Beda Pendapat Elite NU dan Muhammadiyah Soal Sistem Pemilihan Caleg di Pemilu

Putusan MK akan menentukan sistem pemilihan caleg di Pemilu 2024.

VOA
Bilik dan kotak suara Pemilu 2019. Saat ini tengah menjadi polemik soal sistem pemilihan caleg di pemilu. (Ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga

Sistem proporsional dalam pemilu saat ini tengah menjadi polemik menyusul prediksi dari Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang memperkirakan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima gugatan atas sistem proporsional terbuka yang selama ini diterapkan di Indonesia. Dua elite organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar Islam di Indonesia pun berbeda pendapat mengenai hal ini.

Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf punya pendapat pribadi terkait perdebatan soal sistem pemilihan legislatif (pileg) yang tepat digunakan di Indonesia, antara proporsional terbuka atau tertutup. Menurutnya, sistem proporsional tertutup menjauhkan pemilih dengan calon anggota legislatif (caleg).

"Pendapat pribadi saya, harap dicatat, bahwa sistem proporsional tertutup itu secara teoretis mengurangi hak langsung dari pemilih. Karena tidak bisa memilih orang per orang di antara calon-calon yang ada," ungkap Gus Yahya saat konferensi pers usai menerima kunjungan pimpinan KPU RI di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Kendati begitu, Gus Yahya pembuat undang-undang untuk menentukan sistem yang hendak digunakan. Yang penting, kata dia, sistem yang digunakan merupakan buah kesepakatan bersama.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Siapa calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai.

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Pemenang kursi ditentukan oleh perolehan suara tertinggi. Sistem proporsional terbuka ini berlaku sejak Pemilu 2009 hingga kini.

Penggunaan sistem proporsional terbuka itu, yang tertera dalam Pasal 168 UU Pemilu, kini sedang digugat ke MK. Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan kader Nasdem, meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Berbeda dengan Gus Yahya, Muhammadiyah mengusulkan agar sistem pemilihan caleg diganti menjadi proporsional tertutup, atau proporsional terbuka terbatas. Sebab, Muhammadiyah menilai sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini mengandung sejumlah masalah. 

"Usulan sesuai muktamar ada dua. Pertama kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup.... Usulan kedua adalah terbuka terbatas," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti kepada wartawan di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). 

Dalam sistem terbuka terbatas, kata Mu'ti, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun parpolnya. Caleg yang memenangkan kursi parlemen ditentukan oleh Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau harga kursi. 

BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Jika perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas satu kursi parlemen. 

Apabila tidak ada satu pun caleg yang perolehan suaranya melampaui BPP tapi suara partainya melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan lewat nomor urut caleg di partainya. "Dengan sistem proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mu'ti. 

 

 

Menurut Mu'ti, dengan mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup atau terbuka terbatas, terdapat sejumlah masalah yang dapat dibenahi. Pertama, kanibalisme politik atau saling jegal antar calon dapat dikurangi. 

Kedua, praktik politik uang dapat dikurangi. Sebab, selama ini calon yang bisa maju adalah yang punya modal banyak. Ketiga, dapat mengurangi populisme politik atau fenomena ketika pemilih menentukan pilihan berdasarkan popularitas calon, bukan kualitas calon. 

Masalah keempat, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, partai diharapkan bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya yang akan duduk di parlemen. "Sebab peran lembaga legislatif itu secara konstitusional sangat besar, sehingga kualitas mereka tentu akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ujarnya. 

Kelima, dengan meninggalkan sistem proporsional terbuka, Muhammadiyah berharap akan ada penguatan institusi partai politik sebagai lembaga yang mendidik dan menyiapkan negarawan. Mu'ti menipis anggapan sejumlah pihak bahwa penerapan sistem proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi. Menurutnya, sistem pemilu beragam, dan hal yang lumrah bagi suatu negara memilih sistem tertentu. 

Kualitas demokrasi, lanjut dia, tidak ditentukan oleh sistem pemilu yang digunakan, melainkan oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya. "Jadi, kami menilai demokrasi dengan ukuran-ukuran yang bersifat substantif, bukan semata-mata bersifat prosedural," kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Di DPR, semua fraksi partai politik (parpol) kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kompak menolak sistem pemilihan caleg kembali ke sistem proporsional tertutup. Delapan fraksi bahkan telah mengeluarkan pernyataan resmi yang meminta MK untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan menolak gugatan yang saat ini sedang berproses.

Sebagai satu-satunya parpol yang tidak ikut dalam pernyataan sikap delapan fraksi di DPR, PDIP menegaskan partainya mendukung perubahan sistem proporsional pemilu dari terbuka menjadi terututp. Namun, partai berlambang kepala banteng itu akan menaati apa pun putusan MK nantinya.

"Ketika Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan ya sikap PDI Perjuangan taat asas, kami ini taat konstitusi," ujar Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1/2022).

Menurut Hasto, fraksi PDIP juga menghargai delapan fraksi di DPR yang sudah menyatakan menolak sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Kendati demikian, sistem proporsional tertutup disebutnya memiliki kelebihan daripada proporsional terbuka.

Kelebihan pertama, kata Hasto, adalah terkait efektivitas anggaran pelaksanaan pemilu. Ia berkaca pada Pemilu 2004, yang terdiri dari pemilihan legislatif dan dua putaran pemilihan presiden telah menghabiskan anggaran sekira Rp 3,9 triliun.

"Kalau dengan inflasi 10 persen saja, ditambah dengan adanya (anggaran untuk) Bawaslu, dan sebagainya itu perkiraan Rp 31 triliun, tetapi nanti KPU yang lebih punya kewenangan untuk menghitung biaya pemilu bersama pemerintah. Jadi ada penghematan," ujar Hasto.

Selain itu, Hasto melanjutkan, sistem proporsional tertutup mendorong partai politik melakukan pendidikan politik dan kaderisasi yang baik di internalnya. Bukan menjadi peserta pemilu yang hanya mengandalkan popularitas untuk menang.

"Kami ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai, kita bukan partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi sebagai partai yang menjalankan fungsi kaderisasi, pendidikan politik. Memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik dan di situlah proporsional tertutup kami dorong," ujar Hasto.

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

 

 

 
Berita Terpopuler