Wajah Membiru Korban Meninggal Tragedi Kanjuruhan dan Temuan Gas Air Mata Kedaluwarsa

Polri akui ada gas air mata kedaluwarsa digunakan pada terjadi tragedi Kanjuruhan.

EPA-EFE/H. PRABOWO
Petugas polisi menembakkan gas air mata saat kerusuhan setelah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, 01 Oktober 2022 (dikeluarkan pada 02 Oktober 2022). Sedikitnya 131 orang termasuk polisi tewas dalam tragedi ini. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wilda Fizriyani, Bambang Noroyono, Flori Sidebang 

Baca Juga

Saat memberikan keterangan pers seusai penetapannya sebagai tersangka dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris meminta adanya pengusutan usut jenis gas air mata yang digunakan aparat. Pengusutan termasuk autopsi terhadap para korban meninggal yang dicurigainya akibat gas air mata.

"Saya mohon atas nama kemanusiaan. Saya tidak menunjuk siapa pun, atas nama kemanusiaan dari lubuk hati paling dalam, saya minta diperiksa gas air mata itu, gas air mata seperti apa," ucap Abdul Haris kepada wartawan di Kantor Arema FC, Kota Malang, Jumat (7/10/2022) malam. 

Abdul Haris teringat momentum yang nyaris sama saat Aremania terkena tembakan gas air mata pada sebuah laga Arema FC pada 2018 lalu. Saat itu, banyak Aremania yang bergeletakan, tetapi masih bisa bertahan dengan diberikan kipas dan air.

Namun, pada tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) lalu, pihak panpel mengaku tidak bisa melakukan tindakan apa pun terhadap korban. Bahkan, menurut Abdul Haris, banyak korban yang wajahnya membiru akibat gas air mata.

Melihat kondisi tersebut, Abdul Haris pun meminta para Aremania yang meninggal bisa diautopsi. Hal ini untuk memastikan penyebab kematian para Aremania karena gas air mata atau berhimpitan. Dia sangat memohon agar pihak berwenang bisa mengusut masalah tersebut.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengakui bahwa pihaknya telah menerima informasi mengenai penggunaan gas air mata kedaluwarsa dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan. Namun, Anam menyebut, masih harus dilakukan pendalaman terkait informasi tersebut.

"Ya jadi soal yang daluwarsa itu informasinya memang kita dapatkan, tapi memang perlu pendalaman," kata Anam dalam keterangannya di Jakarta, Senin (10/10/2022).

Meski demikian, menurut Anam, hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengusutan tragedi ini adalah mengenai dinamika di lapangan seusai laga pertandingan Arema FC melawa Persebaya. Ia mengungkapkan, pemicu utamanya, yakni penggunaan gas air mata yang menimbulkan kepanikan para suporter.

Sehingga, lanjutnya, banyak suporter dari Arema FC atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar dan berdesak-desakan dengan kondisi mata yang sakit, dada yang sesak, susah nafas, dan sebagainya. Sedangkan, pintu yang terbuka kecil. Akibatnya, mereka berhimpit-himpitan hingga mengakibatkan kematian.

"Jadi eskalasi yang harusnya sudah terkendali, kalau kita lihat dengan cermat itukan terkendali sebenarnya, itu terkendali, tapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Nah, gas air mata inilah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban," jelas Anam.

Selain itu, dia melanjutkan, hal yang tak kalah penting, yakni terkait kuota penonton dalam stadion tersebut, termasuk juga sistem pengawasannya. Ia menilai, hal tersebut menambah konteks dalam melihat tragedi di Stadion Kanjuruhan.

"Itu yang juga didalami. Karena tidak bisa kasus ini hanya dilihat sepotong-sepotong, dia harus lengkap. Termasuk juga pengawasan yang dilakukan oleh perangkat PSSI atau perangkat LIB yang datang dua hari sebelum hari H. Itu juga harus dilihat. Itu juga sedang kita dalami," tutur dia.

 

 

Mabes Polri telah mengakui adanya penggunaan gas air mata kedaluwarsa oleh kepolisian saat merespons eskalasi penonton dan suporter dalam tragedi Kanjuruhan. Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, tim penyidikan dari Puslabfor dan Inafis menemukan sejumlah tabung gas air mata dengan batas masa penggunaan tahun 2021.

