Said Aqil, Pajak, dan Tradisi NU : Cerita di Balik Layar

Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU

Republika/Prayogi
Ketua Dewan Pembina Islam Nusantara Foundation (INF) KH Said Aqil Sirodj. Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : M Halim Pohan, Bendahara Umum Islam Nusantara Foundation (INF) dan Dewan Pembina Jejaring Dunia Santri (JDS)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- KH Said Aqil Sirodj adalah pribadi yang khas pantura Cirebon. Nada bicaranya cepat, dan kadang meledak seperti dinamit. Walau tetap berbungkus santun dan tenang, namun sesuai tradisi pesantren dan NU, akan bersikap apa adanya sesuai kaidah fikih.

Baca Juga

NU dan pesantren adalah fikih. Namun NU dan pesantren adalah tasawuf. Corak fikih akan selalu jelas dan terang, sedangkan langgam tasawuf selalu bijak dan tenang. Keduanya bisa berpadu, sesuai situasi dan kondisi.

Pada sisi lain, seorang kiai akan terikat oleh nilai-nilai kekiaian. Kiai bukan sekadar sebutan, ia sudah menjadi lembaga. Kiai adalah lembaga pelindung, pembimbing, dan juga sekaligus penyuara umatnya.

Dalam sejarah Jawa, kita mengenal beragam model kiai. Ada Kiai Mojo yang menjadi tokoh spiritual di belakang Pangeran Diponegoro. Ada Kiai Kasan Besari yang menjadi guru para tokoh.

Ada Allahyarham Hadratus Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari yang kokoh menghadapi keganasan Jepang dan berada di balik kisah 10 November 1945 melalui Fatwa Jihadnya. Ada Syaikhona Kholil Bangkalan yang menjadi guru para pendiri NU. Ada Waliyullah Gus Dur yang gayeng namun kokoh membela pluralitas.

Ada kiai cendekia seperti KH Wahid Hasyim. Dan begitu banyak para guru kita para kiai yang rendah hati dan memilih berada di balik layar seperti KH Mahrus Ali, KH Ali Maksum, maupun KH A M  Sahal Mahfudz. Tentu masih banyak lagi yang lainnya dengan kisah (perjuangan) heroik, penuh kedalaman hikmah dan (semata) berhikmat untuk bangsa, masyarakat dan jam’iyah (warga NU). 

Baru-baru ini, mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj telah membuat geger publik karena pernyataannya soal ‘boikot pajak’. Hal ini terkait kasus anak seorang pegawai pajak yang menganiaya seorang remaja dengan begitu kejam hingga korbannya masih koma sampai saat ini.

Peristiwa ini merembet ke ayah pelaku, gaya hidup keluarganya, dan seterusnya. Akhirnya terungkap pegawai eselon tiga Ditjen Pajak itu memiliki kekayaan yang luar biasa. Dari situ terus melebar ke harta kekayaan para pejabat kementerian keuangan yang juga tajir melintir.

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Dari situ, publik terlongong-longong. Di tengah beban hidup yang kian berat, semua itu menimbulkan suasana kebatinan ihwal ketidakadilan. Rakyat dikejar-kejar pajak, tapi pemimpinnya pesta harta dengan gaya hidup main moge, main pesawat, dan kejam pada sesama.

Boikot Pajak Ala NU

Geger itu terjadi usai Buya Said Aqil Sirodj menjenguk David, korban penganiayaan anak seorang pejabat Ditjen Pajak, pada Selasa, 28 Februari 2023, di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. David adalah anak seorang pengurus PP GP Ansor.

Kepada wartawan, Buya Said menyampaikan ihwal keputusan Munas Alim-Ulama NU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. Gelaran Munas – Konbes dilaksanakan di desa Kempek, sebuah desa kecil di Kabupaten Cirebon yang mungkin masih banyak kekurangan fasilitas di sana sini, tanpa menghalangi tekad para ulama, para kiai untuk merumuskan dan melahirkan gagasan-gagasan besar seperti Munas–Konbes sebelumnya.

Di mata para Ulama, para kiai yang biasa hidup sederhana dan selalu bekerja keras, bisa berkarya besar tanpa harus ‘bergelimang’ fasilitas mewah dan lengkap.

Sejarah mencatat, banyak para ulama, para kyai melahirkan karya besar mengguncang dan mempengaruhi dunia justru dari pesantren terpencil, desa sederhana.

Untuk mengingat, gagasan besar dan mempengaruhi jagad, lahir dari  penyelenggaraan Munas -Konbes NU di Desa terpencil dan pesantren sederhana, misalnya pada 1986 Munas-KOnbes NU di Desa Kasugihan Kabupaten Cilacap, lahir gagasan besar mengenai pembagunan nasional dan konsep ijtihad yang mampu menggerakkan dunia pemikiran Islam. Lalu pada 1997 di Desa Bagu, NTB, menelorkan keputusan diperbolehkannya wanita menjadi presiden, yang saat itu dianggap masih sangat kontroversial. 

