Cerita Petani Cabai di Pakistan yang Merana Gara-Gara Perubahan Iklim

Cuaca yang mudah berubah menghancurkan cabai yang ditanam.

Tahta Aidilla/Republika
Cabai (ilustrasi). Cuaca yang mudah berubah menghancurkan cabai yang ditanam. Hal ini berdampak terhadap petani cabai di Pakistan.
Rep: Dwina Agustin Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, KUNRI -- Dekat Kunri, sebuah kota di Pakistan selatan yang dikenal sebagai ibu kota cabai Asia, petani Leman Raj mengaduk-aduk tanaman kering mencari cabai merah. Sebagian besar tanaman itu hancur. Dia masih memiliki harapan ada yang bisa diselamatkan.

Baca Juga

"Tanaman saya sangat panas, kemudian hujan mulai turun, dan cuaca berubah total. Sekarang karena hujan deras kami mengalami kerugian besar pada tanaman kami, dan inilah yang terjadi pada cabai," kata pria berusia 40 tahun itu memegang tanaman yang kering dan busuk. 

"Semua cabai telah membusuk," ujarnya. 

Banjir yang menghancurkan Pakistan pada Agustus dan September, akibat suhu tinggi selama beberapa tahun, telah membuat petani cabai berjuang untuk mengatasinya. Di negara yang sangat bergantung pada pertanian, kondisi iklim yang lebih ekstrem memukul ekonomi pedesaan dengan keras. Para pejabat telah memperkirakan kerusakan akibat banjir lebih dari 40 miliar dolar AS. 

Pakistan berada di peringkat keempat di dunia untuk produksi cabai, dengan 60.700 hektar pertanian menghasilkan 143.000 ton per tahun. Pertanian membentuk tulang punggung ekonomi Pakistan, membuatnya rentan terhadap perubahan iklim.

Sebelum banjir, suhu panas membuat cabai sulit tumbuh, yang membutuhkan kondisi yang lebih moderat. "Ketika saya masih kecil ... panasnya tidak pernah begitu kuat. Kami dulu memiliki panen yang berlimpah, sekarang menjadi sangat panas, dan hujan sangat jarang sehingga hasil panen kami berkurang," kata Raj.

Direktur Pusat Penelitian Zona Arid di Dewan Penelitian Pertanian Pakistan Dr Attaullah Khan mengatakan, gelombang panas selama tiga tahun terakhir telah mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai di daerah tersebut. Suhu itu menyebabkan penyakit yang menggulung daun dan menghambat pertumbuhannya.

Banjir sekarang menjadi tantangan baru... (bersambung halaman kedua)

Sekarang banjir menimbulkan serangkaian tantangan baru. "Datang ke perubahan iklim: bagaimana kita mengatasinya?" katanya. 

"Perencanaan harus dilakukan dalam skala yang sangat besar. Empat saluran air yang dulunya membawa (kelebihan) air ke laut harus dihidupkan kembali. Untuk itu kami harus mengambil beberapa keputusan yang sangat sulit ... tetapi kami tidak punya pilihan lain," ujarnya. 

Banyak petani mengatakan mereka telah menghadapi keputusan sulit. Saat banjir menggenangi lahan pertaniannya beberapa bulan lalu, petani Kunri Faisal Gill memutuskan untuk mengorbankan tanaman kapasnya demi menyelamatkan cabai.

"Kami membangun tanggul di sekitar ladang kapas dan memasang pompa, dan menggali lubang di tanaman cabai untuk mengumpulkan air dan memompanya ke ladang tanaman kapas, karena kedua tanaman itu ditanam berdampingan," kata Gill.

Menghancurkan tanaman kapas memungkinkan Gill untuk menghemat hanya 30 persen dari panen cabainya. Hasil ini lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sedangkan di pasar grosir cabai Kunri yang ramai Mirch Mandi, efeknya juga terasa. Meskipun gundukan cabai merah cerah memenuhi pasar, para pedagang mengatakan, ada penurunan besar pada tahun-tahun sebelumnya.

“Tahun lalu, saat ini, dulu ada sekitar 8.000 hingga 10.000 karung cabai di pasar,” kata pedagang Raja Daim.

 

“Tahun ini, sekarang bisa dilihat di sini hampir 2.000 kantong, dan ini adalah hari pertama dalam seminggu. Besok, dan lusa, itu akan menjadi lebih sedikit lagi,” katanya.

 
Berita Terpopuler