Ada kalanya Hukum Nikah untuk Seseorang Bisa Saja tidak Sunnah, Ini Penjelasan Ulama

Hukum menikah pada dasarnya adalah sunnah yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW

Republika/Agung Supriyanto
Ilustrasi menikah. Hukum menikah pada dasarnya adalah sunnah yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Seluruh makhluk di alam semesta, termasuk manusia, diciptakan sesuai fitrahnya yaitu berpasangan-pasangan.

Baca Juga

Islam menghadirkan solusi terbaik untuk sepasang insan dengan disyariatkannya pernikahan. Lantas bagaimana hukum menikah dalam Islam?  

Diceritakan dalam salah satu riwayat dari sahabat Anas bin Malik RA, bahwa ada tiga orang sahabat yang mendatangi rumah Istri-istri Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah bertanya ihwal ibadah Nabi Muhammad SAW. 

Setelah disampaikan bagaimana dahsyatnya ibadah Nabi Muhammad SAW, para sahabat tersebut merasa tidak percaya diri. Hingga mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah SAW, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" 

Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan melaksanakan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, sungguh akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selama-lamanya." 

Baca juga: Pengakuan Mengharukan di Balik Islamnya Sang Diva Tere di Usia Dewasa

Tak lama, datanglah Rasulullah SAW. Mendengar perkataan mereka, Nabi SAW bersabda:

أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

"Kalian berkata (akan) begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga yang paling bertakwa. Namun aku berpuasa dan juga berbuka, aku sholat dan juga tidur, aku pun menikahi perempuan. Siapa saja yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku." (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa'i). 

Sekilas hadits di atas menggambarkan larangan seseorang untuk tidak menikah alias membujang, karena menikah merupakan "sunnah" Rasulullah SAW. 

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "sunnah" dalam hadits di atas adalah thariqah (jalan hidup), bukan sunnah yang merupakan lawan kata dari fardhu (wajib)sehingga, kata Ibnu Hajar, maksud dari perkataan Nabi SAW tersebut adalah:   

 

من ترك طريقتي وأخذ بطريقة غيري فليس مني

"Siapa yang membenci jalan hidupku, dan memilih jalan lain, maka ia bukan bagian dari umatku". (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 9, hal. 105) 

Sementara itu Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim bahwa maksud dari perkataan Nabi "Siapa saja yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku", bukan diperuntukkan bagi orang yang semata-mata tidak menikah. Melainkan orang yang membenci dan mengingkari anjuran menikah sebagai sunnah Nabi SAW.  

Sedangkan orang yang memang dianjurkan untuk menjomblo, tidak termasuk ke dalam celaan dan larangan ini. (An-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz 9, hal 176)  

Perincian keadaan seseorang yang dianjurkan  tetap menjomblo diterangkan Imam Nawawi dalam pendahuluan kitabnya, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab:

فإن مذهبنا أن من لم يحتج إلى النكاح استحب له تركه، وكذا إن احتاج وعز عن مؤنته.

"Bahwa prinsip kami, orang yang tidak merasa butuh untuk menikah, baginya dianjurkan membujang. Begitupun bagi yang sudah ngebet menikah, tetapi merasa belum mampu menafkahi." (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal  35) 

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, hukum menikah dalam Islam tidak hanya sunnah. Tetapi tergantung situasi dan kondisi masing-masing individu.  

Baca juga: Dihadapkan 2 Pilihan Agama Besar, Mualaf Anita Yuanita Lebih Memilih Islam

 

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu'in menjelaskan bahwa menikah hukumnya sunnah bagi lelaki taiq (yang membutuhkan nikah) dan mampu memikul biaya untuk mahar dan nafkah keluarga. 

Bagi orang taiq yang tidak mampu secara finansial untuk memberi mahar dan nafkah, hukumnya lebih utama untuk tidak menikah dahulu dan menahan gejolak syahwatnya dengan berpuasa. 

Sementara bagi orang tidak taiq dan tidak mempunyai biaya, makruh hukumnya menikah. Dan menikah bisa menjadi wajib jika dinazarkan. (Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu'in, hal. 444-445).

 

 

Sumber: mui 

 
Berita Terpopuler