Munas ini merupakan forum tertinggi kedua setelah muktamar NU. Munas diadakan setidaknya dua kali dalam satu periode kepengurusan. Munas membahas masalah-masalah aktual keagamaan, kenegaraan–kebangsaan dan kemasyarakatan, dari perspektif Alquran, hadits, dan kitab kuning.

Dan keputusan Munas ‘Alim Ulama, tentu mengikat NU secara struktural dan mengikat warga NU secara moral. Kebetulan pada 2010 terjadi kasus pajak yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.

Gayus, pegawai kecil, yang baru berumur 30 tahun itu disebut sudah memiliki uang senilai Rp 60 miliar, plus perhiasan senilai Rp 14 miliar. Kasus ini bergulir panjang.

Nah, kepada wartawan, KH Said menyinggung kembali keputusan Munas Alim Ulama NU pada 2012 tersebut. “Keputusan para para kiai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan mengambil sikap tegas. Warga NU tidak usah bayar pajak.

Waktu itu pascaputusan Munas terus bergulir menjadi opini dibeberapa media, menyentak masyarakat, para tokoh agama, para cendikiawan, pegiat anti korupsi dan menjadi diskursus publik.

Sampai-sampai Pak SBY (presiden saat itu) kirim utusan pribadi almarhum Muhammad Yusuf menemui saya. Keputusan Munas itu penetapannya berdasarkan referensi Alquran, hadits, dan kitab kuning. 

“Kalau pajak masih diselewengkan, warga NU akan diajak para kiai, bahwa warga NU tidak usah bayar pajak sebagai bentuk ketaatan atas keputusan Munas Alim Ulama,” kata mantan Ketua Umum PBNU dua periode tersebut.

Pernyataan ini mendapat reaksi yang cepat. Kamis, dua hari setelah pernyataan KH Said, Dirjen Pajak Suryo Utomo menemui Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Suryo didampingi para petinggi Ditjen Pajak, sedangkan Gus Yahya didampingi Alisa Qotrunnada (putri Gus Dur) dan Jusuf Hamka (taipan yang juga anak angkat Buya Hamka, kini baru menjadi salah satu pengurus di PBNU).

“Gus Yahya menegaskan PBNU tak pernah membuat seruan untuk boikot bayar pajak, karena NU selalu seiring sejalan dengan pemerintah,” kata Jusuf Hamka.

Jusuf bahkan menyatakan kasus pribadi atau oknum tak patut dikaitkan dengan institusinya. Mengutip Jusuf dalam sebuah media nasional, “Apa yang disampaikan Kiai Said Aqil kurang bijaksana”. “Sebagai ulama yang kita hormati bersama sebaiknya tidak provokatif lah,” katanya.

 

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Respons juga datang dari Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), salah satu ketua PBNU, sehari setelah pernyataan Kiai Said, yakni pada Rabu, 1 Maret 2023. “Sebagai warga negara yang baik kita wajib tunduk dan patuh terhadap UU dan aturan pemerintah yang berlaku.

Rasa kekecewaan dan kemarahan atas kasus kekerasan dan penyelewengan yang melibatkan oknum pejabat dan pegawai pajak tidak boleh dilampiaskan dengan cara-cara yang salah, misal dengan tidak mau membayar pajak,” katanya dalam pernyataan di media. 

Gus Fahrur juga menyampaikan posisi ideologi politik NU. “Sejak dahulu dalam ideologi Islam Nahdlatul Ulama tidak boleh membangkang terhadap pemerintahan yang sah. Kita berkewajiban tunduk kepada pemerintah, dan menjaga keutuhan NKRI. Negara ini harus tetap tegak dan lebih mahal dari sekadar urusan kemarahan terhadap orang per orang,” katanya. 

 

Duduk perkara

Sebelum memberikan respons, mari kita mulai dari pangkalnya. Ada tiga poin keputusan tentang pajak dari Komisi Bahtsul Masail di Munas Alim Ulama NU pada 2012 tersebut.

Pertama, pada dasarnya tidak ada kewajiban pembayaran pajak di dalam syariat Islam. Namun pembayaran pajak boleh diberlakukan bagi rakyat yang mampu untuk kemaslahatan rakyat apabila sumber-sumber dana non pajak yang telah dikelola dengan benar tidak mencukupi untuk kebutuhan negara.

Kedua, adapun pembayaran pajak yang dikenakan kepada rakyat miskin adalah haram. Sedangkan pengenaan pajak yang telah secara berlebihan dan memberatkan rakyat, wajib dikurangi jenis-jenisnya, dan diturunkan besaran nilainya.

