Menunggu Kabar Baik dari Sepak Bola Indonesia

Erick Thohir dan La Nyalla Mattalitti maju sebagai calon ketua umum PSSI.

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Kiper Timnas Indonesia Nadeo Argawinata (kedua kanan) bersama rekan-rekannya duduk lesu usai kalah dari Timnas Vietnam dalam pertandingan leg 2 babak Semi Final Piala AFF 2022 di Stadion Nasional My Dinh, Hanoi, Vietnam, Senin (9/1/2023). Indonesia gagal lolos ke babak final usai kalah 0-2 dari Vietnam.
Red: Israr Itah

oleh: Israr Itah, jurnalis Republika.co.id

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, Sepak bola kita membuka tahun 2023 dengan cerita pahit. Timnas Indonesia yang digadang-gadang merebut juara Piala AFF untuk kali pertama sepanjang sejarahnya justru terhenti di semifinal. Setelah membuang sejumlah kesempatan menang pada duel pertama di Jakarta, Asnawi Mangkualam dkk takluk di kandang Vietnam 0-2.

Indonesia tersiungkir. Mimpi itu pupus sudah. Pecinta Garuda harus termangu menunggu tim kesayangannya bisa berprestasi di level minimal Asia Tenggara.

Sebenarnya, "pertanda baik" dari lapangan hijau, utamanya timnas, mulai muncul. Namun Tragedi Kanjuruhan membuat semuanya berantakan. Ketidakcakapan tata kelola sepak bola oleh PSSI, terkuak. Liga 1 berhenti di tengah jalan. Padahal bermain di kompetisi yang teratur, terjadwal pasti, dan sehat, dibutuhkan agar muncul pemain dengan kapasitas mumpuni untuk membela timnas.

Dengan keterbatasan ini, pelatih Shin Tae-yong mengandalkan penuh training camp dan try out untuk membentuk tim. Ia juga mendorong terus penambahan kekuatan tim lewat jalur naturalisasi. Langkah yang didukung penuh oleh Mochamad Iriawan sebagai ketua umum PSSI.

Namun, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Salah satu pemain yang baru dinaturalisasi, Sandy Walsh, tak bisa membela Indonesia pada ajang Piala AFF 2022. Sang bek tidak mendapat izin dari klubnya, KV Mechelen (Belgia), karena Piala AFF 2022 tak masuk dalam kalender FIFA. Hanya Jordi Amat, bek lainnya yang bersamaan dengan Sandy mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, yang bisa bermain. Sebab, Jordi merumput di Liga Malaysia.

Kendala serupa dialami Elkan Baggott. Timnya, Gillingham, juga enggan melepasnya membela Indonesia. Alhasil, lini belakang Indonesia tidak dalam kekuatan penuh sepanjang Piala AFF 2022. Makin suram karena lini depan Indonesia, yang mayoritas diisi para pemain yang merumput di liga lokal, juga melempem.

Training camp dan try out tak membuat mereka klinis. Tak berlebihan juga mengaitkan kelemahan ini dengan kompetisi yang terhenti akibat Tragedi Kanjuruhan. Minim menit bermain pada laga kompetisi sebenarnya berpengaruh signifikan.

 

Mochamad Iriawan yang berharap menjaga kursinya sebagai ketua umum PSSI dengan trofi Piala AFF 2022 dibuat tak berdaya dengan plot twist menjelang akhir masa jabatannya. Efek domino kasus hukum dari Tragedi Kanjuruhan terus berjalan dan selalu diidentikkan dengan ketidakcakapan Iriawan dalam memimpin PSSI. Ia dituntut mundur sebagai bentuk tanggung jawab. Kongres Biasa PSSI sebagai langkah awal untuk memuluskan hal itu dijadwalkan. 

Kegagalan Indonesia juara di Piala AFF 2022 menambah pukulan kepada Iwan Bule, sapaan akrabnya. Ditambah kemudian keputusan Exco PSSI menghentikan kompetisi Liga 2 tak lama setelah kegagalan di Piala AFF melengkapi coreng dalam CV Iwan Bule semasa memimpin PSSI.

