Ada Dakwaan Terhadap Hendra Kurniawan yang tidak Terbukti Menurut Hakim

Hendra Kurniawan divonis 3 tahun penjara di kasus obstruction of justice.

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Terdakwa kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice perkara pembunuhan berencana Brigadir J, Hendra Kurniawan memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/2/2023). Pada hari ini, Hendra divonis bersalah dengan hukuman 3 tahun penjara.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Baca Juga

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Senin (27/2/2023) menghukum mantan Karo Paminal Divisi Propam Polri Hendra Kurniawan dengan pidana penjara selama 3 tahun. Hukuman tersebut dijatuhkan karena Hendra, selaku terdakwa, terbukti bersalah melakukan tindak pidana obstruction of justice, atau perintangan penyidikan terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).

Hakim dalam putusannya menyatakan Hendra terbukti melakukan tindak pidana. Yaitu berupa kesengajaan melakukan pengrusakan sistem informasi elektronik milik publik. Yang diketahui sistem informasi tersebut adalah barang bukti suatu tindak pidana.

“Menyatakan terdakwa Hendra Kurniawan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja dan melawan hukum, merusak suatu sistem informasi elektronik milik publik, yang dilakukan secara bersama-sama,” begitu kata Ketua Majelis Hakim Ahmad Suhel di PN Jaksel, Senin (27/2/2023).

Menurut hakim, Hendra terbukti melanggar Pasal 32 ayat (1) Undang-undang (UU) 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karenanya dengan pidana selama 3 tahun,” sambung hakim dalam putusan.

Majelis hakim juga menghukum Hendra dengan pidana denda senilai Rp 27 juta. Dengan risiko jika tak membayar denda akan ditambahkan masa kurungan selama 3 bulan. Hukuman terhadap Hendra ini, sesuai dengan tuntutan jaksa. 

Jaksa dalam tuntutannya terhadap Hendra, meminta hakim memenjarakan selama 3 tahun. Namun dalam putusan hakim, sejumlah pertimbangan hukum dalam tuntutan jaksa tak dapat dipenuhi. Terutama terkait dengan tudingan jaksa atas sangkaan primer pertama Pasal 49 dan Pasal 33 UU ITE terhadap Hendra.

Menurut hakim, sangkaan pertama terhadap Hendra itu tak dapat dibuktikan oleh jaksa di pengadilan. Sehingga dikatakan hakim, majelis hakim membebaskan Hendra dari jeratan sangkaan tersebut.

Pasal 49 UU ITE adalah ancaman pidana tambahan atas perbuatan Pasal 33 UU ITE. Dua pasal itu terkait dengan kesengajaan melakukan tindakan yang membuat sistem elektronik menjadi terganggu.

Dalam kasus ini jaksa menyatakan Hendra memerintahkan terdakwa Irfan Widyanto untuk mengambil DVR CCTV (Digital Video Recorder Closed-Circuit Television) di Pos Satpam rumah dinas terdakwa Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga 46 yang menjadi lokasi pembunuhan Brigadir J.

Namun dalam pertimbangan majelis hakim menyatakan, tuduhan jaksa itu tak terbukti. Karena dikatakan hakim, menurut para ahli DVR CCTV bukanlah termasuk sistem elektronik. Karena dikatakan hakim, menurut para ahli disebutkan sistem elektronik adalah perangkat elektronik yang memilik kemampuan untuk mengirimkan informasi elektronik.

“DVR CCTV yang diambil oleh (terdakwa) Irfan Widyanto atas perintah terdakwa (Hendra Kurniawan) dari pos satpam kompleks Polri Duren Tiga 46 tidak memiliki kemampuan untuk mengirimkan informasi elektronik keluar dari jaringan tertutup CCTV dan DVR,” kata hakim.

“Sehingga DVR CCTV tersebut tidak dapat disebut sebagai sistem elektronik,” sambung hakim.

Hakim melanjutkan, jaksa dalam pembuktiannya juga gagal meyakinkan tentang pemenuhan unsur-unsur dalam penjeratan sangkaan primer utama tersebut. Karena dikatakan hakim, sangkaan dalam Pasal 49 dan Pasal 33 UU ITE terhadap Hendra mengharuskan pemenuhan unsur dengan kesengajaan mengganggu kinerja sistem elektronik.

Menurut hakim dengan kesimpulan DVR CCTV bukanlah sistem informasi elektronik, maka perintah Hendra terhadap Irfan, tak berdampak pada terganggunya sistem elektronik.