“Ada beberapa yang ditemukan memang itu yang tahun 2021,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Senin.

Akan tetapi, Dedi memastikan, gas air mata kedaluwarsa tersebut tak mematikan. Pun kata Dedi meyakinkan, Polri mengacu pada pendapat para pakar pesenjataan, dan ahli kimia, serta profesor racun, yang menguatkan pendapat penggunaan gas air mata bukan penyebab kematian seseorang saat terjadi pengendalian massa oleh kepolisian.

Terkait dengan gas air mata kedaluwarsa, Dedi menerangkan, berbeda dengan bahan makanan. Menurut Dedi, gas air mata adalah produk kimiawi nonracun yang khusus, dan boleh digunakan oleh kepolisian dalam pengendalian, dan pengurai massa masif, serta anarkistis.

Gas air mata masuk dalam jenis persenjataan keamanan ringan yang penggunaannya, mengacu pada Protokol Jenewa 22/1993. Menurut Dedi, karena gas air mata adalah produk kimiawi nonracun, yang jika melewati batas waktu penggunaan, efektivitas dari dampak yang didapatkan akan semakin menurun.

Sebaliknya produk makanan, kata Dedi menerangkan, jika penggunaannya melewati batas waktu maka akan terjadi proses pembusukan yang menimbulkan cendawan, bahkan racun.

“Kalau makanan ketika kedaluwarsa, maka itu itu ada jamur, ada bakteri yang bisa mengganggu kesehatan. Kebalikannya dengan zat kimia, atau gas air mata ini, ketika ini dia kedaluwarsa, justeru kadar kimianya itu berkurang. Sama dengan efektivitasnya gas air mata ini, ketika ditembakkan dia tidak bisa lebih efektif lagi,” terang Dedi.

Dedi menerangkan, dalam kondisi untuk mengendalikan massa yang masif, kata Dedi, Polri menggunakan tiga jenis gas air mata. Termasuk pada saat pengendalian massa di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022).

Tiga jenis gas air mata tersebut, kata Dedi, pertama gas air mata dengan tabung berwarna putih. Jenis air mata tersebut, kata Dedi, mengacu standar pengamanan di kepolisian, akan dilontarkan ke massa yang sulit dikendalikan, namun tak terlalu masif, dan reaktif. 

“Yang ini (tabung putih), ketika dilontarkan, dan meledak hanya mengeluarkan smoking (asap) putih, dan tidak ada dampaknya sama sekali. Effect deterent-nya hanya asap putih,” ujar Dedi.

Lontaran gas air mata kedua, menggunakan tabung biru. “Itu dilakukan ketika massa sudah terlalu banyak dan mulai reaktif,” ujar Dedi.

Langkah ketiga, kata Dedi, gas air mata dilontarkan ketika satuan pengamanan menilai massa yang semakin banyak, dan mulai reaktif untuk melakukan aksi-aksi agresif. “Pada indikasi ini, ketika mulai anarkistis baru menggunakan gas air mata yang berwarna merah (tabung merah),” sambung Dedi.

Di Kanjuruhan, kata Dedi, satuan pengamanan dari kepolisian, menggunakan gas air mata dengan tiga jenis tersebut. Menurut dia, dari sebelas kali tembakan gas air mata ke arah tribun, paling banyak menggunakan tabung biru, dan merah.

Efek langsung dari penggunaan gas air mata tabung merah, Dedi menerangkan, memuncul ledakan yang memicu partikel-partikel keluar, yang jika mengenai mata, ataupun kulit akan mengalami iritasi ringan. Pun jika terhirup, akan menyebabkan sesak sesaat.  

Namun Dedi kembali memastikan, efek gas air mata tabung merah, dengan kadar kimia tertinggi sekalipun, tak menyebabkan kematian, atau hilang nyawa. “Sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah yang menyebutkan bahwa ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia. Karena di dalamnya gas air mata ini tidak ada toxic, atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang,” ujar Dedi.

 

 

Enam Tersangka Tragedi Kanjuruhan - (infografis republika)

 

 
Berita Terpopuler