Dicari Negarawan, Bukan Politisi: Ingat Hatta, Sukarno, Syahrir, Nasir, Roem, Sartono?

Negarawan yang mampu membangun jembatan emas bagi rakyat Indonesia.

Cas Oorthuys / Nederlands Fotomuseum.
Foto atas dari kiri ke kanan: Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Sutan Sjahrir dan Mr Mohammad Roem saat menghadiri rapat pleno KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) ke 5 di Malang pada Tahun 1947.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Andi Makmur Makka, Mantan Pimred Republika

Pada tanggal 20 Mei yang baru lalu, kita memperingati peristiwa bersejarah, Hari Kebangkitan Nasional. Makna hari kebangkitan nasional sangat penting, karena peristiwa itu pertanda, bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran sebagai sebuah bangsa. 

Semangat ini terpancar pada sikap, suasana hati, dan moral para negarawan kita ketika awal mereka memikirkan republik ini sampai awal kemerekaan. Para politikus kita berasal dari kaum terpelajar dan kelompok intelektual yang ketika itu masih sangat langka di Indonesia. Bahkan, mereka tidak hanya terpelajar, tetapi juga kaum pilihan yang cemerlang dan punya wawasan luas. Sejumlah di antara mereka, menempuh pendidikan di negeri Belanda, negara yang menjajah Indonesia. Mereka itu, antara lain Ir. Sukarno, Muhammad Hatta, Mr. Moh. Roem, Dr. Soekiman, Sutan Syahrir, Moh. Natsir, dan Sartono.

Mereka itulah kemudian yang menjadi “cream de la cream” dunia perpolitikan di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi massa dan partai-partai untuk berdemokrasi. Konon ada yang menjadi pemimpin Partai Isla, tetapi belum fasih menjadi Imam dalam shalat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka pada mulanya membutuhkan partai-partai yang menurut mereka, satu-satunya instrumen utama demokrasi. Sesuatu yang penting untuk bangsa dan tidak berkaitan kelompok, perebutan kekuasaan apalagi untuk kepentingan pribadi-pribadi.

Hal ini kemudian bisa dibuktikan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Pejambon. Setiap orang yang berbicara sangat bermutu dan penuh pencerahan. Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini berbicara tentang falsafah negara, marxisme, sosialisme, islamisme yang sangat dalam. Mereka menyusun kalimat-kalimat demi kalimat Preambule atau Mukkadimah Undang-Undang 1945 begitu padat, bermakna, menerobos jauh ke depan, sehingga kita sekarang ini, tidak bisa mengubah sebaris saja dari kalimat-kalimat itu.

Perdebatan mereka juga sangat bermutu dan punya toleransi yang sangat tinggi, Meminjam frasa Dr. Yudi Latif: dalam sejarah berdirinya negara ini, tidak ada yang bisa menyamai kualitas perdebatan politisi kita ketika itu dalam parlemen. “discources quality index”, tidak ada yang bisa menyamainya sampai sekarang.

 

 

 

 

Bagaimana setelah reformasi? Ketika semua orang sedang dilanda sukacita reformasi sekian tahun yang lalu, Nurcholish Madjid menulis pada tabloid Tekad Jakarta, bahwa reformasi perlu berangkat dari kesadaran makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi, daripada sekadar kepentingan pribadi atau kelompok dalam arti yang sempit. Bahwa dampak nyata reformasi memang bersifat sosial, dalam arti menyangkut orang banyak. 

Namun, titik tolak yang amat mendalam bagi tekad ini, malah amat personal yang tersimpan dalam diri manusia yang paling dalam, tanpa kemungkinan orang lain untuk mengintervensinya. 

Hal yang bersifat personal ini, berupa sistem keyakinan atau kemauan memberikan seorang makna dan tujuan hidup dalam perjuangan cita-cita dan motivasi dalam menempuh perjuangan cita-cita tersebut. Dengan adanya kesadaran yang disebut sebagai ultimate, tujuan akhir dan utama, maka orang akan mempunyai kesanggupan untuk menderita, karena di belakang semua ini, ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati. 

Apa yang dimaksud Nurcholish mengenai makna dan tujuan reformasi itu, searah dengan cita-cita para pendiri republik ini di awal kemerdekaan. Bahwa tekad dalam revolusi kemerdekaan, memerlukan komitmen kepada nilai-nilai luhur budi pekerti kemasyarakatan. Bahwa untuk hidup dengan kesenangan tertunda dengan tidak mengikuti keinginan diri sendiri secara egois dan individualistis. 

Itu pula makna dari kata-kata Bung Kamo dulu yang terkenal bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas untuk mencapai nilai luhur kemerdekaan pada masa akan datang. Bahwa di balik jembatan emas itu, di seberang sana, sudah menunggu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. 

 

 

 

 

Inilah kunci, mengapa elite politik kita masa awal kemerdekaan, tidak terlihat vulgar dan hanya ngotot dalam perdebatan politik, tetapi mereka berusaha untuk mencari kesepakatan dan konsensus bagi kemaslahatan orang banyak yang diwakilinya. Mereka itu, tidak lain adalah rakyat yang telah menopang mereka ke kursi kekuasaan. 

Silih berganti kabinet berganti, tidak ada ketegangan yang berarti. Mereka seperti tim pelari estafet dan apabila ada yang gagal, dengan sportif mereka mengakuinya. Mereka kemudian menyerahkan kepemimpinan kepada lawan-lawan politik mereka dengan sukarela. Mereka turun dari jabatan pimpinan pemerintahan dan kembali menjadi oposisi, menyusun program dan konsep baru agar mereka dipercaya oleh kawan-kawan lainnya untuk terpilih lagi kelak menjadi pemimpin pemerintahan. 

Aturan main berpolitik, bukan untuk kekuasaan itu belaka, melainkan untuk suatu kepentingan yang lebih mulia, kepentingan bangsa dan rakyat. Cita-cita dan moralitas berpolitik mereka sangat kuat, mungkin itulah ciri dan karakter jiwa seorang negarawan, bukan sekadar seorang politikus. 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler