Hukum dan Hikmah: Menunggu Detik Menjelang Putusan Kasus Sambo

Kekuasaan itu amanah adalah Hikmah dari kasus Sambo

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, Ferdy Sambo bersiap menjalani sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (31/1/2023). Sidang tersebut beragendakan pembacaan duplik oleh penasihat hukum terdakwa.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Pakar Pidana Korporasi, Managing Partner’s Ail Amir Law Firm dan Pendiri LBH Yusuf

Sebentar lagi, kita akan tiba pada agenda pembacaan putusan hakim terhadap kasus Ferdy Sambo (FS). Kasus yang begitu menguras energi dan perhatian publik ini rencananya akan diputus  hari ini, Senin, 13 Februari 2023, di PN Jakarta Selatan. Publik yang sekian lama mengikuti kasus penuh drama ini menanti dengan harap cemas. Akankah palu keadilan di tangan hakim mampu memberikan putusan yang berpihak pada Nurani keadilan, atau sebaliknya menjadi monster yang memupus asa bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air. 

Sebagai masyarakat, kita tentu berharap vonis terhadap FS akan menjadi tonggak penegakan hukum yang selama ini karut marut. Sebab kejahatan extra judicial killing yang dilakukan FS terhadap Brigadir J sangat memilukan. Apalagi dilakukan dalam statusnya sebagai petinggi Kepolisian. Bahkan disebut ‘polisi nya polisi” karena saat itu ia menjabat Kadiv Propam Polri. Kejahatan ini selain mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban, juga mencoreng institusi kepolisian, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional. Bahkan kasus ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum merosot tajam.       

TUNTUTAN JPU

Bila kita melihat anatomi kasus ini, pada persidangan tanggal 17 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut FS dengan pidana penjara seumur hidup. Tindakan FS yang mengakibatkan hilangnya nyawa Brigadir J, dinilai JPU telah memenuhi unsur Pasal 340 juncto Pasal 55 KUHP  tentang pembunuhan berencana. 

 FS juga dituntut secara melawan hukum dan tanpa hak menghalang-halangi penegakan hukum/obstruction of justicedengan menghilangkan alat bukti rekaman CCTV di lokasi pembunuhan Brigadir J. Tindakan merintangi penyidikan tersebut dinilai melanggar Pasal 49 subsidair Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 33 dan 32 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.

Baca juga : Aksi Arogan Fortuner Hajar Mobil Mungil Brio Viral, Mahfud MD: Seperti Film Gangster

 JPU menilai kejahatan yang dilakukan FS dilakukan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya, sebagaimana diatur Pasal 44 sampai 51 KUHP. Karena itu JPU menilai bahwa FS haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. 

Apalagi menurut JPU, ada beberapa hal memberatkan lainnnya, selain dilakukan oleh petinggi Polri dan mencoreng institusi Polri, FS juga selama memberikan keterangan di persidangan dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Hal ini menciptakan keresahan dan kegaduhan di masyarakat. Bahkan JPU menilai tidak ada satupun alasan meringankan. Termasuk dugaan pelecehan Brigadir J terhadap istri FS yang tidak terbukti.

 

 

 

 

Kekecewaan Keluarga Korban

Meski JPU menjerat FS dengan pidana berlapis, namun tuntutan JPU terhadap FS yang menuntut pidana penjara seumur hidup menimbulkan kekecewaan bagi Keluarga korban alm. Brigadir J. Keluarga korban berharap FS dihukum mati karena terbukti melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP dan kejahatan lainnya. Harapan ini juga banyak diamini oleh masyarakat luas yang miris dengan kasus ini. 

Logika konstruksi hukumnya, kalau kita membaca dakwaan JPU terhadap FS, yang menurut JPU terkonfirmasi/terbukti secara sah dan meyakinkan dalam sidang pembuktian, maka tuntutan penjara seumur hidup jelas terlalu ringan. Betapa tidak, FS disangka melakukan beberapa perbuatan pidana  sekaligus, yaitu pembunuhan berencana, memerintahkan orang melakukan kejahatan, dan perintangan penyidikan/penegakan hukum.

 Dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan beberapa tindak pidana/gabungan tindak pidana (concursus realis), maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana maksimum yang diancam terhadap perbuatan tersebut, bahkan boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) KUHP.  “Maksimum pidana yang dijatuhkan adalah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”

 Dalam hal ini FS melakukan gabungan tindak pidana, yaitu pembunuhan berencana, memerintahkan orang melakukan kejahatan, dan perintangan penyidikan/penegakan hukum. Bila gabungan kejahatan yang dilakukan FS semuanya terbukti, maka setidaknya menurut hukum pidana, FS seharusnya dihukum dengan pidana maksimal dari pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP yaitu hukuman mati, karena tidak mungkin lagi ditambah sepertiga. Apalagi banyak unsur yang memberatkan dan tidak ditemukan sama sekali unsur meringankan. Berangkat dari sini kita dapat memahami kekecewaan korban dan masyarakat luas terhadap tuntutan jaksa yang hanya menuntut FS penjara seumur hidup.  

