Air Mata dan Respek Penuh Buya Hamka di Puncak Ketegangan dengan Kiai Farid  

Buya Hamka menaruh rasa hormat yang tinggi kepada sosok KH Farid Ma’ruf.

Google.com
Buya Hamka. Ilustrasi. Buya Hamka menaruh rasa hormat yang tinggi kepada sosok KH Farid Ma’ruf
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu kiai Muhammadiyah yang memiliki jaringan global dan bertaraf internasional adalah Prof Mayjen KH Farid Ma’ruf. Sejak masih muda, ia sudah banyak berkunjung ke luar negeri, yang kebanyakan untuk kepentingan pendidikan.

Baca Juga

Setidaknya, ada 18 negara yang sudah dikunjungi olehnya, termasuk Kota Makkah dan sejumlah negara di Eropa.

Selain itu, Kiai Farid Ma’ruf juga turut berjuang di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Bahkan, ia harus mendekam di penjara.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, ia pun terlibat dalam gerakan politik Islam pada era pemerintahan Presiden Soekarno dan beperan dalam bidang pendidikan, sehingga ia dimasukkan dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi.

Di kalangan Muhammadiyah ada saja kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah menjadi partai politik atau menentukan arah politiknya saat pemilihan umum.

Di samping itu, ada juga kelompok yang tetap menghendaki agar Muhammadiyah tidak ikut politik praktis, apalagi menjadi partai politik.

KH Farid Ma'ruf termasuk tokoh Muhammadiyah yang memilih untuk terjun langsung ke dunia politik. Kendati demikian, secara organisasi ia tetap tidak ingin membawa Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis. 

Dalam hal ini, Kiai Farid Ma'ruf pun sempat terlibat perdebatan dengan Prof Abdul Malik Karim Amrullah atau yang populer dengan nama Buya Hamka.

Perdebatan itu berawal dari kehebohan yang terjadi di lingkungan Muhammadiyah pada 1960. Saat itu, salah satu tokoh Muhammadiyah, Moelyadi Djoyomartono diangkat  Presiden Soekarno menjadi Menteri Sosial.

Padahal, hubungan Muhammadiyah dengan Bung Karno sedang memburuk menyusul pembubaran Masyumi.

Baca juga: Dulu Panas Dengar Alquran, Mualaf Veronica Bersyahadat Justru Berkat Surat Al Fatihah 

Akhirnya, terjadilah pro dan kontra. Kiai Farid Ma’ruf mendukung Moelyadi menjadi Mensos. Namun, yang tidak setuju menganggap bahwa Muhammadiyah sudah bertekuk lutut di kaki Presiden Soekarno. Puncaknya, Buya Hamka menulis di harian Abadi berjudul Maka Pecahlah Muhammadiyah.

Dalam tulisannya, Buya Hamka menyatakan bahwa ada dua golongan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu golongan istana dan luar istana. 

Buya Hamka menyebut Kiai Farid Ma’ruf sebagai golongan istana karena berusaha membawa Muhammadiyah ke Istana. Akibatnya, sebagian besar orang Muhammadiyah menyudutkan Kiai Farid Ma’ruf dan Moelyadi. 

Dalam Sidang Tanwir di Gedoeng Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu kemudian, Buya Hamka dipersilakan untuk tampil ke mimbar untuk mengklarifikasi soal tulisannya. Setelah Buya Hamka maju ke mimbar, tiba-tiba pelupuk mata Hamka dipenuhi air mata.

Dengan suara tersendat, Hamka menjelaskan bahwa semua yang ditulis di Harian Abadi tersebut bermaksud baik dan didorong oleh cintanya kepada Muhammadiyah. 

Namun, jika tulisannya itu menyinggung perasaan Kiai Farid Ma’ruf yang sangat dicintainya, Buya Hamka menyatakan sangat menyesal, memohon ampun dan maaf kepada Kiai Farid Ma’ruf.

Setelah Buya Hamka, Kiai Farid Ma’ruf pun tampil di mimbar sembari membawa map berisi berkas-berkas. Karena, ia mengira dalam forum itu Buya Hamka akan menyerangnya bertubi-tubi. 

Namun, ternyata Buya Hamka justru tidak menyerangnya, tapi malah minta ampun kepadanya di depan umum.

Dengan suara datar dan wajah tenang, Kiai Farid Ma’ruf kemudian juga menjelaskan bahwa kesediaan Moelyadi menerima jabatan Menteri Sosial itu juga demi Muhammadiyah, untuk membantu amal sosial Muhammadiyah. 

Karena, menurut Kiai Farid, kondisi saat itu masih tetap diperlukan adanya kerjasama antara Muhammadiyah dan pemerintah.

Pada intinya, perdebatan antara Kiai Farid dengan Buya Hamka sebenarnya sama-sama didorong niat baik. Namun, jika pendirianya dinyatakan salah dan dikhawatirkan membawa Muhammadiyah ke Istana, Kiai Farid Ma’ruf juga siap untuk mengundurkan diri. Ia berkata, “Maka dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat ….”

Namun, belum selesai kalimat itu diucapkan, Buya Hamka tiba-tiba berdiri dan mengacungkan tangan. “Pimpinan! jangan saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka yang harus mundur….”.

Mendengar itu, Kiai Farid Ma’ruf pun menghentikan pidatonya. Ia lalu turun menuju Buya Hamka. Hamka pun menyongsong Kiai Farid. Keduanya lalu berpelukan dengan air mata bercucuran. 

 

Semua tertegun dan disusul dengan ucapan hamdalah, tepuk tangan, dan bahkan ada yang bertakbir. Persoalan pun selesai. Sidang Tanwir dilanjutkan untuk membicarakan agenda lain. Setelah itu muncul berita di harian Abadi berjudul, Muhammadiyah Tidak Pecah!     

 
Berita Terpopuler