Hari Sagu, Potensi Kemandirian Pangan Masyarakat Adat Papua

Masyarakat Papua memperingati Hari Sagu setiap 21 Juni. Sagu yang tumbuh di hutan menjadi potensi kemandirian pangan bagi masyarakat adat di Papua.

network /oohya! I demi Indonesia
.
Rep: oohya! I demi Indonesia Red: Partner

Masyarakat adat Moi di Malaumkarta sedang memangkur sagu di rumah sagu. Koba-koba digeletakkan di samping batang sagu.

Pertama kali ke Papua pada 2005, belum mencoba papeda. Saat itu, Kal Muller, konsultan budaya Freeport Indonesia, bercerita soal sagu dan ulat sagu yang juga ditampilkan dalam Festival Komoro yang diadakan di Kampung Pigapu, Distrik, Kabupaten Mimika. Papeda adalah makanan yang terbuat dari tepung sagu.

Masyarakat adat Kamoro yang tinggal di pesisir biasa melakukan perjalanan kapiri kame (berkemah dengan kapiri, tikar dari daun pandan hutan) ke pedalaman, masuk ke dusun sagu. Dusun adalah sebutan kebun. Ketika dalam perjalanan pulang bertemu orang lain pun, mereka tak segan membagi bahan makanannya. ''Dua filosofi dasar orang Kamoro adalah we iwaoto, sayang orang, dan tapare iwaoto, sayang lingkungan,'' ujar Thomas Mutaweyao, budayawan Kamoro, saat itu.

Masyarakat adat Moi di Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, menyebut tikar dari daun pandan hutan yang difungsikan untuk payung sebagai koba-koba. Yang dipakai tikar oleh lai-laki disebut kalik dala, dan dipakai tikar oleh perempuan disebut kalik lagi. Tikar daun pandan ini juga dipakai sebagai atap rumah sagu. Rumah sagu disebut ainbolon, untuk melindungi batang sagu --yang belum selesai dipangkur-- dari hujan dan panas matahari.

Mencicip papeda di pantai Manokwari dengan pemandangan Pulau Mansinam.

Di Malaumkarta pada 2019, saya mencicipi papeda untuk yang ketiga kalinya. Pertama kali mencicip papeda pada 2010, di sebuah restoran milik sebuah hotel di pantai Manokwari. Di seberang laut terlihat Pulau Mansinam. Saat itu saya tidak yakin bisa kenyang dengan menyantap papeda. Pramuji meyakinkan bakal kenyang. Pepada datang, astaga, satu porsi ada dalam mangkuk besar. Pantas saja kenyang. Saya menyantapnya dengan kuah bening ikan kerapu.

Saya pernah menulis, sagu adalah bahan makanan khas Papua yang kaya energi. Nutrisionis Lie Goan Hong, seperti dikutip David Pickell dalam buku Kamoro, pernah melakukan penelitian di Papua pada 1979. Ia menemukan kalori rata-rata orang dewasa yang menyantap sagu mencapai 3.600 kal. Kalori yang ditemukan pada orang Inggris yang makan gandum rata-rata 3.317 kal.

Mencicip papeda dingin (moderip) di Sentani.

Papeda hanya salah satu jenis olahan tepung sagu. Jenis lain, diolah menjadi roti bakar atau kue. ‘’Sebuah kue sagu, saat mengeras perlu direndam dalam air sebelum dimakan. Itu akan melunak, dan mengembang menjadi lembek seperti biskuit yang kena air; tapi bila dimakan tanpa dibasahi (kecuali matang di oven) rasanya aneh, seperti pasir di dalam mulut,’’ tulis Kapten Thomas Forrest dalam A Voyage to New Guinea (1779), seperti dikutip Pickell. ‘’Sagu baru biasanya tidak memiliki rasa, agak sulit mengatakannya, namun yang pasti ada rasa bersih di dalamnya,’’ tulis Pickell. ‘’Sagu yang baru dan baik akan terasa segar dan semakin lama sagu tersebut, akan semakin asam rasanya,’’ lanjut Pickell.

Kesempatan mencicip papeda kedua kalinya saat ke Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura pada 2014. Masuk ke sebuah restoran, daftar menu memperlihatkan paket papeda harganya Rp 150 ribu. Nasi goreng seafood hanya Rp 37 ribu. Di Sentani pula, saya mencicip papeda dingin, yaitu papeda yang dibungkus daun pisang-pisangan, disebutnya maderip atau finukhu.

Papeda dingin dibungkus daun pisang-pisangan, disebut moderip.

Kesempatan ketiga mencicip papeda di Malaumkarta, kami makan bersama masyarakat adat Moi. Selain ikan kuah bening, ada pula sayur daun gedi yang di masak di dalam bambu. Daun gedi digulung, dicampur bumbu cabai dan bawang, garam, lalu dimasukkan ke dalam bambu, dan dibakar. Di Manokwari pada 2019, saya mencicipi sagu bakar.

Seorang teman mengaku biasa mengatasi diare dengan cara makan bubur sagu yang diberi gula merah. Di Jawa, masyarakat menggunakan tepung garut diaduk dengan air panas lalu diberi gula merah untuk mengatasi diare.

Di Malaumkarta Raya (Kampung Malaumkarta, Mibi, Suatut, Suatolo, Malagufuk), pangan lokal nonberas berupa sagu dan umbi-umbian masih menyumbang 90 persen kebutuhan pangan mereka. Pohon sagu, selain menghasilkan tepung sagu, juga bisa dikorbankan untuk mendapatkan ulat sagu dengan cara membusukkan batang sagu yang biasa diambil untuk dijadikan tepung.

Harga paket papeda di sebuah restoran di Sentani, mencapai Rp 150 ribu.

Ulat sagu mengandung protein tinggi. Hingga tahun 1960-an, Sukarno mempunyai program peningkatan konsumsi protein bagi masyarakat Indonesia yang dinilai jauh lebih rendah konsumsi proteinnya dibanding negara-negara lain. Pun dibanding dg negara-negara di Asia Tenggara. Jadi cukup beralasan jika warga Papua menolak pembabatan hutan. Hutan adalah tempat tumbuh pohon sagu, umbi-umbian dan buah-buahan.

Bersadarkan studi yang dilakukan Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung bersama Alianasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2018, setiap keluarga di Malaumkarta Raya memanfaatkan 38,4 noken sagu per tahun untuk konsumsi sehari-hari. Jika beli, satu noken tepung sagu (15 kg) harganya Rp 150 ribu – Rp 200 ribu. Nilai manfaat sagu masing-masing keluarga mencapai Rp 4,6 juta per tahun.

Bagi masyarakat adat di Papua, sagu sangat menjadi sumber kemandirian pangan masyarakat adat.

Selamat Hari Sagu, 21 Juni 2023

Priyantono Oemar

 
Berita Terpopuler