World Bank Sebut Indonesia Tahan Banting dari Guncangan Eksternal

Cadangan devisa RI cukup untuk menyerap guncangan eksternal jangka pendek.

ANTARA/Hafidz Mubarak A
Suasana gedung perkantoran di ibu kota terlihat dari kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (14/6/2022). Bank Dunia menilai Indonesia lebih tahan banting terhadap guncangan eksternal.
Rep: Retno Wulandhari Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- World Bank atau Bank Dunia menilai Indonesia lebih tahan banting terhadap guncangan eksternal. Hal tersebut tecermin dari meningkatnya cadangan devisa, turunnya utang luar negeri, persepsi investor, hingga stabilnya nilai tukar rupiah.

Baca Juga

Cadangan devisa Bank Indonesia (BI) naik dari 137,2 miliar dolar AS pada 2022 menjadi 139,3 miliar dolar AS pada Mei 2023. Jumlah devisa tersebut setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang jangka pendek. 

Lead Economist World Bank Habib Rab mengatakan cadangan devisa BI itu tetap memadai. "Cadangan devisa tersebut cukup untuk menyerap guncangan eksternal jangka pendek dengan perlindungan yang cukup untuk utang atau pun kewajiban jangka pendek," kata Habib, Senin (26/6/2023). 

Rupiah terapresiasi 4,6 persen sejak awal tahun terhadap dolar AS. Sementara imbal hasil obligasi jangka panjang menurun sebesar 61 basis poin selama periode yang sama. Mata uang menjadi lebih sedikit sensitif terhadap pergerakan arus modal. 

Baca Juga: Sri Mulyani Tenang, Aliran Modal Asing Masih Deras Masuk Indonesia

Namun, menurut Habib, volatilitas rupiah relatif rendah dibandingkan ke negara-negara sejawat. Nilai tukar efektif riil Indonesia (REER) juga terapresiasi 6,4 persen sejak awal tahun ini.

Utang luar negeri Indonesia juga terus mengalami penurunan mencapai 28,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, utang luar negeri sektor publik dan swasta telah turun. Ini mengindikasi likuiditas yang cukup di pasar domestik setelah ledakan komoditas.

Perusahaan swasta lokal kini lebih banyak beralih ke pasar domestik untuk pembiayaan kebutuhan operasional, sehingga mengurangi risiko mata uang. Pemerintah Indonesia juga mengalihkan obligasi negara (SBN) eksternal ke dalam negeri. "Ini mengurangi risiko dari nilai tukar dan volatilitas pasar keuangan global," jelas Habib.

Di sisi lain, jatuh tempo pinjaman eksternal telah diperpanjang. Pinjaman eksternal jangka pendek, baik swasta maupun publik, berada pada level terendah, sehingga mengurangi dampak dari modal volatilitas arus.

World Bank melihat Indonesia....

Di sisi lain, World Bank melihat Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan produktivitas. Secara struktural, World Bank menilai hal tersebut berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen, mengatakan potensi pertumbuhan tampak melambat akibat berkurangnya input dari tenaga kerja, kendala pada pembentukan modal manusia, dan melambatnya pertumbuhan produktivitas.

 

"Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan produktivitas seperti yang dialami oleh Pasar Berkembang dan Ekonomi Berkembang," ujar Satu, Senin (26/6/2023).

Menurut Satu, investasi dan input tenaga kerja telah menjadi pendorong pertumbuhan utama sebelum pandemi. Namun, Satu melihat, semua pendorong pertumbuhan sekarang mengalami moderasi, khususnya produktivitas faktor total (total factor productivity).

Sejalan dengan itu, daya saing Indonesia belakangan ini mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara yang setara. Ini sebagai akibat terjadinya beberapa distorsi di sebagian bidang kebijakan, misalnya, peraturan bisnis, kebijakan di sektor keuangan, kerangka kompetisi, serta kebijakan pasar kerja.

Untuk dapat meningkatkan daya saing Indonesia, diperlukan peraturan bisnis dan keterbukaan perdagangan. Indonesia dapat mencapai tujuannya menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045 jika kinerja pertumbuhan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita dapat terus dipertahankan selama 10 tahun terakhir.

Agar Indonesia dapat mempercepat pertumbuhannya serta mencapai tujuannya menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045, menurut Satu, pemerintah dapat memprioritaskan penerapan reformasi struktural baru-baru ini seperti Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK)

"Pemerintah juga dapat mengadopsi lebih lanjut berbagai kebijakan yang ramah-pasar di bidang perdagangan maupun peraturan bisnis yang dapat lebih jauh mengurangi kendala dalam persaingan," kata Satu.

 
Berita Terpopuler