Keterlibatan Jokowi Justru Dinilai Jadi Titik Lemah Koalisi Besar, Ini Analisis Pengamat

Koalisi Besar dinilai terlalu gemuk dan akan sulit menentukan capres-cawapres.

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kedua kanan), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (ketiga kanan), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kiri), Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar (kiri), dan Plt Ketua Umum DPP PPP Muhamad Mardiono (kanan) memberikan keterangan pers usai menghadiri acara Silaturahmi Ramadhan 1444 H DPP PAN di Kantor DPP PAN, Jakarta, Ahad (2/4/2023). Acara tersebut turut dihadiri para ketua umum partai politik koalisi pendukung pemerintah seperti PAN, Partai Golkar, Partai Gerindra, PPP, dan PKB.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrian Fachri, Wahyu Suryana, Febryan A, M Fauzi Ridwan

Baca Juga

Pengamat politik dari Universitas Andalas, Najmuddin Rasul, mengatakan keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pembentukan Koalisi Besar menjadi titik lemah bagi koalisi tersebut. Najmuddin menyebut, pemilih muda antara 17-40 tahun akan lebih senang dengan figur capres atau koalisi yang tidak ada campur tangan petahana. 

"Anak muda yg berumur antara 17-40 tahun yg berjumlah 50 persen kurang tertarik dengan Koalisi Besar. Faktor keterlibatan Jokowi bisa juga sebagai kelemahan Koalisi Besar ini," kata Najmuddin, Ahad (9/4/2023). 

Koalisi Besar atau yang disebut juga Koalisi Kebangsaan kemungkinan terdiri dari gabungan Koalisi Indonesia Raya (KIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KIR terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). KIB terdiri dari PAN, Golkar dan PPP. 

Kelima partai ini diketahui sama-sama partai yang sekarang berada di dalam pemerintahan Jokowi. Najmuddin menyebut koalisi ini terlalu gemuk dan sampai saat ini masih suit menentukan siapa capres dan cawapres yang akan diusung. 

Figur Prabowo yang dianggap berpeluang besar dinilai Najmuddin sudah tidak menarik lagi bagi pemilih muda sejak mantan danjen Kopassus itu menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Lalu ikut campurnya Jokowi dalam koalisi ini lanjut Najmuddin juga menjadi titik lemah karena pemilih muda sudah banyak yang kecewa dengan pemerintahan Jokowi selama 9 tahun terakhir. 

Najmuddin menambahkan, bila Koalisi Besar ini akan sulit mengajak PDIP untuk bergabung. Karena PDIP masih punya bargaining yang tinggi dibandingkan partai-partai Koalisi Besar tersebut. 

"PDIP memiliki bargaining politik yang kuat. Ini tentu PDIP tidak bisa diatur dan dijinakkan oleh Prabowo," ujar Najmuddin.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana mengatakan, dalam kacamata elite, kebutuhan koalisi besar ingin dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, perlunya capres dan cawapres yang dapat melanjutkan agenda pembangunan Jokowi.

Kedua, adanya kebutuhan untuk dapat memenangkan pilpres dengan peluang besar yang ditopang dengan elektabilitas dari capres-cawapres yang tinggi. Sehingga, ada peluang agar pelaksanaan pilpres hanya dilakukan satu ronde saja.

Argumentasinya tentu terkait efisiensi anggaran pemilu. Namun, faktor capres dan cawapres dalam penentuan koalisi besar penting. Tidak mudah mencocokkan capres dan cawapres dengan peluang keterpilihan yang baik berdasarkan banyak survei.

"Misalkan, memposisikan Puan Maharani sebagai capres yang disandingkan cawapres siapapun merupakan tidak mudah untuk meningkatkan peluang kemenangan koalisi karena elektabilitas Puan Maharani relatif rendah," kata Aditya, Kamis (6/4/2023).

Hal yang sama turut dialami dengan Airlangga Hartarto yang memiliki posisi tidak menguntungkan. Sedangkan, peluang Ganjar disandingkan dengan cawapres siapapun yang populer tentu punya peluang bagus karena elektabilitas Ganjar tinggi.

Baca juga : Pengamat Nilai Hubungan Jokowi dan Ganjar Pranowo Masih Baik

Masalahnya, dalam PDIP belum ada putusan dari kedua nama yang resmi dicalonkan. Padahal, PDIP memposisikan diri sebagai faktor penting nanti bila bergabung. Hal yang menarik pula ada semacam dukungan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi

Berdasarkan survei Algoritma terakhir, capres yang diyakini dapat melanjutkan agenda Jokowi bagian dari koalisi Ganjar dan Prabowo. Namun, pemilih merasa dukungan yang dilakukan Jokowi tidak serta merta akan 100 persen diikuti pemilih.

