Menimbun Lemak di Otot Dapat Tingkatkan Risiko Kematian Dini

Selama ini, lemak di perut saja yang dianggap berbahaya.

Republika/Reiny Dwinanda
Pria memegang lengannya (Ilustrasi). Timbunan lemak di otot juga berbahaya bagi kesehatan.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak penelitian telah mengidentifikasi kelebihan berat badan merupakan faktor risiko berbagai masalah kesehatan, mulai dari diabetes hingga strok, kolesterol, hingga aneka penyebab kematian. Salah satu metode yang digunakan oleh dokter untuk memperkirakan lemak tubuh adalah indeks massa tubuh (BMI).

Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa BMI ini bukan satu-satunya yang dapat mendeteksi risiko kematian dini. Bahkan, tim peneliti menemukan bahwa menimbun lemak di area berbeda selain perut, juga bisa menimbulkan risiko.

Temuan menunjukkan bahwa membawa lemak dalam jumlah besar di otot bisa menjadi lebih berbahaya. Dilansir Express, Rabu (17/5/2023), orang-orang yang menimbun lemak di area ini dua kali lebih rentan terhadap kematian dini daripada mereka yang berperut buncit.

Baca Juga

Tim peneliti menggunakan artificial intelligence (AI) atau pembelajaran mesin untuk mengekstrak metrik komposisi tubuh dari CT scan perut pada orang dewasa tanpa gejala. Mereka telah menjalani pemeriksaan rutin untuk kanker usus antara tahun 2004 dan 2016.

Selanjutnya, lemak di otot diidentifikasi pada 55 persen dari 507 peserta yang meninggal selama rata-rata tindak lanjut hampir sembilan tahun. Kondisi yang dikenal secara medis sebagai myosteatosis bisa tanpa gejala dan menyebabkan serangan jantung atau strok.

Melihat hampir 9.000 orang dewasa, studi tersebut menemukan risiko kematian pada 10 tahun adalah 15,5 persen. Mereka yang mengalami obesitas hanya memiliki risiko kematian dini 7,6 persen lebih tinggi.

Myosteatosis juga menjadi faktor penyebab penyakit lain, termasuk lemak di sekitar organ perut dan penyakit hati berlemak. Meskipun semakin banyak bukti bahayanya, hal itu sering diabaikan dalam komunitas medis.

"Menariknya, hubungan itu tidak bergantung pada usia atau penanda obesitas seperti BMI. Dengan kata lain, ini berarti bahwa penumpukan lemak di otot tidak hanya disebabkan oleh usia yang lebih tua atau kelebihan lemak di lokasi lain di tubuh," ujar penulis utama studi tersebut, dr Maxime Nachit.

BMI dihitung berdasarkan tinggi dan berat badan pasien, yang berarti ini bukan cerminan komposisi tubuh yang akurat. Sebab, orang dengan BMI serupa dapat memiliki komorbiditas dan tingkat risiko kesehatan yang sangat berbeda.

Lantaran kurangnya gejala, myosteatosis biasanya ditemukan pada orang yang sudah sakit dan menjalani perawatan medis untuk penyakit lain. Sampai saat ini, pencitraan medis dengan CT atau MRI tetap menjadi standar emas untuk mengevaluasi myosteatosis, menurut dr Nachit.

"Di sini, kami menunjukkan bahwa myosteatosis merupakan indikator kuat dari risiko kematian seseorang dalam jangka waktu yang relatif singkat," kata dia.

Dengan mengingat hal ini, tim peneliti mulai mengidentifikasi hubungan antara myosteatosis dan risiko kematian.

 
Berita Terpopuler