“Karena DVR CCTV tidak memiliki kemampuan untuk menyebarkan sistem informasi elektronik, maka unsur dengan sengaja melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan terganggungnya sistem elektronik, dan atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, tidak dapat terpenuhi,” kata hakim.

Karena itu, kata hakim dalam putusannya menyatakan, Hendra harus dibebaskan dari dakwaan pertama primer Pasal 49 dan Pasal 33 UU ITE tersebut. “Karena salah-satu unsur pasal tidak terpenuhi, maka terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer, dan oleh karenanya terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama primer,” begitu kata hakim.

In Picture: Sidang Vonis Hendra Kurniawan

 

 

Akan tetapi terhadap sangkaan lainnya, hakim membuktikan Hendra melakukan tindak pidana Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1) UU ITE, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana yang menjadi dakwaan primer kedua terhadap Hendra. Pasal tersebut terkait dengan tindakan kesengajaan dan tanpa hak, melakukan dengan cara apapun, mengubah, menambahkan, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, dan menyembunyikan suatu informasi elektronik milik publik. 

Dalam hal tersebut, hakim mengatakan, Hendra selaku Karo Paminal Divisi Propam Polri tanpa hak dan kewenangan memerintahkan Irfan Widyanto yang saat itu adalah sebagai penyidik di Bareskrim Polri untuk melakukan pengambilan CCTV di 20 titik rekam di areal Duren Tiga 46, dan di Saguling III 29.

Menurut hakim, perintah Hendra terhadap Irfan tersebut sudah memenuhi unsur tanpa hak. Karena bukan cuma Hendra bukanlah selaku atasan Irfan. Namun juga Hendra, selaku anggota Propam tak memiliki hak atau kewenangan  memerintah Irfan untuk mengamankan CCTV.

Padahal diketahui CCTV tersebut adalah barang bukti atas peristiwa tindak pidana pembunuhan. Pun dikatakan hakim, di persidangan, Hendra selaku terdakwa, tak dapat memberikan surat perintah sebagai alat bukti atas perintahnya kepada Irfan.

“Menimbang dengan tidak adanya bukti-bukti berupa dokumen surat perintah dari Biro Paminal Propam Polri dan Bareskrim Polri untuk melakukan perbuatan yang dimaksud, maka unsur sengaja melakukan dan tanpa hak seperti dalam dakwaan kedua primer dapat terpenuhi,” kata hakim.

Atas hal tersebut, kata hakim menegaskan, Hendra patut untuk diminta pertanggungjawaban pidana. Dalam penjelasan hakim, juga disebutkan Hendra terbukti memerintahkan terdakwa lainnya, yakni Arif Rachmat Arifin, dan Baiquni Wibowo untuk memusnahkan rekaman CCTV yang merekam keberadaan Sambo di Duren Tiga 46.

Juga bersama-sama terdakwa lainnya, Agus Nurpatria dalam memberikan perintah melakukan pengamanan CCTV kepada Irfan Widyanto. Meskipun di persidangan, perbuatan tersebut dilakukan atas perintah dari Sambo yang saat itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.

Atas hukuman 3 tahun penjara terhadap Hendra itu, kepada hakim belum memikirkan untuk melakukan perlawanan, atau banding. “Saya pikir-pikir yang mulia,” kata Hendra di persidangan.

Namun melihat hukuman terhadap Hendra, adalah yang terberat dari terdakwa obstruction of justice lainnya. Majelis hakim yang sama, pada Senin (27/2/2023) juga menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Agus Nurpatria selama 2 tahun penjara. Pekan lalu, bergantian vonis dan hukuman dijatuhkan terhadap Arif Rachman Arifin dan Irfan Widyanto masing-masing selama 10 bulan penjara. 

Adapun terhadap terdakwa Chuck Putranto, dan Baiquni Wibowo masing-masing dipidana penjara selama 1 tahun. Adapun dalang utama obstruction of justice, sekaligus terdakwa utama kasus pembunuhan berencana Brigadir J, yakni Ferdy Sambo, dihukum paling berat dengan pidana mati.

Para terdakwa dalam kasus ini, semuanya adalah para perwira tinggi, dan menengah di Divisi Propam Polri, kecuali Irfan Widyanto yang berasal dari Dirtitpidum Bareskrim. Namun semua terdakwa dalam kasus ini, di internal kepolisian sudah dipecat melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). 

 

Sambo cs Melawan - (Republika/berbagai sumber)

 
Berita Terpopuler