Dosen Ilmu Politik Fisip UI ini mengingatkan, mereka akan melihat pula terkait dengan kapasitas dan rekam jejak calon. Dalam konteks itu, dukungan tidak jadi pertimbangan utama pemilih. Karenanya, ia merasa, koalisi besar memang dapat terwujud.

"Namun, itu tidak mudah dalam koalisi karena ada banyak dinamika yang tentu harus diselesaikan," ujar Aditya.

Baca juga : Pendukung Janji Bakal Tertib Saat Jemput Anas Urbaningrum

 

 

 

 

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengakui, bahwa rencana pembentukan koalisi besar atau Koalisi Kebangsaan dikendalikan oleh Presiden Jokowi. Hal itu disampaikan Zulhas usai bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman sang jenderal di Jakarta Selatan, Sabtu (8/4/2023).  

Zulhas awalnya mengatakan, negara besar seperti Indonesia tidak bisa diurus satu atau dua pihak saja. Perlu keterlibatan banyak partai politik untuk membuat sebuah koalisi besar atau "koalisi kebangsaan". 

"Karena perlu kebersamaan kita untuk memajukan negeri ini. Itulah salah satu (poin penting pertemuan hari ini). Tentu semuanya di bawah orkestra komando Pak Jokowi," kata Zulhas. 

 Zulhas menambahkan, dirinya dan Prabowo membahas bagaimana caranya memenangkan Indonesia atau memenangkan komitmen kebangsaan dalam gelaran Pilpres 2024. Peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Presiden selanjutnya harus berjalan mulus sehingga tidak membuat rakyat gaduh. 

Baca juga : Presiden Jokowi Didorong Terbitan Perppu Perampasan Aset

"Nah bagaimana Indonesia menang, tadi yang kami sampaikan bareng-bareng, kebersamaan, komitmen kebangsaan di bawah komando Pak Jokowi sebagai jalan tengah nanti untuk majukan Indonesia," kata Menteri Perdagangan itu. 

Adapun, Prabowo Subianto mengatakan, pertemuannya bersama Zulhas selama sekitar satu jam itu mencari format untuk menghadapi Pilpres 2024. Prabowo ingin format koalisi yang menguntungkan semua pihak dan tidak menimbulkan perpecahan usai Pilpres. 

"Kita sekarang yang harus capek mencari format supaya rakyat itu tenang, supaya rakyat menghadapi peralihan (kekuasaan) ini dengan sejuk," kata Prabowo. 

"Ini yang kita inginkan jalan tengah. Kita ini suatu kesejukan kita ini suatu moderasi gak usah jor-joran kalau bersaing. Biasa-biasa saja," imbuh Menteri Pertahanan itu. 

Koalisi besar ini awalnya dibicarakan saat Ketua Umum Gerindra, PKB, Golkar, PAN, PPP menggelar pertemuan tertutup dengan Presiden Jokowi di Kantor DPP PAN, Ahad (2/4/2033) lalu. Jokowi menyebut kelima partai itu 'cocok' bergabung.

Baca juga : Sekjen Gerindra: Prabowo Magnet Koalisi Besar

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bahkan mengklaim, sejumlah partai non-parlemen siap bergabung dengan koalisi besar yang akan dibentuk. Ia pun memastikan seluruh partai yang akan bergabung untuk membentuk koalisi besar dipastikan tetap solid. 

"Masih ada partai non-DPR siap bergabung dengan koalisi besar," ujarnya di sela-sela acara pelepasan fungsionaris Partai Golkar se Jawa Barat di Hotel Pullman, Ahad (9/4/2023). 

Ia mengatakan, sebanyak lima partai yang akan membentuk koalisi partai telah bertemu dan berbicara. Selain konsolidasi yang dilakukan, Airlangga memastikan bahwa seluruh anggota koalisi dalam kondisi solid. 

"Koalisi besar sudah bicara dengan lima partai, tentu kita konsolidasikan dulu. Koalisi besar tentu nanti di antara anggota semakin solid," katanya. 

 

Infografis Koalisi Perubahan dan Perjalanan Pencapresan Anies Baswedan - (Republika.co.id)

 

 

 
Berita Terpopuler