Post Truth, Perang Algoritma: Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Menyelamatkan Eksistensi Pers sebagai Pilar Demokrasi

Post truth (ilustrasi)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI; Peneliti Indopol dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

 Pernyataan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin yang menyatakan industri media kita sedang dalam situasi tidak baik-baik saja menjadi alarm bahaya demokrasi. Pasalnya, kondisi kedaruratan tersebut diungkapkan setelah menggelar pertemuan dengan perwakilan insan pers sekaligus pimpinan media pada akhir tahun lalu (28/12/2022).

Pers menjadi salah satu pilar penting demokrasi. Di era masyarakat informasi, pers sudah semestinya menjadi sandaran kebenaran publik. Namun, di masa post-truth, kebenaran tengah dijungkirbalikkan. Fakta dimanipulasi, media ditunggangi kepentingan balik layar. Di sinilah eksistensi media perlu diselamatkan untuk kembali mengemban tugas suci pencerahan.

Bahaya Kemunduran Media

Media di berbagai literatur penting dunia terutama terkait teori efek menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam mengonstruksi realitas. Realitas ini dibentuk sebagai hasil persepsi khalayak memahami isi media. Media dalam konteks ini bukan hanya saluran informasi, melainkan seperti apa yang disebut McLuhan sebagai second hand reality. Artinya, media telah menyeleksi apa-apa saja yang layak dikonsumsi, dunia telah ditafsir oleh media.

Di tengah media di satu sisi dipaksa untuk beradaptasi dengan perkembangan telnologi, di sisi lain paradoks media berada di pusaran tarik menarik kepentingan antara industri dan politik. Independensi media diuji oleh eksistensinya sendiri di antara tunduk pada imperatif pemodal, penguasa dan viralitas media baru yang terus berkelindan.

Tantangan klasik pengelolaan pers berkaitan dengan soal pendapatan tak terelakkan. Mengingat dari proyeksi pendapatan tersebut tak hanya memengaruhi sirkulasi arus produksi media, melainkan juga kesejahteraan wartawan. Selain itu, pergesaran media massa ke media sosial sebagai sumber informasi juga mereduksi ceruk audiens sekaligus memangkas pemasukan media arus utama. Tak heran jika kondisi tersebut mengarahkan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan memengaruhi kualitas pers. Hal tersebut tercermin dari indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2021 yang relatif belum maksimal di angka 76,02, atau hanya ada peningkatan tidak signifikan sekitar 0,75 dari tahun sebelumnya.

Kemunduran media adalah kemunduran peradaban. Matinya nalar dan nurani dalam produksi informasi sama dengan meruntuhkan hakikat kebenaran. Ketika berita dan publisitas cenderung by order dan by design, eksistensi pers tak lebih hanya sekedar melegitimasi status quo. Jika benar situasi ini yang dominan dialami insan pers, media bukan lagi sekedar dalam keadaan darurat, tapi media telah mengalienasikan dirinya sendiri dan mengubur peran utamanya.

 

 

Menyelamatkan Misi Mulia Pers

Pers menjadi tiang penyangga keempat demokrasi. Pers mengorganisasikan kerja jurnalistik dalam memproduksi dan memediakan pengetahuan. Itu sebabnya, ia dilahirkan tidak hanya “to inform” atau bahkan “to entertain”, tapi juga “to educate”. Misi mulia itu yang membuat eksistensinya penting untuk menjaga kewarasan, memastikan check and balance terpenuhi.

McQuail bahkan menyebut media sebagai signposts yang artinya ditempatkan mampu menjadi pemandu, memberi petunjuk dan arah. Media menjadi ruang dialogis yang memfasilitasi interaksi dan umpan balik dari publik. Jika ada keresahan atau ketidakpuasan terhadap keputusan politik, media sudah sewajarnya tampil terdepan menyalurkan aspirasi dan kritik. Di situlah misi mulia media itu dijalankan tak hanya sekedar bahasa normatif, namun menjadi laku aplikatif.

Dalam madzab Frankfurt, media diproyeksikan sebagai alat pembentuk budaya. Media bertanggung jawab tak hanya memproduksi wacana, tapi menjaga kesinambungan kultural. Dalam konteks budaya itulah media mewadahi keberagaman dan tentunya tak mengkooptasi heterogentitas atau distinctiveness(keberbedaan). 

Di tahun-tahun politik, misi mulia pers akan dipertaruhkan. Apakah media tetap konsisten menjaga misi mulia atau justru putar balik tunduk pada imperatif kekuasaan. Jika menggunakan bahasa Kyai Ma’ruf Amin, misi penyelamatan media perlu dilakukan untuk mengantisipasi berbagai tantangan ke depan, tak hanya agar selamat dari sakaratul maut, tapi mengembalikan misi suci media agar mencapai hayatan thayyibah.

 

 

Post-truth dan Perang Algoritma

Pers tak hanya bergelut dengan situasi internal, tantangan post-truth dan perang algoritma perlu penyikapan tersendiri. Demokrasi di era digital membuka ruang gerak media yang semakin terbuka. Bukan hanya untuk media sebagai institusi, tapi setiap individu memungkinkan bisa menjadi kanal media. Clay Shirky menyebut dengan istilah “Everyone is a media outlet”.

Ketika semua pihak berpotensi memproduksi informasi, sumber kendali media semakin beragam. Christian Fuchs mengingatkan agar tak terjebak pada situasi krisis kebenaran akibat post-truth, perlu jalan humanisasi media. Artinya logika media tidak diarusutamakan sebagai pelayan kapital, tapi untuk kebaikan bersama (bonum commune).

Belum lagi ketika perang algoritma turut mengendalikan realitas dan laku budaya, media mempunyai pekerjaan rumah tambahan. Media sekali lagi akan diuji oleh zaman, apakah mau berpegang teguh pada misi atau terjebak pada komodifikasi.

Selain itu, perangkat regulasi yang belum memadai termasuk Undang-Undang Penyiaran yang masih perlu penyesuaian menjadi tantangan tersendiri untuk memastikan eksistensi media sebagai pilar demokrasi tetap terjaga. Saya sependapat dengan pandangan Wapres KH Ma’ruf Amin, untuk menjaga eksistensi pers sebagai pilar demokrasi perlu adanya solusi terkait upaya membangun keseimbangan baru melalui berbagai aturan yang bisa memberikan perlindungan pada media kita. 

Namun demikian, apa pun itu semua, panggilan media untuk kembali ke misi utamanya adalah tugas besar peradaban, catatan sejarah. Menurut hemat saya kekalahan terbesar insan pers sejatinya bukan pada perangkat teknologi atau substitusi platform, tapi mematikan logika jurnalistik untuk bekerja sebagai mana mestinya.

 

 

 
Berita Terpopuler