Kisah Makna Toleransi Sejati: Ingat Kampung Jelang Natal

Toleransi dan sikap Pancasila jangan banyak jadi slogan

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Gaya busana santri di Jawa di masa lalu.

Setiap kali jelang Perayaan Natal, ingatan saya langsung terbang ke kampung masa kanak. Kala itu kami yang bergama Islam selalu membayangkan banyaknya orang mudik dari tetangga, hingga kerabat dalam keluarga besar saya. Kampung mendadak banyak orang yang ingin merayakan Natal di rumah asal. Kampung yang berada di kasawan pesisir selatan Jawa tengah itu ramai. Mobil dari berbagai penjuru berdatangan.

Memang penganut Kristiani dikampung kami minoritas. Tapi itu merupakan saudara. Eyang buyut mereka masih duhulu beragama Islam. Mereka berpindah keyakinan terindikasi mulaii akhir tahun 1800-an atau awal 1900. Setelah kuliah saya paham dengan membaca berbagai litelatur dari mana asal usul 'dakwah' atau missi itu. Ternyata, kiranya itu hasil kerja misonaris legendaris Kyai Sadrach yang letaknya kampungya hanya belasan kilometer dari kampun kami, yakni di wilayah Purworejo bagian selatan.

Adanya perindahahan keyakinan dari hasil kerja jaringan misonaris Kyai Dakwah itu dapat pada beberapa indikasi. Misalnya munculnya nama Gereja Kerasulan Baru hingga nama liturgi di gereja yang memakai bahasa Jawa, misalnya istilah kolekte (pengumpulan dana untuk gereja, kalau dalam Islam Shadaqoh) diganti nama menjadi 'pisungsung' (persembahan kawula kepada raja, bhs Jawa). Dua istilah ini sangat khas bila mempelajari model misi Kyai Sadrach yang mengawinkan nilai dan istilah Kristen ke penyebutan Jawa.

Indikasi lain, adalah sosok dan nama unik dari para guru yang menjajarkan Bibel (ajaran Kristen/Injil) kepada orang Jawa yang saat itu masih sangat sederhana atau minimal pemahaman islamnya. Ini misalnya, kalau di Islam ada orang yang disebut 'modin' atau 'Kaum' (di jawa red), yang selama ini mengatur pendidikan dan pelayanan sosial kepada warga Islam, di pihak penduduk kampung kami yang memeluk Kristen muncul sebutan 'Guru Injil'. Hebatnya, di kampung kami kedua profesi ini diakui dengan adanya papan nama petunjuk diujung jalan. Baik papan nama kaum dan papan nama guru injill terpancang dengan lengkap dan jelas dipinggir jalan. Tak ada pembedaan.

Lalu bagaimana cara mengajarkan agama kepada penduduk di kedua belah pihak itu? Tentu saja, keduanya membaurkan ajaran islam dengan nilai-nilai budaya Jawa yang dianutt masyarakatknya. DI Islam misalnya ada pengajaran kitab yang khas dengan memakai bahasa Jawa tinggi meski kami keseharian tidak bicara dengan dialek Jawa tersebut, Kami bicara dengan dialek yang disebut 'ngapak' dengan berbagai variasi khas kami yang ternyata itu dikemudian hari diasadari meruoakan bahasa yang lebih 'asli' dari bahasa Jawa gaya Mataram yang disebut bahasa Jawa Baru karena baru mulai eksis pada masa Sultan Agung yakni pada tahun 1600-an. Maka lahirlah apa yang kini disebut 'puji-piujian', yang itu diperdengarkan dengan suara lantang baik sebelum adzan, pada masa yasinan dan kenduri, hingga slamaten. Bahkan, sampai kini masih lazim kami dengar lagu atau qiraat' pembacaan surat Al Ikhlas bergaya Jawa yang khas yang mirip dengan orang Jawa yang tengah 'uro-uro' atau bersenandung.

Lalu bagaimana dengan warga kami yang penganut Kristiani? Jawabnya sama saja. Mereka juga 'memblend' ajaran agamanya dengan budaya Jawa. Ini misalnya dengan cara bagaimana para penganut kristiani di kampung kami, terutama kepada warga sepuh, yang semat mendapat pengajaran kisah para 'rasul', menjadi babad Para Rasul. Semua orang tua kami yang sekolah dasar pada tahun 1940-an tahu akan soal ini. Mengapa? karena mereka bersekolah pada sekolah yang dikelola para misi, yakni sekolah dasar Masehi. Pelayanan sekolah ala klasikal ini kala itu para warga dapatkan karena saat itu belum ada sekolah dasar negeri. Yang Islam kalau pagi sekolah di SD Masehi, sedangkan kalau di petang hari dan malam, mereka mendapat pengajaran Islam melalu para ustazd di surau dan pesantren.

Apakah tidak penah terjadi ketegangan? Jawabnya, pernah. Itu terjadi pada dekade akhir 1970-an. Kala itu pemerintah Orde Baru menyebarluaskan 'toleransi salah' kaprah dengan jargon: semua agama sama saja karena mengajarkan kebaikan. Dan situasi ini kala itu sangat jeli dilihat oleh ulama besar Buya Hamka dengan melalui protes dengan cara meletakkkan jabatan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka tak mau menjadi stempel jargon itu.

