilakukan dengan istiqamah.

 
Berita Terpopuler