Baca juga : Ilmuwan Merekonstruksi Wajah Wanita Kota Terlaknat Zaman Nabi Shaleh

 

 

 

 

Benteng Terakhir Keadilan

Pintu terakhir keadilan dalam perkara ini adalah majelis hakim. Meski belakangan lembaga peradilan mengalami ‘turbulensi’ akibat beberapa kasus hukum yang membelit beberapa oknum hakim, namun kita tetap berharap, dalam kasus ini majelis hakim akan melahirkan putusan landmark decision yang mampu memenuhi dahaga publik akan keadilan, utamanya bagi keluarga korban.    

 Secara normatif, majelis hakim dimungkinkan secara hukum untuk memutus lebih tinggi, sama atau lebih ringan dari tuntutan JPU. Sebab tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor (tuntutan) penuntut umum. Artinya Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya. 

 Dengan demikian, hakim boleh menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa sesuai harapan keluarga korban. Dalam praktiknya, banyak kasus, dimana hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Bahkan selain penjara majelis hakim beberapa kali menaikkan jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa.

Dalam KUHAP yang dilarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang. Selain itu yang dilarang KUHAP adalah menjatuhkan jenis pidana yang tidak ada dalam KUHP, jika yang dipakai sebagai dasar adalah KUHAP.

Bagaimana kalau hakim justru memutus lebih ringan?. Secara hukum itu dimungkinkan atas nama kebebasan hakim. Akan tetapi, bila  melihat fakta persidangan, peluang ini harusnya tidak dimungkinkan. Sebab kejahatannya terbukti secara terang-benderang dan tidak ada sama sekali unsur meringankan. 

Baca juga : Turki Perintahkan Penangkapan Pelaku Atas Bangunan Runtuh Akibat Gempa

 Yang pasti, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim juga pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

 Karena itu, di balik jubah kemuliaan hakim, kita berharap hakim dapat memutus dengan seadil-adilnya. Apalagi secara transendental, sebagai satu-satunya profesi yang disebut sebagai wakil tuhan dimuka bumi, hakim terikat pertanggungjawaban terhadap Tuhan di dunia dan akhirat. Bahkan Nabi pernah bersabda: ”Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244)

Hadits ini, menurut pakar hadis, al-Munawi, merupakan teguran dan peringatan bagi para hakim agar mereka menjaga kejujuran dan integritas yang tinggi. Apalagi Hadits ini, menurut al-Munawi, berbicara pada tataran realitas (bi hasb al-wujud) dan bukan berdasarkan idealitas-formal (la bi hasb al-hukm). Artinya ini adalah gejala yang ditemukan dalam kehidupan nyata. 

Karena itu Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa’ (4):58 berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” 

Perintah Allah ini mengajarkan, agar para penegak hukum, termasuk para hakim, agar memiliki dua sifat dasar, yaitu adil dan amanah. Dua sifat/prinsip dasar ini apabila dijadikan pegangan akan menghantarkan hakim pada derajat kemuliaan dan menjauhkan diri dari jurang kehinaan dan murka Allah. Karena itulah mahkota dan kehormatan hakim diletakkan di putusannya, bukan pada jabatannya.

Baca juga : Sambo Menatap Tenang di Hadapan Hakim

Dalam kasus FS, yang dibutuhkan adalah kejernihan dan keberanian hakim untuk memutus perkara ini dengan adil dan Amanah. Jangan sampai hakim terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan extra judicial dari pihak manapun yang mencoba melumpuhkan integritasnya dalam memutus kasus ini.  

Saatnya kita menunggu, semoga putusan terhadap kasus ini dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang belakangan merosot. Apapun putusan hakim perlu kita hargai sebagaimana asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur, bahwa putusan hakim harus dianggap benar, sampai ada putusan pengadilan lain yang menganulirnya (melalui upaya hukum). 

 

 

 

Mutiara Hikmah Kasus Sambo

Di balik itu semua, kasus FS ini mengandung hikmah besar, bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Kepemimpinan yang dijalankan dengan pongah dan sewenang-wenang, bahkan dijadikan sarana penindasan, hanya akan mendatangkan murka Allah yang tak terperikan. Sebagaimana Allah ajarkan dalam Al-Quran Surat al-Imran ayat 26: 

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”.

 

 

 

 
Berita Terpopuler