Hidayah Datang untuk si Pembunuh Ketika Hendak Menyerang Nabi Muhammad SAW

Kafir Quraisy Umair bin Wahab bersyahadat ketika hendak menyerang Nabi Muhammad SAW

MgIt03
Ilustrasi sahabat Nabi Muhammad SAW. Kafir Quraisy Umair bin Wahab bersyahadat ketika hendak menyerang Nabi Muhammad SAW
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah SAW baik di fase Makkah dan Madinah membuat kafir berbondong-bondong bersyahadat.  

Baca Juga

Umair bin Wahab merupakan seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia masuk Islam beberapa tahun sesudah hijrahnya Rasulullah SAW. Saat masih kafir, ia sempat bergabung dengan kubu musyrikin di Perang Badar. 

Inilah kisahnya dalam menemukan hidayah. Beberapa hari sesudah Pertempuran Badar, Umair seperti umumnya orang-orang Quraisy. 

Ia menyimpan amarah dan dendam terhadap Nabi Muhammad SAW. Terlebih, tokoh dari kabilah al-Jumahi tersebut harus terpisah dari putranya, yang ditangkap pasukan Muslimin seusai perang. 

Umair sangat cemas jika anaknya akan disiksa di Madinah. Untuk meredakan keresahannya, ia pun menuju Kabah pada pagi-pagi buta. Setelah bertawaf, lelaki musyrik itu memohon keberkahan kepada berhala-berhala di sana. 

Cahaya matahari masih samarsamar di balik awan. Di tengah keremangan, Umair duduk melamun. Jawara Quraisy ini terus saja memikirkan nasib anaknya yang tersandera. 

Tiba-tiba pundaknya ditepuk Shafwan bin Umayyah dari belakang, “'Im Shabahan, ya Umair! Mengapa engkau duduk tepekur begitu? 'Im Shabahan!” “Wahai Shafwan, engkau mengejutkanku saja!”  jawab Umair, sementara putra seorang pembesar Quraisy itu mengambil posisi duduk. 

“Engkau seperti sedang memikirkan sesuatu,” ujar Shafwan lagi. “Ya, aku mengkhawatirkan anakku yang sekarang ditawan musuh kita,” katanya membenarkan. 

Umair kemudian berbicara mengenai kawan-kawannya yang mati di Perang Badar. Bagi Shafwan, peristiw wa itu tidak mungkin dilupakannya. Bapaknya sendiri, Umayyah bin Khalaf, tewas di tangan Muslimin dalam pertempuran tersebut. 

Pada pagi itu, kebencian di dalam dada keduanya kian menguat. Rasanya ingin sekali melampiaskan kesumat seketika kepada umat Islam. “Seandainya aku tidak terlilit utang dan keluargaku tidak miskin. Pastilah aku pergi ke Yastrib untuk membunuh Muhammad dengan pedangku sendiri!” ujar Umair.

“Jadi, engkau berani menghabisi Muhammad seandainya kutanggung semua utangmu itu?” timpal Shafwan. 

Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat

“Tentu saja! Selama ini persoalanku dengan para penagih selalu menghalangiku keluar dari Makkah. Mereka pasti menyangkaku akan menghindari tagihan sekiranya aku pergi ke luar kota,” katanya. 

“Kalau begitu, aku berjanji akan menjamin semua utangmu dan memberikan bayaran yang sangat tinggi kepadamu, asalkan engkau berhasil membunuh Muhammad!” 

Mendengar itu, Umair tersenyum lebar. Kedua orang musyrik yang berbeda status sosial itu kemudian bersalaman sebagai tanda telah bersepakat. Keesokan harinya, berangkatlah si jagoan Quraisy menuju Yastrib nama Madinah bagi kaum non-Muslim. 

Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, tibalah Umair di Madinah. Tanpa menunggu lama, dirinya langsung mencapai sekitaran Masjid Nabawi. Pada Subuh itu, ia hendak mencegat Rasulullah SAW begitu waktu shalat usai. 

Tiba-tiba, Umar bin Khattab melihatnya yang sedang bersembunyi di balik rimbunnya pohon kurma. “Tangkap anjing ini!” teriak sahabat yang bergelar al-Faruq itu. Seketika, kaum Muslimin mengepung Umair. Kafir Quraisy itu tidak berkutik. 

Dalam keadaan terikat, Umair diseret ke hadapan Nabi Muhammad SAW, tidak jauh dari halaman Masjid Nabawi. Begitu melihat keadaannya, Rasulullah SAW menyuruh Umar untuk melepaskan seluruh ikatan tali dari tangan, kaki, dan mulut lelaki musyrik tersebut. 

Kemudian, dengan lemah lembut beliau mengajak Umair untuk berbicara. “Apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya Nabi Muhammad SAW. 

“'Im Shabahan, ya Muhammad! Saya datang untuk membebaskan putra saya,” kata Umair.

“Allah telah memuliakan kami dengan ucapan salam yang lebih mulia dari itu ('im shabahan), yaitu ucapan salam para ahli surga,” ujar Rasul SAW, “Kakanlah, wahai Umair, apa maksud kedatanganmu kemari?” 

“Aku datang untuk putraku yang ditawan, perlakukanlah dia dengan baik,” jawabnya lagi.

Untuk ketiga kalinya, Nabi Muhammad SAW mengulangi pertanyaannya. Jawaban yang beliau terima pun tetap sama. Maka beliau menunjuk pedang yang dibawa Umair. Untuk apa benda ini engkau bawa? Semoga Allah hinakan pedang ini. “Apa ada hal lain yang Anda inginkan dari kami?” kata Umair dengan ketus.

“Wahai, Umair. Sungguh engkau telah mengikat janji dengan Shafwan bin Umayyah di dekat Kabah untuk datang ke Madinah dengan membawa pedang hendak membunuhku. Ia bersedia melunasi utang-utangmu dan memberikan bayaran yang tinggi ke padamu. Akan tetapi, Allah menjagaku dari kejahatan manusia dan engkau tidak akan mampu membunuhku,” kata Rasulullah SAW, membongkar kedok lelaki Quraisy tersebut.

Baca juga: Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat

Betapa terkejutnya Umair. Ia yakin sekali, tidak ada yang mengetahui kesepakatannya dengan Shafwan selain dirinya dan bangsawan Quraisy tersebut. Tidak ada siapa pun selain mereka berdua di dekat Kabah pada pagi yang agak gelap itu. 

Ia pun menunduk di hadapan Rasulullah SAW. Sesaat kemudian, Umair berkata, “Ya Rasulullah, dahulu kami mencacimu dan tidak memercayai wahyu Illahi yang turun kepadamu. Namun, engkau mengetahui ceritaku dengan Shafwan bin Umayyah, padahal kesepakatan itu hanya diketahui oleh kami berdua. Demi Allah, sungguh aku yakin bahwa Allahlah yang telah menyampaikannya kepada mu. Maka dengarkanlah persaksianku ini,” ujarnya.

Umair lantas mengucapkan dua kalimat syahadat. “Sejak itu, dirinya menjadi seorang Muslim. Segala puji bagi Allah yang telah membawaku kepadamu sehingga Dia membimbingku kepada Islam,” katanya.  

 
Berita Terpopuler