Marginalisasi Umat Islam Dalih Islam Politik: Pelajaran dari Austria, Jerman, dan Prancis

Marginalisasi umat Islam tengah terjadi di sebagian negara Eropa

Trt.world
Unjuk rasa aksi Islamofobia di Prancis (ilustrasi). Marginalisasi umat Islam tengah terjadi di sebagian negara Eropa termasuk di Austria, Jerman, dan Prancis.
Rep: Mabruroh Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  ISTANBUL — Upaya 'memerangi' Muslim di Austria, Jerman, dan Prancis terus digaungkan pemerintah mereka dengan meluncurkan wacana Islam politik. 

Baca Juga

Wacana Islam politik menjadi senjata pemerintah Eropa dalam beberapa tahun terakhir, untuk meminggirkan umat muslim dari hak-hak mereka. 

Misalnya saja di Austria yang membatasi hak-hak muslim dengan dalih Islam politik lalu di Jerman dengan Islamisme legalistik, dan di Prancis dengan wacana ‘separatisme Islam’. 

Farid Hafez, seorang ilmuwan politik yang saat ini berada di Universitas Georgetown di Amerika Serikat, mengatakan kepada Anadolu tentang bagaimana Muslim terpinggirkan dan dikriminalisasi dengan bahasa baru itu yang sering digunakan di Austria, Jerman, dan Prancis. 

Menurut Hafez, konsep menentang Islam politik pada prinsipnya didasarkan pada disintegrasi masyarakat sipil Muslim yang terorganisir secara independen yang tidak bergantung pada negara. 

“Gagasan tentang Islamisme politik. Islamisme legalistik, dan separatisme Islam, semuanya merupakan variasi dari ‘konsep yang sama,” kata Hafez dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (26/1/2023). 

Menurut Hafez, wacana-wacana baru itu dimaksudkan untuk menghindari tuduhan melanggar kebebasan beragama, oleh pihak berwenang di tiga negara Eropa tersebut. Alih-alih mengebut melawan Muslim, mereka memilih melawan Islam politik. 

Dengan cara ini, mereka dapat melakukan hal-hal seperti memperkenalkan undang-undang yang diskriminatif dan menindak bagian tertentu dari komunitas Muslim, sambil mengatakan bahwa mereka tidak menyerang Islam dan hanya ingin melawan yang buruk (Muslim) dan tetap berusaha untuk melindungi sebagian besar umat Islam lainnya. 

Hafez mengatakan, perubahan paradigma di Austria yang membingkai Islam sebagai ancaman dimulai pada 2011, ketika Sebastian Kurz menjadi Sekretaris Integrasi pertama negara itu di Kementerian Dalam Negeri, dengan kebijakan yang kemudian diterapkan Kurz sebagai kanselir pada 2017-2021 didasarkan pada politik wacana Islam. 

"Terminologi ini digunakan dengan cara yang sangat tidak bertanggung jawab dan merupakan sarana untuk menghindari potensi serangan yang melanggar kebebasan beragama," katanya, merujuk pada cara seperti pelarangan jilbab bagi wanita Muslim dan penutupan masjid yang menurut pejabat diklaim sebagai "simbol politik Islam." 

Baca juga: Putuskan Bersyahadat, Mualaf JJC Skillz Artis Inggris: Islam Memberi Saya Kedamaian

Hafez menunjuk ke Operasi Luxor di Austria, di mana polisi menggerebek 35 rumah pada 2020 dan lebih dari 105 orang menjadi tersangka terorisme. 

"Operasi polisi ini diduga mengejar teroris, dan itu seperti dasar hukum untuk operasi semacam itu,” ungkap dia. 

"Orang-orang yang terkena operasi itu sebagian besar adalah orang-orang dari masyarakat sipil Muslim atau suara-suara kritis, seperti saya, yang kritis terhadap politik terkait Islam dari pemerintah Austria," jelasnya. 

Kemudian pihak berwenang membekukan aset dan rekening bank dari operasi tersebut. Mereka yang terkena dampak, yang menjadi "subjek terpinggirkan dalam lanskap Austria". Beberapa, termasuk Hafez, meninggalkan negara itu.  

“Saya pergi ke Amerika Serikat dan ada orang lain yang juga meninggalkan negara itu karena bisnis mereka dan semuanya hancur dan mereka tidak memiliki kemampuan lagi untuk melanjutkan kehidupan normal mereka,” kata dia. 

"Jadi, itu tidak mungkin. Dan Anda tahu, Anda bisa menebak bahwa ini juga salah satu tujuan pemerintah untuk mengusir orang-orang itu ke luar negeri. Dan, mereka pasti berhasil dalam hal itu," tambahnya.  

Di Jerman, ilmuwan politik mencatat bahwa gagasan "Islamisme legalistik" dikemukakan pertama kali oleh badan intelijen Jerman, yang pada dasarnya melihat semua bentuk "Islamisme" sebagai masalah. Salah satu buktinya adalah pasukan intelijen memasukkan asosiasi Muslim dalam laporan tahunan mereka. 

"Suatu kali, di Jerman, Anda sedang diawasi dan ini dipublikasikan, itu memiliki implikasi serius. Seperti misalnya, Anda tidak mendapatkan dana negara. Juga orang-orang akan menghindari bergabung dengan gerakan semacam itu, tidak mendapatkan pekerjaan dan beberapa orang dicabut kewarganegaraannya,” kata Hafez.  

Dia menambahkan bahwa penerapan dan penemuan Islamisme legalistik dan peran sentralnya dalam badan intelijen Jerman benar-benar menghancurkan kehidupan individu, tetapi juga, yang lebih penting, mencoba menumpas aktivisme masyarakat sipil Muslim. 

"Jadi, pesan yang dikirim dari badan intelijen adalah: 'Lebih baik tidak mengatur. Dan jika Anda mengatur, mengatur sesuai aturan kami. Tapi jangan menjadi agen Muslim yang mengatur diri sendiri yang memiliki pemikiran independennya sendiri dan cara menangani masalah tertentu."

Kemudian di Prancis, Presiden Emmanuel Macron sebelumnya mengembangkan konsep "separatisme Islam" bersamaan dengan inisiatif untuk menciptakan "Islam Prancis" lokal. Tujuannya adalah sama dengan kedua negara lainnya. 

Hafez menekankan bahwa Prancis telah berusaha untuk mengendalikan populasi Muslimnya selama tiga dekade terakhir dan bahwa, dengan memperkenalkan rencananya untuk memerangi "separatisme Islam", pada Oktober 2020, Macron semakin meningkatkan sentimen anti-Muslim di negara tersebut. 

Misalnya saja kebijakan pemblokiran sistematis administrasi Macron, yang mencakup pembentukan 101 unit pemerintah di seluruh negeri untuk memantau Islam dan Muslim, memasukkan sekitar 25 ribu organisasi dan bisnis Muslim ke dalam daftar hitam di bawah pengawasan ketat, dan empat sekolah. Akibatnya, hampir 700 fasilitas dan perusahaan milik Muslim, termasuk 37 masjid dan 210 bisnis, terpaksa ditutup.

"Semua tindakan ini telah menimbulkan kerusakan besar yang dapat dirasakan di lapangan,” tegas Hafez.

 

 

 

Sumber: anadolu  

 
Berita Terpopuler