Mengkritisi Kinerja Pencegahan Terorisme, Formalitas Belaka?

Pencegahan terorisme dinilai belum sentuh akar persoalan.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Warga berjalan di depan deretan karangan bunga pascaledakan bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Jalan Astana Anyar, Kota Bandung, Jumat (9/12/2022). Karangan bunga tersebut sebagai bentuk penghargaan dan dukungan untuk Polri dalam memberantas terorisme, serta ucapan duka cita atas wafatnya Aiptu Anumerta Sofyan dalam peristiwa ledakan bom bunuh diri tersebut. Republika/Abdan Syakura
Red: Nashih Nashrullah

Oleh: Samsul Hadi* 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat, Santoso, menunjuk hidung Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai pihak yang kecolongan atas terulangnya aksi terorisme di Indonesia, tepatnya di Mapolsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (11/12/2022).

Selain menewaskan pelakunya peristiwa itu juga merenggut satu nyawa aparat kepolisian dan mengakibatkan 9 orang lainnya terluka.

Sejatinya terlalu naif hanya menyalahkan BNPT di peristiwa itu, meski tidak juga sepenuhnya salah. Ada kinerja lembaga itu yang patut dikritisi, tepatnya di program pencegahan. 

Adagium yang berlaku terorisme merupakan musuh bersama yang tidak akan pernah tuntas apabila penanganannya hanya diserahkan kepada aparatur Negara, termasuk di dalamnya BNPT.

Dalam operasionalnya ada 3 kedeputian di tubuh BNPT, yaitu Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, serta Kerja Sama Internasional.

Kinerja pencegahan terorisme terpusatkan di Kedeputian Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi yang terbagi dalam 3 direktorat, yaitu Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Direktorat Pencegahan BNPT sendiri membawahi 3 subdirektorat, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Kontrapropaganda, dan Pengawasan. 

Selain terpusatkan di Direktorat Pencegahan upaya pencegahan terorisme di BNPT juga dijalankan di Direktorat Deradikalisasi, yang dalam operasionalnya dilaksanakan di dalam dan luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Ada perbedaan mendasar pencegahan terorisme dia kedua kedirektoratan itu, yaitu pada sasarannya. Direktorat Pencegahan fokus pada upaya membentengi masyarakat yang belum terpapar radikalisme, sementara Deradikalisasi menjalankan tugas “menyembuhkan” kelompok rentan, mencakup mantan pelaku, keluarganya, maupun pihak-pihak yang terafiliasi di dalamnya.

Pemberdayaan masyarakat

Sebagaimana namanya upaya pencegahan  terorisme oleh Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat Direktorat Pencegahan BNPT memang menjadikan masyarakat sebagai sasaran utama, tepatnya di langkah-langkah pembentengan.

BNPT ingin masyarakat yang belum terpapar radikalisme memiliki imunitas tambahan, sehingga apabila paham itu datang setiap saat bisa diantisipasi secara mandiri.

Programnya berisi penguatan nasionalisme, sosialisasi tips and trick pencegahan, hingga penguatan wawasan keagamaan yang mencegah terbentuknya eksklusifitas. Tidak hanya dalam bentuk kegiatan, pelibatan masyarakat ini juga dijalankan lewat penyebarluasan narasi positif di media massa dan media sosial. 

Baca juga: Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat 

Sayangnya beberapa kegiatan yang dilaksanakan BNPT dalam upaya pencegahan terorisme lewat pemberdayaan masyarakat selama ini terkesan seremonial belaka. Kita bisa amati dari apa yang dijalankan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), lembaga non profit bentukan BNPT di 34 provinsi yang berisi perwakilan tokoh masyarakat.

Dari lima pembidangan pada kegiatan tersebut, yaitu Agama, Sosial dan Budaya, Pemuda dan Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Media Massa, Hukum dan Humas, serta Penelitian dan Pengkajian, sasaran kepesertaannya cenderung “bermain di zona nyaman”. 

