Klaustrofobia Kumat Saat Baca Berita Kapal Selam Titan, Ini Penyebabnya

Klaustrofobia ialah perasaan takut yang sangat intens terhadap ruang sempit/tertutup.

AP
Kapal selama wisata itu membawa lima wisatawan untuk melihat puing-puing kapal Titanic
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa hari ke belakang, banyak orang memantau portal berita untuk mengetahui informasi terkini seputar kapal selam wisata Titanic, Titan. Namun, bagi sebagian orang, membaca berita mengenai kapal selam milik OceanGate tersebut justru bisa membuat mereka merasa klaustrofobik.

Seperti diketahui, Titan merupakan kapal selam berukuran kecil yang membawa lima orang penumpang untuk berwisata di laut dalam. Kelima penumpang tersebut berencana akan mengeksplorasi bangkai kapal Titanic.

Namun, sekitar 1 jam 45 menit setelah penyelaman dimulai, komunikasi dari Titan terputus. Saat itu, tak ada yang mengetahui bagaimana nasib para penumpang Titan. Banyak orang berspekulasi bahwa kelima penumpang terjebak di laut dalam, dan harus bertahan di dalam kapal selam berukuran kecil dengan persediaan oksigen yang terbatas.

Saat ini, sudah diketahui kapal selam Titan mengalami implosi atau ledakan saat sedang menyelam. Implosi ini tak hanya merusak kapal selam, tetapi juga menewaskan semua penumpang dalam waktu singkat.

Selama memantau berita mengenai para penumpang Titan, tak sedikit warganet yang merasa klaustrofobik. Hanya dengan membaca berita mengenai tragedi Titan, mereka bisa merasakan gejala-gejala klaustrofobia atau fobia terhadap ruangan tertutup dan sempit.

"Saya amat klaustrofobik hingga merasa tidak enak badan ketika orang-orang bicara mengenai sub (kapal selam) Titanic ini," tulis seorang warganet, seperti dikutip dari Huffington Post pada Sabtu (24/6/2023).

Secara umum, klaustrofobia adalah perasaan takut yang sangat intens terhadap ruang sempit atau tertutup. Klaustrofobia bisa memunculkan gejala yang sangat memengaruhi kehidupan para penderitanya. Gejala klaustrofobia umumnya mirip seperti gejala gangguan kecemasan atau serangan panik.

"(Sebagian gejala tersebut adalah) sulit bernapas, berkeringat atau gemetar, merasa panas dingin, merasa seperti akan pingsan, mual, merasakan ketakutan ekstrim dan merasa harus keluar dari situasi tersebut," jelas psikolog Jessica Rabon dalam siaran podcast Psych Talk.

Baca Juga

Fakta mengenai kapal selam Titan yang menjelajahi reruntuhan Titanic. - (Republika)



Gejala klaustrofobia bisa muncul ketika penderita berada di dalam ruangan-ruangan yang tertutup atau sempit. Beberapa contohnya berada di dalam lift, mesin MRI, ruangan tanpa jendela, pesawat, atau kapal selam.

Pada sebagian orang, terpapar informasi bahwa orang lain sedang terjebak dalam ruang tertutup juga bisa memicu timbulnya gejala klaustrofobia. Salah satu contohnya adalah membaca berita mengenai tragedi kapal selam Titan.

Menurut psikolog klinis Cynthia Shaw, hal ini bisa terjadi karena penderita klaustrofobia bisa memiliki tingkat kecemasan yang sangat tinggi. Di sisi lain, mereka bisa dengan mudah membayangkan dirinya sendiri terjebak di dalam kapal selam saat membaca berita.

Kondisi tersebut akan memancing munculnya pemikiran-pemikiran mengenai bahaya dan kematian. Penderita klaustrofobia mungkin akan sulit untuk berhenti memikirkan nasib para penumpang kapal selam Titan dan terus merasa cemas.

"Apakah mereka akan ditemukan? Apakah mereka memiliki cukup makanan? Berapa lama mereka sudah hilang? Apa yang terjadi bila penumpang sakit? Mungkinkah mereka akan mati kelaparan?" jelas Shaw mencontohkan kekhawatiran yang mungkin dipikirkan penderita klaustrofobia setelah membaca berita.

Bila merasakan keluhan seperti ini, Rabon menganjurkan penderita klaustrofobia untuk membatasi diri dari paparan berita-berita mengenai seperti insiden hilangnya kapal selam Titan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah self-care untuk membuat perasaan diri dengan lebih baik.

Menurut Shaw, tindakan melindungi diri ini bisa dilakukan dengan beragam cara, mulai dari menonton film hingga berbincang dengan teman. Bila perlu, penderita juga dapat berkonsultasi dengan tenaga kesehatan mental profesional.

 
Berita Terpopuler