Harus diakui, kala itu ketika suasana panas akibat peristiwa berdarah G30S PKI di tahun 1965 yang masih sangat terasa dengan ditunjukkan adanya kenyataan banyak saudara kami yang di-KTP-nya diberi tanda 'OT', maka kampung sempat sedikit bergejolak. Apalagi saat itu beredar pidato khotbah rekaman dari seseiorang yang bernama Yusuf Roni yang kemudian menjadi polemik serius dengan ulama dari Surabaya, Bey Arifin.

Penulis sebagai seorang anak-anak melihat imbas itu dan juga mendengar khotbah yang bernada sangat peyoratif bagi salah satu agama ari Yusuf Roni. Situasi makin panas ketika saudara-saudara kampung kami yang Muslim ikut pergi ke gereja untuk dalam peringatan Natal. Bahkan, kala itu banyak saudara kami yang Kristiani ikut serta dalam peringatan hari besar Islam, seperti Maulid dan Isra Mi'raj' yang diselenggarakan di masjid. Situasi rukun dan damai yang hadir pada masa awal eyang kami dahulu mendadak hilang. Berubah jadi tegang.

Untunglah situasi itu, tak berlangsung lama. Setelah muncul sikap Buya Hamka yang itu kemudian dipraktikkannya dalam bentuk nasihat di forum pengajian kecil-kecilan rutin seperti yasinan, selapanan, pemahaman umat Islam pulih. Mereka sadar bahwa toleransi sejati bukan ikut mengiukti ibadah (ritual) pihak lain. Mereka sadar akan posisi pirbadinya masig-masing dan tak pernah lagi mencoba mencampurbaurkan.

Syukurnya, meski sempat tegang, para orang tua kampung kami tak pernah memutuskan tali asih melalui silaturahmi yang sangat 'genuine' dan konkrit. Salah satu contohnay dan ini terkenang sampai sekarang adalah tradisi berbagai makanan ketika datang hari raya Idul Fitri dan Natal. Lazimnya, setelah pulang dari shalat Idul Fitri kami biasa membawakan makanan yang menjadi hidangan tamu di hari raya. Saya sendiri yang selalu membawakan sajian itu. Opor ayam, ketupat, sambal goreng ati, hingga makanan ringan lebaran selalu kami kirimkan ke tetangga rumah kami yang Nasrani yang juga masih kerabat itu.

Begitu juga sebaliknya. Kala hari Natal tiba, sehabis pulang dari gereja yang letaknya hanya sekiitar 200 meter dari rumah, mereka pun mengantarkan makanan hari raya Natal ke kami. Makannya juga sama lengkap. Bahkan, mereka selalu memberii tahu bila makanan yang dia kirim itu ada ayam gorengnya. Dan mereka selalu memberi tahu bila tak usah khawatir dengan tidak memakannya, karena yang potong ayam adalah 'Pak Modin/ Kaum'. Jadi pasti dijamin halal.

Bila mengenang itu kini saya merasa sedih, terutama ketika melihat suasana ibadah Natal yang dijaga polisi lengkap dengan metal detektornya Ini karena itu tidak pernah kami alami. Semenjak eyang kami dahulu tak ada soal dengan perbedaan agama. Ini karena dari masing-masing kerabat kami, semua punya anak yang kemudian menjadi ulama dan pendeta yang disegani. Mereka melayani umatnya masing-masing diberbagai wilayah. Bahkan, sejak dahulu ada yang menjadi pemuka agama di Nusa Tenggara Barat.

Namun, kesedihan kami sedikit terobati, ketika kami mendengar bahwa kampung kami ditetapkan sebagai 'Kampung Pancasila'. Terasa ada kebanggan memang. Meskipun kadang kami merasa berlebihan karena di penjuru kampung ditulis besar-besar dalam spanduk. Dan ini pun terasa mulai berlebihan ketika aparat keamanan ikut-ikutan memasang spandung kampung Pancasila, misalnya persis di belakang lubang penyemvelihan hewan kurban pada peringatan Idul Adha lalu. Setelah itu, para petugas keamanan (Babinsa) berfoto-foto yang katanya akan dikirimkan ke komandannya sebagai bentuk laporan kerja.

Kami harus akui, para Babinsa itu bekerja dengan sangat baik. Merekalah yang membantu warga ketika ada ancaman bahaya. Banyak warga kamii merasa terharu ketika ada seorang petugas berseragam hijau mengetuk pintu rumah kala terjadi hujan lebat hanya untuk menanyakan apakah anggota keluarga semua aman?

Mendaptkan layanan seperti itu, warga banyak yang menitik air mata melihat ketulusan dan rasa tanggungjawab pengabdian petugas Babinsa itu. Hebatnya, ketika diminta masuk untuk diajak minum sejenak karena hujan sangat deras dan dia hanya berjalan kaki memakai mantel, si petugas menolak. Petugas inii sampai kini sangat disayangi warga.

Itulah toleransi sejati! Itulah Pancasila sejati! Itulah petugas dan pengabdi negara sejati! Rakyat tak perlu slogan dan pecitraan.

 
Berita Terpopuler