Kades Mengaku Digoda Parpol Soal Perpanjangan Masa Jabatan, PKB Bantah Tudingan Politisasi

Apdesi mengaku revisi UU Desa fokus kepada delapan isu, masa jabatan tidak termasuk.

Republika/Wihdan Hidayat
Paguyuban perangkat desa se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD DIY, Yogyakarta, Kamis (26/1/2023). Mereka mendatangi DPRD DIY menolak rencana revisi Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, mereka juga meminta masa jabatan tidak disesuaikan dengan kepala desa dan masa kerja perangkat desa sampai 60 tahun.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Nawir Arsyad Akbar, Idealisa Masyrafina

Baca Juga

Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) pertama kali dilontarkan pertama kali oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, pada pertengahan November 2022 lalu saat ia bertemu kepala desa se-Jawa Tengah dan Yogyakarta di Sleman, DIY. Dalam pertemuan itu, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, yang adalah adik dari mendes, menyatakan mendukung rencana tersebut dan akan mengupayakannya lewat revisi UU Desa di parlemen.  

Selang beberapa bulan, ratusan kepala desa menggelar aksi turun ke jalan di Jakarta. Di depan gedung DPR, Jakarta, pada Selasa (17/1/2023), mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun lewat revisi UU Desa.

Namun, isu perpanjangan masa jabatan kades ini kemudian menjadi liar dan berbalik seperti bumerang bagi para kades. Mereka jadi terkesan memaksakan kehendak demi melanggengkan kekuasaan di desa masing-masing.

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) kini mengaku merasa 'terjebak' dalam isu perpanjangan masa jabatan. Hal itu, menurut Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Apdesi Muhammad Asri Anas, akibat dari godaan dari satu partai politik (parpol).

Padahal, menurut Asri, Apdesi sebelumnya hanya fokus terhadap delapan isu dalam rencana revisi UU Desa. Dari delapan isu tersebut, perpanjangan masa jabatan tidak termasuk. 

"Kami menganggap godaan dari mohon maaf ya, saya sebut saja dari partai politik, politisi kepada teman-teman kepala desa bagaimana memperpanjang masa jabatan. Ini menurut kami agak tidak benar ini," kata Asri dalam sebuah diskusi daring, dikutip Kamis (26/1/2023).

Asri pun membantah argumentasi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, soal perpanjang masa jabatan ini. Mendes diketahui mengusulkan perpanjangan masa jabatan dengan alasan dua tahun awal kepemimpinan kades dihabiskan untuk mengurus perseteruan masyarakat akibat pilkades. Alhasil, selama dua tahun awal itu pembangunan desa tersendat. 

Menurut Asri, itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Mendes Abdul. Sebab, perseteruan akibat pilkdes tidak begitu masif karena calon kades ataupun warga itu saling berkerabat dan bertemu setiap hari.

"Bagi saya, ini alasan politis saja untuk menggoda kepala desa jelang Pemilu 2024," kata Asri. 

Asri lantas menyorot munculnya sejumlah video testimoni dari para kades yang mengucapkan terima kasih kepada PKB karena sudah mendukung rencana perpanjangan masa jabatan kades. Dia meyakini, video itu dibuat atas permintaan PKB. 

"Saya mengecam parpol PKB yang meminta perangkat-perangkat desa untuk membuat video ucapan terima kasih karena sudah menyuarakan masa jabatan sembilan tahun. Sudahlah, harusnya kita jangan memolitisasi desa, jadi makin kacau ini," ujarnya. 

Baca juga : Biaya Haji Naik Terus, Ini Jurus BPKH pada 2024

 

 

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda membantah, usulan perpanjangan masa jabatan kades tersebut merupakan dorongan dari Fraksi PKB DPR dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. Dia menegaskan, hal itu merupakan bagian usulan dari Apdesi.

Ia menambahkan, usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah diterima DPR sejak satu setengah tahun lalu. Termasuk usulan di dalamnya adalah perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

"Tidak boleh saling menyalahkan, tidak bisa kemudian dituduh hanya oleh (pihak tertentu), karena faktanya memang ada yang punya aspirasi begitu. Karena itu, saya tidak setuju kalau ada semacam cara pandang seolah-olah ini inisiatif fraksi tertentu atau menteri tertentu," ujar Huda di Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Gerindra-PKB, Jakarta, Kamis (26/1/2023).

