Pencopotan Aswanto Jadi Salah Satu Dasar DPR Kembali Usulkan Revisi UU MK

Baru disahkan pada 2020, UU MK kembali diusulkan untuk direvisi oleh DPR.

Mahkamah Konstitusi, ilustrasi
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika

Baca Juga

DPR kembali mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali. Padahal, revisi terakhir baru terjadi pada 2020 dan sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Selasa (1/9/2020).

Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mewakili komisi hukum tersebut mengatakan, ada empat materi yang akan diubah pihaknya dalam revsisi UU MK. Pertama adalah persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi.

"(Dua) evaluasi hakim konstitusi. Tiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi. Empat, penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman dalam rapat kerja dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Rabu (15/2/2023).

"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/,PUU-XX/2022," ujar Habiburokhman, menambahkan.

Pada 2020, terdapat lima substansi dalam revisi UU MK yang dibahas oleh DPR dan pemerintah. Pertama, terkait kedudukan, susunan, dan kewenangan MK. Kedua, pengangkatan dan pemberhentian hakim MK dan perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.

Ketiga, perubahan usia minimal, syarat, dan tata cara seleksi hakim MK. Keempat, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK. Terakhir, tentang pengaturan peraturan peralihan.

Kasus Aswanto

Ditanya secara terpisah apakah usulan revisi UU MK kali ini berkaitan dengan hakim MK, Aswanto yang sebelumnya telah diberhentikan oleh DPR? Ia menjawab bahwa itu menjadi salah satu alasan Komisi III. Termasuk dalam mengevaluasi hakim-hakim agar menjalankan tugasnya.

"Itu (pemberhentian Aswanto) bagian, itu kenapa sih undang-undang kita dibatal-batalin terus (oleh MK), dia kan setidaknya tata beracara yang paling bener, walaupun itu belum ditulis (dalam revisi UU MK)," ujar Bambang seusai rapat kerja dengan Menko Polhukam Mahfud MD di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Ia mengungkapkan, salah satu alasan pihaknya merevisi UU MK adalah untuk mengevaluasi hakim-hakim yang tak menjalankan tugasnya. Tak segan, ia mengungkap bahwa evaluasi terhadap hakim diperlukan agar undang-undang yang telah dihasilkan DPR tak dibatalkan lewat sebuah gugatan.

"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya, peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU tidak di-JR (judicial review) malu. DPR malu, kalau UU di-JR kemudian dibatalkan," ujar Bambang. 

Menurut Bambang, DPR mengoreksi diri karena banyaknya gugatan atau judicial review terhadap undang-undang dihasilkan lembaganya. Revisi UU MK disebutnya sebagai bagian dari perbaikan terhadap proses pembentukan perundang-undangan.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa revisi UU MK justru menjadikan lembaga tersebut independen. Sebab independensi MK harus didasarkan tugas utamanya, yakni menyandingkan undang-undang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Jadi kita ingin penegakan hukum benar-benar clear, bagaimana menerjemahkan UUD 45 clear. Karena sesungguhnya tugas terutama dan paling utama bagi MK adalah menyandingkan UU dengan UUD 45, jangan kemudian membatalkan UU itu dengan UU yang ada," ujar Bambang.

 

 
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto usai rapat pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/2). - (Republika/Nawir Arsyad Akbar)

 

 

Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan, bahwa pemerintah tak memiliki agenda untuk merevisi UU MK. Pemerintah pun, kata Mahfud, sudah meminta masukan dari para akademisi terkait usulan dari DPR.

"Cukup seru perdebatannya di internal pemerintah untuk menyikapi usul dari DPR ini. Diskusi yang kami undang para akademisi secara terpisah dengan para praktisi, pada umumnya meminta agar pemerintah menolak usul ini," ujar Mahfud dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR.

Namun, DPR memiliki hak dan kewenangan konstitusional untuk mengajukan revisi UU MK. Meskipun, lembaga legislatif tersebut baru mengesahkan revisi yang sama menjadi undang-undang pada dua tahun lalu.

"Ini sudah sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Maka pemerintah akan menggunakan kesempatan ini untuk menawarkan alternatif melalui daftar inventarisasi masalah yang menurut pemerintah merupakan upaya perbaikan dari keadaan yang sekarang," ujar Mahfud.

"Artinya, pemerintah menyetujui usul ini untuk dibahas," sambungnya.

Menurut Mahfud, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka mengandung makna bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan.

Sehingga lembaga peradilan menghasilkan keputusan yang objektif dan tidak memihak. Oleh karena itu, harus pengaturan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. 

"Khususnya dalam konteks MK sebagai the soul interpreter and the guardian of the constitution mutlak diperlukan. Agar peran MK sebagai penafsir tunggal dan penjaga konstitusi dapat lebih optimal sesuai dengan harapan para pencari keadilan," ujar Mahfud.

Mahfud menjabarkan, d negara hukum modern, terdapat dua prinsip dan menjadi prasyarat utama dalam sistem peradilannya. Keduanya adalah the principle of judicial independence dan the principle of judicial impartiality

"Parameter kemandirian dari lembaga kekuasaan kehakiman dilihat dari lembaganya sendiri, proses peradilannya, serta hakimnya. Independensi lembaga peradilan mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menegakkan rule of law dan peradilan yang bebas dan tidak memihak," ujar Mahfud.

Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva menyoroti usulan revisi UU MK yang kembali mengemuka. Hamdan menegaskan revisi UU semestinya bertujuan memperkuat MK. 

Hamdan mengkritisi pembahasan umur hakim MK yang muncul dalam usulan revisi UU MK. Ia mengingat setidaknya sudah tiga kali perubahan masalah umur ini diubah dengan UU. 

"Untuk tujuan apa perubahan terus menerus, sehingga menjadi tidak konsisten dan tidak membangun sistem yang kuat bagi lembaga MK," kata Hamdan kepada Republika, Kamis (16/2). 

Ketika menentukan masalah umur hakim MK, Hamdan menilai seharusnya pembentuk UU mempertimbangkan dengan matang. Ia tak ingin perubahan UU MK dilakukan secara serampangan. 

"Lembaga penting negara pengawal konstitusi ini jadi rusak oleh kepentingan politik," ujar Hamdan. 

Berikutnya, Hamdan menyinggung evaluasi hakim dalam usulan UU MK. Menurutnya, evaluasi hakim MK sama saja menepatkan MK di bawah lembaga politik. Padahal ia menegaskan independensi lembaga peradilan dijamin dalam pasal 24 UUD 1945.

"Kalau MK harus mengikuti kehendak DPR dan pembentuk UU maka untuk apa ada MK," ucap Hamdan. 

Hamdan juga memandang aturan evaluasi hakim sama dengan meruntuhkan lembaga peradilan dan prinsip negara hukum. Sehingga ia merasa prihatin dengan kondisi MK saat ini yang terombang-ambing oleh politik dan kekuasaan. 

"Memang perubahan UU MK yang terakhir disusun dengan tergesa-gesa dan tidak teliti, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua tidak jelas, juga tidak dirumuskan secara jelas masa jabatan hakim. Implementasi uu jadi kacau dan situasi internal MK terganggu," tegas Hamdan. 

 

Hakim dan Pejabat Pengadilan terjerat KPK sejak 2015 - (republika)

  

 
Berita Terpopuler