Sejarah Planetarium dan Observatorium Jakarta yang Kini Masih Direvitalisasi

Planetarium dan Observatorium Jakarta bisa mendampingi pendidikan formal.

Republika/Shelbi Asrianti
Kondisi terkini Planetarium dan Observatorium Jakarta di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, yang masih dalam proses revitalisasi.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kala itu, 9 September 1964. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, melakukan pemancangan tiang Planetarium dan Observatorium Jakarta (POJ) di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, yang menjadi terobosan besar.

Baca Juga

POJ hadir untuk mendampingi pendidikan formal. Tujuannya waktu itu adalah untuk memperkuat kemampuan berpikir rasional agar bangsa Indonesia maju dan berkembang. Utamanya, terbebas dari takhayul yang telah menghalangi orang untuk mengerahkan ilmu, teknologi, dan seni sebagai nuansa berpikir luas dalam menghadapi berbagai permasalahan.
 
Dewan kehormatan seniman/budayawan yang tergabung dalam Akademi Jakarta menyampaikan bahwa sejak berdirinya, POJ telah berperan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan alam. Itu menjadi bagian dari membangun peradaban. 
 
Teater bintang di POJ pun menjadi daya tarik bagi pengunjung, di mana masyarakat bisa lebih dekat dengan astronomi dan ilmu antariksa. POJ juga merawat dan menjaga ruang belajar bersama, termasuk pembinaan siswa-siswa Indonesia untuk berbagai olimpiade sains.
 
Selain itu, POJ memfasilitasi pengerjaan tugas penelitian dan praktik kerja lapangan siswa dan mahasiswa, serta membina forum guru, kelompok ilmiah remaja, hingga himpunan astronomi. Aneka pengamatan fenomena astronomi mendatangkan ribuan warga ke POJ. 
 
Peran POJ lainnya yakni sebagai tempat melaksanakan peneropongan benda langit sebagai fungsi utama observatorium, termasuk penetapan hisab dan rukyat. Itu menjadi acuan sidang isbat Kementerian Agama dalam penentuan hari besar umat Islam.
 

 
Sayangnya, saat ini POJ belum difungsikan dengan optimal, karena masih dalam proses revitalisasi TIM. Teater bintang di POJ pun masih tutup dalam waktu yang belum ditentukan. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengomentari perubahan POJ.
 
Dia membandingkan dome POJ yang dulu dominan di kompleks TIM kini seolah tenggelam di antara bangunan gedung tinggi lain. Padahal, observatorium semestinya tidak boleh dikelilingi bangunan tinggi, sebab butuh ruang luas untuk melakukan observasi langit dengan maksimal.
 
Dome itu menurutnya bukan sekadar simbol, namun jadi fungsi utama. Menurut Satryo, penghargaan terhadap planetarium seolah sudah dimarjinalkan dengan dibangunnya berbagai macam gedung, berpotensi mempersempit dan menutup ruang pengamatan.
 
"Pertanyaannya, akan diapakan planetarium ke depan?" ujarnya.
 
Dalam pandangan Satryo, pengembangan planetarium secara optimal akan memiliki kekuatan tersendiri dan berdampak positif terhadap pembangunan. Mewakili AIPI, dia berharap kebijakan pemerintah atas POJ menggunakan basis saintifik dan fokus pada masyarakat, tidak atas pertimbangan ekonomi semata. 
 
"Kalau tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, atau mencederai, jangan dilakukan. Kami berusaha keras agar para pembuat kebijakan menyadari pentingnya sains untuk kepentingan publik," kata Satryo yang bertekad terus menggaungkan pentingnya planetarium.
 
Sebagai anggota Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), Muhammad Rezky punya banyak pengalaman di POJ. POJ menjadi tempat Rezky belajar astronomi dan galaksi, mencari referensi di perpustakaannya, menyimak ceramah kosmologi, serta mengamati bintang dan planet dari teleskop.
 
Menurut Rezky, sejak kehadirannya, POJ telah berkontribusi membangun komunitas saintifik yang terbuka bagi publik. Sangat disayangkan apabila "devitalisasi" POJ mengancam ruang diskusi ilmiah tersebut. "Perlu ada penetapan skema pengelolaan POJ dan mengembalikan fasilitas POJ yang hilang," ungkap Rezky.
 

 
Berita Terpopuler