Sengkarut BRIN, Kawin Paksa dan Polarisasi di Tubuh Peneliti (Bagian 1)

Polarisasi yang terjadi di tubuh BRIN membuat lingkungan kerja tak sehat.

Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Gedung Badan Riset Inovasi dan Teknologi (BRIN)
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai persoalan terjadi di dalam tubuh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bagi peneliti di Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN, Maxensius Tri Sambodo, masalah yang paling terasa sejak BRIN terbentuk adalah terjadinya polarisasi yang tidak sehat serta adanya perasaan seperti dikawin paksa.

Baca Juga

"Di dalam tubuh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sendiri ada faktor tadi, polarisasi-polarisasi yang tidak sehat. Sementara teman-teman yang dari luar itu merasa mereka dilakukan suatu kawin paksa, dan mereka saat ini masih mencari bentuknya. Banyak yang juga frustrasi menyesal kenapa gabung," ujar pria yang kerap disapa Max itu kepada Republika, Rabu (8/2/2023).

Soal polarisasi, dia menjelaskan, peneliti dan periset di LIPI seperti terpecah-belah dengan berbagai narasi yang ada. Mulai dari peneliti yang pro satu pihak dengan pihak lainnya, generasi muda dengan generasi tua, hingga generasi yang antiperubahan dengan generasi yang suka dengan perubahan. Narasi-narasi itu dia sebut dibangun untuk melanggengkan suatu kekuasaan.

"Itu kan tidak boleh. Seseorang yang menolak perubahan bukan berarti dia antiperubahan. Mungkin dia punya cara lain untuk melakukan suatu perubahan. Tidak bisa kemudian dicap, 'wah kamu antiperubahan'. Tidak begitu. Polarisasi-polarisasi yang dibangun ini menjadikan lingkungan kerja tidak sehat," kata Max menjelaskan.

Persoalan tersebut merupakan persoalan yang ada di LIPI selepas dilebur ke BRIN. Max juga mengungkapkan persoalan yang dia lihat terjadi di luar LIPI, yakni peneliti dan periset yang ada di lembaga lain.

Mereka, menurut dia, seperti dikawin paksa. Dengan ekosistem kerja yang sudah nyaman di masing-masing lembaga, mereka dipaksa masuk BRIN. "Jadi apa yang saya lihat dalam tiga tahun ini, situasinya storm. Badai. Terus terjadi badai. Dan badai di dalam ini kan dilihat orang lain. Oh iya benar ini ada sesuatu kegelisahan. Sekarang kan harusnya gelisah itu diselesaikan, tapi pemerintah jalan terus," kata dia.

Tidak Pancasilais

 

Menurut Max, perilaku yang ditunjukkan pemerintah itu tidaklah Pancasilais. Sebab, esensi dari Pancasila, di antaranya melakukan musyawarah-mufakat, menghargai perbedaan, dan mencari titik tengah. Karena itu, dia khawatir semakin banyak dan besar kekecewaan-kekecewaan yang muncul di masa depan jika pembenahan tidak dilakukan dengan baik.

"Hingga pada akhirnya bisa mengganggu persepsi publik atas pemerintah. 'Ini pemerintah ngurus riset serius tidak sih?' Jadi ibarat pemerintah ini membiarkan sesuatu yang akan menggerogoti kredibilitasnya dia sendiri. Bukannya diperbaiki, malah dibiarkan berjalan dan akan mengancam kredibilitas pemerintahan," ujar Max.

Max menduga, perilaku itu hadir karena rasa abai dan melihat riset tidak penting. Dia mengatakan, jika pemerintah merasa riset sebagai suatu hal yang penting dan harus dijaga, dilindungi, serta dipelihara ekosistemnya, sudah tentu pemerintah tidak bertindak seperti saat ini. Pemerintah tidak mengabaikan aspirasi publik.

 "Jadi menurut saya ini udah 'pengabaian' terkait aspirasi publik, aspirasi bersama. Ini situasi kita," kata dia.

Ke depan, Max mengaku tidak berharap banyak. Dia hanya meminta pemerintah mendengar keluhan-keluhan yang dirasakan periset dan peneliti. Dia memahami, menuju kondisi ideal amatlah sulit. Tapi setidaknya, semua pihak harus mencari titik keseimbangan, yang di satu sisi menjaga dan melindungi ekosistem riset, di sisi lainnya pemerintah tetap bisa berjalan dengan baik.

 "Tolong dong dengar apa yang menjadi keluhan kita. Didengar, dirasakan, dan dicari jalan tengah yang baik. Memang kondisi ideal itu sulit ya. Kita mungkin tidak akan sampai kondisi ideal yang memuaskan banyak pihak. Tetapi, kita harus mencari titik keseimbangan itu," kata dia. 

Lahirnya BRIN berasal dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kepala BRIN saat ini, yakni Laksana Tri Handoko, sebelumnya merupakan kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Dilansir dari laman resmi LIPI, BRIN dibentuk sebagai komitmen Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kuaitas riset Tanah Air.

Badan tersebut diharapkan dapat mendongkrak roda riset Indonesia melalui integrasi kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, serta invensi dan inovasi. Dengan begitu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemajuan bangsa dapat lebih cepat dilakukan.

Handoko ditetapkan sebagai kepala BRIN menyusul ditetapkannya BRIN sebagai badan otonom pusat integrasi riset dan inovasi di Indonesia, yang akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada pelaksanaannya, lembaga-lembaga penelitian di Tanah Air sekaligus fungsi penelitian dan pengembangan yang ada di kementerian akan diintegrasikan dalam BRIN.

Dalam hal ini, integrasi riset mencakup seluruh proses manajemen, anggaran serta sumber daya manusia (SDM). “BRIN ditujukan untuk konsolidasi sumber daya, khususnya anggaran dan SDM. Target konsolidasi sendiri direncanakan mulai pada Tahun Anggaran 2022,” kata Handoko usai dilantik pada 28 April 2021 lalu.

Handoko menerangkan, BRIN dibentuk untuk menjadi penyedia infrastruktur riset berbagai bidang, terutama meningkatkan nilai tambah kekayaan sumber daya alam lokal demi peningkatan ekonomi nasional. Pada tahap awal, dia berencana, untuk memfokuskan pada riset dan inovasi berbasis biodiversitas yang memiliki tingkat kompetitif lokal tinggi. "Tentu riset dan inovasi teknologi juga tetap didukung,” ujar Handoko.

Handoko menambahkan, BRIN diharapkan mampu menjadi jembatan antara dunia riset dan dunia industri. Dia menilai, melalui aktivitas riset yang terintegrasi serta melahirkan banyak invensi dan inovasi yang mampu bersaing secara global, hilirisasi industri dapat menjadi enabler ekonomi dan sekaligus penarik investor sektor riset.

Seusai dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Kepala BRIN pada 28 April 2021, Handoko mengaku mendapatkan tugas baru. Dalam bahasa sederhana, BRIN harus mampu 'menguangkan' riset.

 

 

 
Berita Terpopuler