Pengamat: Operasi Kekuasaan Menunda Pemilu Terbukti Terus Berjalan

Khoirul menilai kemungkinan ada garis merah simpul kekuasaan dengan putusan PN Jakpus

republika/mgrol100
Ilustrasi Pemilu
Rep: Wahyu Suryana Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Khoirul Umam menilai, operasi kekuasaan untuk menunda pemilu terbukti masih terus berjalan. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari argumen dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan pemilu sampai medio 2025.

"Modus operandinya semakin jelas, ketika perdebatan dan konfigurasi politik nasional tidak berpihak agenda kepentingan penundaan pemilu, maka cara paling mudah dan efektif dengan memanfaatkan jalur penegakan hukum," kata Khoirul, Jumat (3/3/2023).

Ia mengatakan, dengan kedok independensi kekuasaan kehakiman, anasir-anasir jahat di lingkaran kekuasaan memaksa aktor politik dan demokrasi menuruti kepentingan dan kegilaan. Menurut Khoirul Umam, semua itu diorkestrasi sedemikian rupa. Yakni, lewat ide perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode kekuasaan presiden, ide perpanjangan masa jabatan kepala desa dan kontroversi sistem proporsional terbuka dan tertutup.

"Untuk menghadirkan ketidakpastian persiapan menuju Pemilu 2024 mendatang," ujar Khoirul.

Khoirul mengatakan, amar putusan PN Jakpus ini bukan semata menunjukkan rendah kualitas pemahaman majelis hakim terhadap konteks UU 7/2017 dan objek perkara yang mereka tangani. Selain itu, menguatkan pula dugaan indikasi terjadinya praktik autocratic legalism.

Menurutnya, dugaan autocratic legalism itu semakin kuat ketika mencermati amar putusan PN Jakpus. Majelis hakim dinilai tidak paham wilayah yurisdiksi pengadilan perdata dan secara serampangan memakai pasal-pasal yang mengatur tentang sengketa proses pemilu.

Terlebih, gugatan Partai Prima di KPU dan Bawaslu sebelumnya telah dilayangkan dan ditolak Bawaslu sesuai mekanisme sengketa proses pemilu. Khoirul Umam mengaku heran amar putusan dari PN Jakpus malah hendak menganulir agenda kerja nasional.

"Karena, sel-sel politik masing-masing kontestan selalu ada yang melakukan pelanggaran. Jika majelis hakim tidak memiliki pemahaman sejauh dan sekompleks ini, maka wajar jika masyarakat semakin mempertanyakan kualitas dan integritas kehakiman itu sendiri," kata Khoirul.

"Besar kemungkinan ada garis merah yang menghubungkan simpul-simpul kekuasaan itu dengan putusan PN Jakpus ini," kata Khoirul menambahkan.

Baca Juga

 
Berita Terpopuler