50 Negara Desak China Bebaskan Warga Uighur yang Ditahan

Laporan PBB menuduh China melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur.

ANTARA/M. Irfan Ilmie
Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China. Sebanyak 50 negara mendesak China pada Senin (31/10/2022) waktu setempat untuk menerapkan semua rekomendasi PBB. Laporan PBB menuduh China melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur dan kelompok etnis mayoritas Muslim lainnya.
Rep: Fergi Nadira B Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Sebanyak 50 negara mendesak China pada Senin (31/10/2022) waktu setempat untuk menerapkan semua rekomendasi PBB. Laporan PBB menuduh China melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur dan kelompok etnis mayoritas Muslim lainnya.

Rekomendasi laporan PBB meminta untuk mengambil langkah cepat untuk membebaskan semua orang yang dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang di provinsi barat Xinjiang. Duta Besar Kanada untuk PBB Bob Rae membaca pernyataan rekomendasi PBB itu pada pertemuan komite hak asasi manusia Majelis Umum.

Ia mengungkapkan, keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di China. Pertemuan itu juga mengungkapkan kegagalan Beijing untuk membahas temuan laporan tentang pelanggaran yang sedang berlangsung terhadap Uighur dan kelompok Muslim lainnya.

Penilaian dari kantor hak asasi manusia PBB yang berbasis di Jenewa dirilis pada menit terakhir masa jabatan empat tahun Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet pada 31 Agustus. Ini sebagian besar menguatkan laporan sebelumnya oleh para peneliti, kelompok advokasi dan media berita.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa China telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di bawah kebijakan anti-terorisme dan anti-ekstremisme. "Menyerukan perhatian mendesak dari PBB, komunitas dunia dan China sendiri untuk mengatasinya," kata laporan tersebut dikutip laman Washington Post, Selasa (1/11/2022).

Pernyataan dari 50 negara menyebut laporan itu sebagai penilaian independen dan otoritatif yang sangat bergantung pada catatan China sendiri. Laporan ini pun memberikan kontribusi penting terhadap bukti pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan sistematis yang ada di China.

"Mengingat beratnya penilaian laporan tersebut, negara-negara tersebut menyatakan keprihatinannya bahwa China sejauh ini menolak untuk membahas temuannya dan mendesak pemerintah untuk sepenuhnya menerapkan rekomendasi tersebut," kata pernyataan dari 50 negara.


Selain menyerukan pemenuhan rekomendasi untuk membebaskan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang, 50 negara mendesak China untuk mengklarifikasi nasib dan keberadaan anggota keluarga yang hilang dan mengatur kontak dan reuni yang aman.

50 negara yang menandatangani pernyataan tersebut adalah: Albania, Andorra, Australia, Austria, Belgia, Belize, Bulgaria, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, Denmark, Estonia, Eswatini, Finlandia, Prancis, Jerman, Guatemala, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Kepulauan Marshall, Monako, Montenegro, Nauru, Belanda, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Palau, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turkiye, Ukraina, Inggris, dan Amerika Serikat.

Pekan lalu, AS, Inggris, dan lainnya mengadakan pertemuan untuk menindaklanjuti laporan mantan komisaris tinggi yang mencakup duta besar PBB, pembela hak asasi manusia Uighur, penyelidik khusus PBB untuk hak-hak minoritas dan Human Rights Watch. Misi China di PBB mengirim surat kepada semua negara anggota PBB yang menyatakan “penentangan tegas” terhadap pertemuan tersebut dan sangat merekomendasikan agar mereka memboikot "acara anti-China ini."

 
Berita Terpopuler