Kongres Biasa PSSI dalam tahapan awal mencari pemimpin baru organisasi bal-balan tertinggi di Tanah Air sudah digelar pada Ahad (15/1/2023). Satu di antaranya keputusan Kongres Biasa PSSI adalah pengesahan susunan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP) untuk Kongres Luar Biasa PSSI pada Februari mendatang. Pemilihan nakhoda baru beserta jajaran pengurus anyar PSSI periode 2023-2027 akan digelar di sana. 

Sejauh ini, baru dua nama yang mendaftar untuk menjadi Ketua Umum PSSI. Pertama mantan orang nomor satu PSSI La Nyalla Mattalitti. Kedua, Menteri BUMN Erick Thohir. Di tangan salah satu dari kedua orang ini (jika tak ada kandidat lain yang menyusul mendaftar) masa depan sepak bola Tanah Air digantungkan.

PR-nya bukan main banyak. Jika ingin disederhanakan, pertama membuat rapi kompetisi berjenjang, dari mulai grassroot hingga Liga 1. Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 beserta jajarannya harus bisa memastikan kompetisi-kompetisi ini berjalan dengan dengan teratur, rapi, serta sesuai koridor. Tak ada lagi jadwal yang tak pasti karena berbagai izin tak keluar. Tak ada lagi invisible hand yang bisa mengatur jalannya laga atau hasil akhir. Tak ada lagi bentrok suporter yang memakan korban mengiringi jalannya kompetisi.

 

Kedua, prestasi timnas. Selepas Piala AFF 2022, empat agenda besar menanti timnas Indonesia pada 2023. Pertama, Piala Asia U-20 2023 di Uzbekistan pada 1-18 Maret 2023. Kemudian, SEA Games 2023 di Kamboja. pada 5-16 Mei 2023. Berlanjut Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia pada 20 Mei -11 Juni 2023. Terakhir, Piala Asia 2023 pada 16 Juni -16 Juli 2023 dengan tuan rumah yang belum ditentukan.

Untuk dua agenda terakhir, rasanya mustahil untuk juara. Bahkan sekadar lolos grup saja merupakan hal yang mewah. Namun peluang sedikit lebih besar mungkin ada pada Piala Asia U-20. Yang terbesar tentu saja SEA Games 2023. Indonesia terakhir meraih emas sepak bola SEA Games pada 1991.

Dengan kalkulasi pengurus baru PSSI sudah terpilih pada Februari, persiapan timnas untuk berlaga di SEA Games mungkin hanya tersisa sekitar dua bulan. Jika timnas berhasil membawa pulang emas dari Kamboja, kredit besar pasti langsung didapatkan pengurus baru entah itu di bawah pimpinan La Nyalla atau Erick.

Membenahi sepak bola Indonesia butuh waktu yang tak sebentar andai mendapatkan emas SEA Games, bukan berarti langkah pembenahan sepak boal selesai. Itu hanya modal awal merebut hati pecinta sepak bola kita yang mulutnya setajam silet dan jarinya ringan sekali menuliskan keluhan dan umpatan di media sosial. PR yang banyak itu untuk mebentuk tata kelola sepak bola yang baik mesti dituntaskan. Impiannya tentu saja demi prestasi yang bertahan dan berkelanjutan, tak sekadar one hit wonder. Kita pasti ingin seperti Vietnam dan Thailand yang selalu punya timnas yang kuat karena bermodal kompetisi yang dikelola dan berjalan bagus.

Saya tidak hendak membahas kapasitas La Nyalla dan Erick di sini. Semua pasti sudah mengetahui rekam jejak keduanya. La Nyalla dan punya keunggulan masing-masing. Saya hanya mengharapkan, siapa pun yang nanti bertugas memimpin PSSI punya kekuatan lebih untuk memimpin roda organisasi olahraga yang paling populer di Indonesia ini. 

"Saya rindu menuliskan berita sepak bola yang isinya prestasi, bukan konflik," kata seorang sahabat jurnalis. Ya, saya juga. Semoga itu bisa terwujud. Kalau boleh tahun ini, mengapa tidak?

 

 
Berita Terpopuler