Bidan dan Dokter di Mataram Jadi Saksi Kasus Aborsi Sepasang Kekasih

Perempuan berusia 36 tahun dan kekasihnya HA menjadi tersangka kasus aborsi.

Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi). Dokter dan bidan di Mataram, Nusa Tenggara Barat menjadi saksi kasus aborsi.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Dua orang tenaga kesehatan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat menjadi saksi dalam dugaan kasus aborsi sepasang kekasih berinisial NA (36 tahun) dan HA (39). Sementara itu, NA dan HA telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Kepada yang bersangkutan tetap kami panggil, undang dan periksa sebagai saksi," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Mataram Kompol I Made Yogi Purusa Utama di Mataram, Rabu (17/5/2023).

Baca Juga

Yogi menjelaskan bahwa permintaan keterangan ini masih menjadi bagian dari upaya kepolisian untuk melengkapi alat bukti penetapan NA dan HA sebagai tersangka.

"Ini berkaitan dengan Pasal 184 KUHAP soal pembuktian, sehubungan nantinya dia (tenaga kesehatan) benar menyerahkan (obat penggugur kandungan) itu, tentu harus ada saksi dan petunjuk lain yang harus kami lengkapi, nantinya jaksa yang akan menilai, apakah masuk Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (turut serta) atau tidak," ujarnya.

Kasus dugaan aborsi ini kali pertama terungkap dari informasi pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram pada 22 April 2023. Polisi menindaklanjuti informasi tersebut dengan mendatangi rumah sakit dan menemukan NA yang sedang mendapatkan perawatan medis.

Pihak rumah sakit pun mengonfirmasikan bahwa NA telah selesai menjalani persalinan dengan kondisi keguguran janin yang berusia tiga bulan. Tersangka HA yang turut mendampingi NA menjalani perawatan medis di rumah sakit itu mengaku janin tersebut hasil hubungan asmara mereka yang sudah berjalan empat tahun.

Sebelum akhirnya mengalami keguguran, kepada polisi, NA mengakui dirinya kali pertama mengetahui ada tanda kehamilan pada akhir Maret 2023. Pada saat itu, HA yang ikut mendampingi NA memutuskan untuk mengecek ke dokter klinik.

Hasil pemeriksaan dokter menyatakan NA mengidap asam lambung. Saat itu, NA mengaku dikasih obat pengurang rasa mual, namun dia tidak ingat nama obat itu. Bentuknya kapsul dengan satu lembar berisi 10 butir obat.

"Tersangka diberikan tiga lembar. Sesuai anjuran, obat itu diminum dengan dosis tiga butir, tiga kali sehari. Tersangka juga mengaku disuntik," ucap Yogi.

Karena tidak kunjung sembuh dari rasa mual, bahkan mengalami sakit perut dan sedikit pendarahan, NA memutuskan mengecek kesehatan ke bidan berinisial FT yang membuka praktik di Sweta, Kota Mataram, pada 17 April 2023. NA mendapat rekomendasi bidan itu dari temannya.

Dari pemeriksaan bidan tersebut, NA kemudian mengetahui kepastian bahwa dirinya sedang hamil. Bidan itu pun menyatakan bahwa kehamilan NA mengalami gangguan dan kecil kemungkinannya janin tersebut dapat bertahan.

Esok hari dia datang lagi ke bidan karena cukup banyak mengalami pendarahan. Bidan lalu mengatakan bahwa kandungan NA lemah dan tipis kemungkinan janinnya untuk selamat.

Bidan pun menawarkan NA obat. Tersangka NA menjawab dengan menganggukkan kepala. Tanpa mengetahui nama obat tersebut, NA meminum dua butir dan dua lainnya dimasukkan melalui kemaluan. Usai proses pengobatan itu selesai, bidan FT menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa membantu mengeluarkan janin NA karena keterbatasan alat.

Sebelum akhirnya menyelesaikan proses persalinan darurat di RSUD Kota Mataram, NA bersama HA secara rutin mengecek kondisi kesehatan di bidan FT. Namun, pada 22 April 2023, NA mengalami kontraksi di rumahnya.

NA bersama HA kini telah mendekam di Rutan Polresta Mataram. Sebagai tersangka keduanya dikenakan Pasal 77A ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 
Berita Terpopuler