Tak Semua Praktik Azimat Diharamkan, Bagaimana Penjelasannya? 

Azimat tidak boleh mengundung unsur syirik menyekutukan Allah SWT.

republika
Ilustrasi azimat dari ayat Alquran. Azimat tidak boleh mengundung unsur syirik menyekutukan Allah SWT
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Azimat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya. Bagaimana azimat dalam pandangan syariat? Bolehkah seorang Muslim menggunakan azimat?  

Baca Juga

Pakar fiqih yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, KH Musta'in Nasoha, mengatakan, mengamalkan doa-doa, hizib, dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT agar dilindungi dari bahaya dan semua kejelekan. 

"Jadi sebenarnya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya," kata kiai Musta'in kepada Republika.co.id beberapa hari lalu. 

Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa. Niscaya Allah SWT akan mengabulkan doa hambaNya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat Al Mu'min ayat 60. 

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”

Baca juga: Doa Mualaf Jodik Liwoso Mantan Misionaris: Jika Islam Benar Dekatkanlah   

Tentang kebolehan menggunakan azimat juga dapat ditemukan pada hadits nabi Muhammad SAW. 

عن عَوفِ بنِ مالِكٍ الأشجعيِّ رَضِيَ اللهُ عنه قال: كُنَّا نَرْقي في الجاهِليَّةِ، فقُلْنا: يا رَسولَ اللهِ، كيف ترى في ذلك؟ فقال: اعرِضُوا عليَّ رُقاكم، لا بأْسَ بالرُّقى، ما لم يكُنْ فيه شِرْكٌ

Diriwayatkan dari Auf bin Malik al Asyja’i, dia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan." (HR Muslim nomor 4079). 

Lebih lanjut, kiai Musta'in, menjelaskan, dalam kitab at-Thib an-Nabawi halaman 167 bahwa Imam Dzahabi menukil sebuah hadits dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya). Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan setan serta dari kedatangannya padaku. Maka setan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, dia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.” 

 

 

Dengan demikian, kata Kiai Musta'in hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Kendati demikian ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya hadits yang diriwayatkan dari  Abdullah bin Masud, dia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: 

إنَّ الرُّقى، والتَّمائِمَ، والتِّوَلَةَ: شِرْكٌ

“Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad nomor 3385). 

Namun menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani penulis Kitab Fath al-Barri Syarah Shahih Bukhari mengatakan bahwa keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Alquran atau yang semisalnya. 

Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil berkah serta minta perlindungan dengan nama Allah SWT atau dzikir kepada-Nya. Keterangan ini dapat ditemukan pada kita Faidhul Qadir juz 6 halaman 180-181. 

"Inilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat," kata Kiai Musta'in. 

Imam Al-Marruzi berkata seorang perempuan mengadu kepada Imam Ahmad bin Hanbal bahwa dia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri basmalah, surat al Fatihah dan mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas). 

Imam Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muhammad Rasulullah, dan surat Al Anbiya ayat 69-70. 

Abu Dawud menceritakan bahwa dirinya  melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil. Begitupun Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis surat Hud ayat 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya). 

Namun demikian Kiai Musta'in mengatakan tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Di antaranya yakni azimat harus  menggunakan kalam Allah SWT, sifat Allah, asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW. 

 

Azimat ditulis menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja. Keterangan ini dapat ditemukan pada Kitab al-Ilaj bir Ruqa minal Kitab was Sunnah halaman 82-83.   

 
Berita Terpopuler