Ketiga, apabila pemerintah telah mewajibkan pembayaran pajak secara benar, tetapi dana pajak banyak digelapkan dan diselewengkan, maka hukum pembayaran pajak tetap wajib. Sedangkan penyelewengan dana pajak wajib segera diberantas dan pelakunya ditindak tegas.

Selain itu, juga ada dua rekomendasi tentang pajak dari Komisi Bahtsul Masail. Pertama, pemerintah harus segera mengurangi di antara berbagai jenis wajib pajak, dan menurunkan tingginya nilai pembayaran yang memberatkan rakyat. 

Kedua, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantas penggelapan dan penyelewengan dana pajak, maka kewajiban pembayaran pajak oleh pemerintah wajib ditinjau ulang.

Jika kita mencermati poin keputusan dan rekomendasi, maka dalam konteks Kiai Said ini ada dua hal yang patut direnungkan. Pertama, pemerintah harus segera memberantas penyelewengan dan menindak tegas pelakunya.

Kedua, jika pemerintah tak sungguh-sungguh memberantas penyelewengan dan penggelapan pajak maka kewajiban pembayaran pajak wajib ditinjau ulang. Pada poin kedua ini titik beratnya ada di PBNU.

Artinya, PBNU bisa membahas persoalan wajib-tidaknya membayar pajak jika tak ada kesungguhan memberantas penyelewengan dan penggelapan pajak. Karena hakikatnya pajak tak dikenal dalam syariat Islam, seperti bisa dibaca pada keputusan poin pertama.

Literasi dan mata batin

Pernyataan Kiai Said Aqil ini semacam warning, narasi orisinil tentang moral- etika pejabat penyelenggara negara (wabil khusus pejabat dan aparatur pajak) dan masukan buat pengurus PBNU.

Sebagai Mustasyar (Dewan Penasihat) PBNU, tentu KH Said Aqil sedang memberikan pendapatnya tentang kondisi terkini dikaitkan dengan posisi NU di tengah masyarakat. Sehingga respons dari pengurus PBNU yang diwakili dua ketuanya, Jusuf Hamka dan Gus Fahrur sangat keliru. Namun, hal yang memprihatinkan adalah ketidakpahaman tentang literasi NU itu sendiri.

Respons Jusuf Hamka memperlihatkan dua hal. Pertama, tak paham literasi NU. Kedua, tidak paham budaya dan tradisi NU. Sedangkan respons Gus Fahrur menunjukkan, pertama, tak paham literasi NU. Kedua, perspektif yang keliru.

Jika melihat dengan cermat rekaman video maupun membaca pemberitaan Kiai Said Aqil soal pajak ini maka akan jelas terpapar bahwa beliau menyampaikan tentang putusan Munas Alim Ulama NU pada 2012. Jadi normatif saja.

Baca juga: Ketum Persis Ingatkan Risiko di Balik Kedatangan Timnas Israel ke Indonesia

Buya Said hanya menyampaikan ada putusan soal itu. Hal inilah yang harus dicermati oleh PBNU bagaimana melihat kasus yang terjadi belakangan ini. Di sinilah pentingnya literasi. Duduk menjadi pengurus bukan sekadar kursi dan kuasa.

Tapi di dalamnya ada amanah dan tanggung jawab. Karena itu, persoalan ini bukan soal bagaimana posisi NU di hadapan penguasa. Hal itu sudah cristal clear menjadi sikap dasar NU dan tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maupun tradisi Asy’ariah.

Saya khawatir Jusuf Hamka tak paham sama sekali soal ini. Apalagi diksi yang ia pilih begitu gegabah: “provokasi”. Dan juga menggurui melalui diksi “bijaksana”.

Seorang kiai itu harus ‘alim. Bukan sekadar berilmu, tapi juga warotsatul anbiya. Tugas Rasulullah itu bukan sekadar menyampaikan melainkan juga memimpin. Di sinilah pentingnya mata batin seorang ulama: memahami sikap batin umatnya.

Kasus Mario ini membuka mata kita semua tentang praktik pegawai pajak kita, yang belum berhenti menyeleweng dan menggelapkan seperti terjadi pada diri seorang Gayus. Ini masih seperti puncak gunung es. Karena itu, jangan bersembunyi di balik kata oknum sebelum melakukan penyelidikan menyeluruh. 

 

Itulah tugas dan tanggung jawab seorang Mustasyar. Dan tugas menjadi seorang pengurus NU untuk bisa menjadi mata batin umat dan seluruh rakyat Indonesia: bahwa kita tidak sedang baik-baik saja dalam atmosfer aparat pajak kita.      

 
Berita Terpopuler