PKB sendiri mendukung revisi UU Desa untuk mengakomodasi perpanjangan masa jabatan kepada desa menjadi sembilan tahun. Namun, masa jabat sembilan tahun tersebut hanya berlaku selama dua periode.

Baca juga : Nasdem dan Demokrat Menunggu Keputusan Resmi PKS

Dalam UU Desa yang berlaku saat ini, kepala desa memegang jabatan selama enam tahun yang terhitung sejak tanggal pelantikan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 Ayat 1.

Selanjutnya, kepala desa dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Periode kepala desa tersebut diatur dalam Pasal 39 Ayat 2.

"Jadi jatuh tahunnya sama-sama 18 (tahun). Jadi kami sudah menghitung, menganalisis, dan sudah survei beberapa kali," ujar Huda.

"Saya kebetulan lima tahun di Kemendes, jadi saya tahu suasananya bagaimana konflik pasca-pilkades menyelesaikan psikologis, dan sisa pertarungan politik itu bisa tiga sampai empat tahun, desa tidak bisa membangun," katanya.

Di samping itu, ia membantah dukungan perpanjangan masa jabatan kades merupakan upaya politisasi jelang Pemilu 2024. Jelasnya sekali lagi, usulan tersebut berasal dari asosiasi-asosiasi yang berkaitan dengan desa.

"Tidak ada (revisi UU Desa dimobilisasi), ini wacana betul-betul di dalam tubuh asosiasi kepala desa sendiri, dan kami menangkap resonansinya dan merespons aspirasi mereka," ujar ketua Komisi X DPR itu.

Baca juga : Pembakaran Alquran Tindakan Kebodohan Luar Biasa

Menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, dari rentetan peristiwa aksi demonstrasi para kepala desa, dipanggilnya Budiman Sudjatmiko oleh Presiden Jokowi hingga usulan Komisi II DPR ke Baleg DPR tampak sangat lancar tanpa ada hambatan apa pun, semua peristiwa ini menjadi sangat tidak wajar.

"Sementara secara nalar, aspirasi perpanjangan dari kepala desa ini adalah hal yang tertolak belakang dengan logika demokrasi, di mana penguasa meminta masa jabatan yang lebih panjang. Bukan rakyat yang dipimpinnya yang menghendaki," ujar Achmad kepada Republika, Kamis (26/1/23).

Menurut Achmad, alasan-alasan yang dilontarkan oleh berbagai pihak tidak cukup kuat untuk melegitimasi perpanjangan tersebut. Yang lebih tidak bisa diterima publik adalah usulan ini sangat paradoks dengan masa jabatan presiden dan kepala daerah yang ditetapkan hanya lima tahun.

Jika sembilan tahun masa jabatan dan kepala desa bisa terpilih dua periode, dia akan memimpin selama 18 tahun. Ini tentunya akan menghalangi pembaruan-pembaruan dan menyia-nyiakan potensi pemimpin-pemimpin potensial di desa.

Jika alasannya, masih ada persaingan politik karena enam tahun masa jabatan kades dianggap terlalu singkat seperti yang disampaikan oleh Kades Poja, NTB, Robi Darwis yang berharap, dengan perpanjangan masa jabatan kades sembilan tahun akan mengurangi persaingan politik tersebut.

"Alasan polarisasi seperti di atas akibat pemilihan kades tentunya hal yang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan perpanjangan masa jabatan kades. Jika masalahnya hanya itu, harusnya ada upaya sosialisasi demokrasi yang sehat bagi masyarakat sehingga masyarakat mempunyai kesadaran berpolitik yang benar, bukan dengan memperpanjang masa jabatan kades," tutur Achmad.

Baca juga : LHKP Muhammadiyah Minta Usulan Perpanjangan Jabatan Kades Dihentikan

Mengenai opini polarisasi yang menjadi alasan perpanjangan masa jabatan desa, lanjut dia, maka polarisasi yang justru lebih parah terjadi setelah pilpres. Jika analoginya sama, ia menilai, hal ini akan dijadikan alasan oleh penguasa untuk memperpanjang masa jabatan dan secara halus mendorong DPR untuk amendemen terhadap undang-undang. 

"Ini adalah upaya makar terhadap konstitusi secara halus. Jelas-jelas upaya penguasa yang ingin berkuasa lebih lama adalah langkah otoritarian," katanya.

 

Potensi ekonomi desa sebagai penyangga pertumbuhan Indonesia. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

 
Berita Terpopuler