Kegiatan yang dijalankan lewat bidang Media Massa, Hukum dan Humas FKPT misalnya, dalam tiga tahun terakhir menjadikan personel Babinsa dari unsur TNI, Bhabinkamtibmas dari unsur Polri dan perwakilan kelurahan sebagai peserta.

Para aparatur itu diberikan materi pentingnya literasi di era disrupsi informasi yang pada prosesnya diharapkan akan disebarluaskan ulang ke khalayak.

Tanpa bermaksud mengabaikan capaiannya kegiatan ini bisa dikatakan nguyahi segoro, karena tanpa dibekali BNPT materi-materi yang diberikan sejatinya sudah menjadi santapan rutin para aparatur itu dari instansinya masing-masing sebagai bagian dari tugas yang diembannya.

Belum lagi jika dilihat dari jalannya kegiatan, peserta hanya memenuhi ruangan pada saat pembukaan dan penutupan di saat pembagian uang transport, yang bisa jadi karena menganggap materinya sudah dihafal di luar kepala. Sayangnya BNPT maupun FKPT seolah tidak memiliki daya menghadapi model kepesertaan seperti itu dan kegiatan serupa terus diulang tanpa adanya evaluasi. 

Ada pula kegiatan “Ngerumpi Top” yang dijalankan oleh bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak FKPT. Di tahun-tahun sebelumnya kegiatan serupa dilaksanakan dengan tema “Perempuan Pelopor Perdamaian”.

Sesuai namanya kegiatan ini menjadikan perempuan sebagai sasaran utama kepesertaan, yaitu perwakilan dari organisasi kewanitaan, baik dari organisasi kemasyarakatan, keagamaan, maupun profesi.

Kepada mereka ditanamkan wawasan perempuan dan anak adalah sasaran utama rekrutmen oleh jaringan pelaku terorisme, sehingga kemampuan membentengi diri dan keluarga sangat diperlukan.

Dalam praktiknya peserta kegiatan ini lebih banyak berasal dari kelompok yang sudah mampu bersikap moderat dalam beragama dan bersosialisasi di masyarakat, alih-alih menjadikan kelompok rentan sebagai sasarannya.

BNPT dan FKPT, misalnya, seperti enggan masuk dan menggandeng kelompok-kelompok kajian keagamaan eksklusif yang belakangan banyak tumbuh di masyarakat.

Selain itu juga tidak ada  ketersinambungan di dalam kegiatan ini, yaitu tiadanya evaluasi dari BNPT dan FKPT sejauh mana kelompok perempuan yang sudah dibekali materi mau dan mampu mendistribusikan ulang pengetahuan yang sudah diperolehnya. 

Sebenarnya tidak semua kegiatan FKPT tidak efektif. Dulu kegiatan pada bidang Agama, Sosial dan Budaya pernah menjadikan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebagai sasaran kepesertaan.

Sebagaimana diketahui proses raadikalisasi banyak juga terjadi di lingkungan kampus, sehingga pembentengan penting dilakukan. Dinamika kegiatan ini juga selalu menarik di mana resistensinya terkadang cukup tinggi.

Salah satunya yang terjadi di kampus Universitas Riau pada pelaksanaan kegiatan pada 2019 yang sempat diwarnai demonstrasi penolakan oleh sekelompok mahasiswa.

Terlepas ada tidaknya kaitan dengan kegiatan pencegahan itu, pada prosesnya Densus 88 Antiteror Mabes Polri berhasil membongkar jaringan pelaku terorisme di Riau yang salah satu pelakunya adalah alumnus Universitas Riau.

Sikap “bermain di zona nyaman” juga tampak pada kegiatan yang dilaksanakan pada bidang penelitian dan pengkajian BNPT. Sebelum belakangan dilaksanakan terfokus untuk mengukur Indeks Risiko Terorisme (IRT) di tiap-tiap provinsi, tiap-tiap FKPT sebelumnya juga diberikan anggaran untuk meneliti sejauh mana potensi radikalisme di wilayahnya.

FKPT Jawa Barat sempat dinobatkan sebagai yang terbaik di bidang ini setelah berhasil memetakan potensi terorisme yang masih sangat besar.

