Guru Adalah Panggilan Jiwa

Menjadi guru adalah meneladani Rasulullah SAW menjadi uswah hasanah.

retizen /Dodi Suryadi
.
Rep: Dodi Suryadi Red: Retizen

Suatu saat sebuah sekolah membuat kuesioner penilaian kinerja guru yang disebar dan diisi oleh murid utusan masing-masing kelas. Pada isian yang dilakukan dengan cara membubuhkan ceklist dan uraian tersebut, beberapa utusan kelas mendeskripsikan sebagian guru pada posisi yang kurang ideal, seperti sering telat atau bahkan jarang masuk. Terlalu sering memberikan tugas mencatat, penjelasan materi ajar yang kurang bisa dipahami murid, tidak memberi contoh baik dalam sikap dan berbicara, serta kekurangan lainnya.

Hasil ini sedikit banyak mencerminkan bahwa pada kenyataannya masih ada guru yang mungkin kurang memiliki jiwa pendidik. Padahal sebagian besar dari guru yang dikritisi tersebut secara “de jure” telah dianugrahi label professional melalui piagam sertifikasi guru.

Menjadi guru memang butuh panggilan jiwa. Agar pada saat menjalankan tugas memanusiakan manusia, eksistensinya akan selalu hidup dalam sanubari setiap muridnya. Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwanya akan mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keislaman yang besar di dalam dada setiap muridnya. (Mohammad Fauzil Adhim).

Yang paling hebat dari seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun hadirkanlah gambaran bahwa diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga. (KH. Maimun Zubair).

Jika bercermin pada filosofi mendidik menurut konsep Al-Ghazali, setiap guru harus memiliki prasyarat :

Pertama; mempunyai sifat kasih sayang terhadap anak didik serta mampu memperlakukan mereka sebagaimana anak sendiri. Anak yang merasa dirinya dicintai guru akan memiliki kecenderungan sangat kuat untuk membalas cinta gurunya. Rasul melandasi setiap gerak pendidikannya dengan cinta dan kasih sayang. Allah berfirman :

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar. Tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. (Q.S. Ali Imran [3]: 159)

Kedua, aktifitasnya hanya berorientasi dan disandarkan pada Allah (ikhlas). Guru yang ikhlas akan senantiasa berusaha menjadikan dirinya sebagai pendidik bukan hanya menjadi pengajar. Meyakini bahwa menjadi pendidik adalah ibadah yang menjanjikan pahala dan kemuliaan. Tidak hanya terkungkung status bahwa guru adalah sebuah pekerjaan seperti pekerjaan umum lainnya yang terikat waktu, tempat dan besaran gaji. Menjadi guru hanya pada saat di sekolah, tanggung jawab moralnya selesai setelah menyampaikan materi ajar.

Ketiga, pendidik harus mampu memberi nasehat yang baik kepada anak didik, baik nasehat dengan lisan ataupun dengan contoh perbuatan (bil haal). Nasehat bijak yang berisi mauidzoh hasanah dan tidak hanya menghakimi, yang pada akhirnya menumbuhkan sikap antipati anak didik.

Keempat, mampu mengarahkan peserta didik kepada hal-hal yang baik. Karena sebagai manusia biasa, setiap anak atau remaja mempunyai insting dasar lebih menyukai hal-hal negatif dan perilaku menyimpang daripada hal-hal yang positif.

Kelima, pendidik harus mampu mengenali tingkat nalar dan intelektualitas anak didik. Dalam konteks ini pendidik dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan “bahasa” mereka agar proses belajar berjalan dengan baik dan tepat sasaran. “Khootibunnasa `alaa qodri `uquulihim”

Keenam, harus mampu menumbuhkan kegairahan anak didik terhadap ilmu yang dipelajarinya. Mempunyai kompetensi komprehensip tentang materi ajar yang diampu. Kaya akan inovasi dalam penerapan metode mengajar. Menjadi pribadi yang menyenangkan saat mengajar di kelas. Menumbuhkan good mood peserta didik agar transfer ilmu menjadi lebih mudah. Dirindukan saat tidak bisa hadir di kelas, bukan malah sebaliknya jadi figur yang tidak disukai dan disyukuri ketidak hadirannya di kelas.

Ketujuh, seorang pendidik harus mampu memberikan teladan kepada anak didiknya. Perilakunya juga harus sesuai kapasitas keilmuannya. Guru adalah pribadi yang seyogyanya dapat digugu dan ditiru. Keberhasilan Rasulullah shallallahu `alaihi waalihi wasallam membumikan islam di dunia ini karena beliau mampu menjadi suri tauladan yang baik (uswah hasanah). Bahkan Allah SWT. memberikan sindiran kepada mereka yang hanya pandai menyampaikan perintah tanpa mampu melaksanakannya.

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri”. (Q.S. Al-Baqarah : 44)

Wallohu a`lam..

 
Berita Terpopuler