Hasil penelitian itu sejalan dengan serangkaian teror di Indonesia yang lokasi maupun pelaku aksinya rata-rata dari Jawa Barat.

Merespons hasil penelitian itu BNPT dan FKPT Jawa Barat sempat menggagas kegiatan bersifat prioritas, menjadikan kelompok-kelompok rentan sebagai sasaran kepesertaan. Namun sayang, dengan alasan tidak “secure” kegiatan dimaksud tidak pernah dijalankan hingga saat ini.  

Langkah kontrapropaganda yang dijalankan oleh BNPT sebagai bagian dari pencegahan juga tidak terdengar nyaring di masyarakat.

Ini bahkan bisa kita amati dengan mudah, akun-akun media sosial yang menyebarluaskan konten pendorong aksi terorisme lebih dominan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sementara kanal-kanal informasi yang dibangun BNPT mayoritas hanya berisikan pemberitaan atas kegiatan yang bersifat seremonial. 

Deradikalisasi

Pencegahan terorisme di BNPT juga dijalankan oleh Direktorat Deradikalisasi, yang menjadikan kelompok rentan sebagai sasaran. Mereka masuk ke dalam Lapas melakukan pendampingan terhadap pelaku yang tengah menjalani hukuman, menanamkan nasionalisme dan wawasan keagamaan yang moderat sebagai upaya penyadaran.

Selain itu pendampingan juga dilaakukan terhadap mantan narapidana dan keluarganya, termasuk lewat pemberian modal usaha sebagai bagian dari upaya merangkul kembali. 

Terorisme jika sudah merasuk ke dalam diri seseorang memang sulit dihilangkan. Itu pula yang dihadapi BNPT lewat program deradikalisasinya di dalam Lapas. Banyak pihak dilibatkan, tak terkecuali para ahli agama dari luar negeri, namun tetap banyak pula narapidana yang belum bisa disembuhkan.

Salah satunya adalah Agus Sujatno alias Agus Muslim, pelaku peledakan bom di Mapolsek Astana Anyar yang notabene sudah pernah menjalani pemidanaan di dalam Lapas.

Sementara di pendampingan terhadap mantan narapidana terorisme dan keluarganya, selentingan yang beredar pelaksanaannya berlangsung tidak merata dan terkesan diberikan terhadap kelompok “itu-itu saja”, sehingga memantik kecemburuan dan menghambat langkah pencegahan. 

Sinergisitas K/L

BNPT juga menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai leading sector penanggulangan terorisme di Indonesia sebagai amanat atas UU No.5 tahun 2020.

Salah satunya dijalankan lewat program Sinergisitas Kementarian dan Lembaga (K/L) Negara. Alih-alih menghasilkan dampak besar, sejak digagas pada tahun 2018 hingga saat ini program ini belum terdengar nyaring pelaksanaannya.

Salah satu kendala yang mengemuka adalah keengganan tiap-tiap K/L untuk urunan anggaran sebagaimana dikehendaki BNPT dengan alasan susah di pertanggungjawabannya, sehingga target yang ditetapkan tak kunjung tercapai.

Ironisnya, untuk mengesankan program ini sudah berjalan baik BNPT lagi-lagi justeru menggelar kegiatan bersifat seremonial bertajuk “Sinergisitas Award 2022”.

Dari 46 K/L plus Dewan Pers yang dilibatkan, beberapa di antaranya ditetapkan menjadi yang terbaik pada bidang tertentu, meski tidak jelas parameter pengukuran atas peran yang dijalankannya. 

Satu hal yang mestinya menjadi catatan BNPT, mereka yang terpapar radikalisme dan kemudian menjadi pelaku terorisme adalah yang memiliki sikap militan. Jika upaya pencegahan terus dilakukan di “zona nyaman”, tentu keamanan Negara yang dipertaruhkan. (*)

 

 

 

*) Samsul Hadi adalah peneliti isu radikalisme dan terorisme dari Institut Islam Nusantara, pernah bekerja sebagai staf di BNPT.  

 
Berita Terpopuler