Medical Gaslighting Bisa Rugikan Pasien, 7 Perlakuan Ini Tanda Dokter Anda Melakukannya

Gaslighting bisa merugikan kesehatan pasien.

Republika/Prayogi
Stetoskop dokter. Medical gaslighting bisa merugikan pasien.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena gaslighting ternyata tak hanya bisa ditemukan dalam hubungan personal, tetapi juga dalam hubungan dokter dan pasien. Perilaku gaslighting di dunia medis patut diwaspadai karena bisa membawa konsekuensi merugikan bagi kesehatan pasien.

"Gaslighting medis merupakan istilah yang belakangan ini digunakan untuk menggambarkan (situasi) ketika penyedia layanan kesehatan tak memedulikan kekhawatiran, perasaan, atau keluhan pasien," jelas asisten profesor dari Center for Medical Ethics and Health Policy di Baylor College of Medicine, Faith Fletcher, seperti dilansir Insider, Selasa (30/8/2022).

Menurut Fletcher, gaslighting medis kerap didasarkan pada bias tak disadari mengenai ras atau jenis kelamin pasien. Tak jarang, fenomena gaslighting medis berakar dari rasisme, seksisme, hingga class oppression atau penindasan berdasarkan kelas yang ada di suatu sistem layanan kesehatan.

Fletcher dan beberapa dokter lain mengungkapkan bahwa ada tujuh tanda yang dapat menunjukkan bahwa seorang dokter melakukan gaslighting medis terhadap pasiennya. Berikut ini adalah ketujuh tanda tersebut beserta konsekuensinya bagi kesehatan pasien.

1. Memotong pembicaraan
Ahli kode etik dokter dari Stanford University, Dr Alyssa Burgart, mengungkapkan bahwa salah satu tanda seorang dokter melakukan gaslighting adalah memotong pembicaraan pasien. Menurut sebuah studi berskala kecil pada 2018, dokter rata-rata menyela pembicaraan pasien hanya dalam waktu 11 detik setelah pasien mulai bicara.

Baca Juga

Hal tersebut akan menyulitkan pasien untuk benar-benar menjelaskan masalah apa yang mereka alami hingga mereka datang ke fasilitas layanan kesehatan. "Sebagai tambahan, ketika klinisi memotong pembicaraan pasien, itu menunjukkan bahwa waktu mereka lebih berharga dibandingkan waktu pasien," jelas Dr Burgart.

2. Menyudahi pertemuan secepat mungkin
Dr Burgart mengungkapkan bahwa para penyedia layanan kesehatan bekerja di bawah tekanan yang signifikan. Namun, hal tersebut tak sepatutnya menjadi alasan bagi para dokter untuk terlalu bergegas dalam menyelesaikan sesi konsultasi dengan pasien. Ketergesaan ini dapat membuat dokter melewatkan rincian gejala atau rekam medis pasien yang penting.

Sebenarnya, tak ada durasi yang ideal untuk konsultasi dokter. Dr Burgart menilai, yang terpenting adalah membuat pasien merasa didengarkan serta dilibatkan dalam memilih beragam opsi terapi.

3. Tidak mendiskusikan gejala
Terkadang, dokter menolak untuk berdiskusi mengenai gejala yang dialami oleh pasien. Bahkan, dokter mungkin akan mengabaikan keluhan tersebut karena dianggap tidak penting.

Dr Burgart mengatakan, tak terciptanya diskusi dua arah mengenai gejala yang dialami pasien dapat memicu terjadinya misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis. Studi pada 2020 menemukan bahwa satu dari tujuh pertemuan pasien-dokter melibatkan satu kesalahan diagnostik. Sekitar 75 persen dari kesalahan ini dipicu oleh faktor kognitif dalam pengambilan keputusan, misalnya terlalu percaya diri dengan diagnosis yang keliru.

4. Membiarkan bias pengaruhi diagnosis
Adanya bias yang tak disadari, seperti rasisme dan misogini, bisa membuat penyedia layanan kesehatan membuat kesalahan dalam menegakkan diagnosis. Kesalahan diagnosis ini tentu dapat membawa dampak merugikan bagi kesehatan pasien.

Ulasan pada 2017 misalnya, menemukan bahwa bias yang dimiliki oleh penyedia layanan kesehatan memicu terjadinya penurunan kualitas layanan. Selain itu, studi pada 2020 menemukan bahwa diagnosis penyakit kanker kulit, penyakit Lyme, dan fibrosis kistik pada orang berkulit hitam lebih lama ditegakkan dibandingkan pada orang berkulit putih.

Studi pada 2019 juga menemukan bahwa orang berkulit hitam lebih sering menerima diagnosis skizofrenia yang keliru. Lebih lanjut, studi pada 2014 menemukan bahwa wanita lebih sering mengalami misdiagnosis dibandingkan pria setelah mengalami strok.

5. Meremehkan keluhan pasien
Sebagian pasien mungkin pernah menerima komentar seperti "itu hanya perasaan Anda saja" ketika sedang menyampaikan keluhan gejala kepada dokter. Terkadang, dokter mungkin akan mendiagnosis pasien dengan masalah kesehatan mental, alih-alih mencoba mencari tahu lebih lanjut mengenai potensi masalah fisik yang dialami pasien.

Situasi ini lebih umum dialami oleh wanita dibandingkan pria. Menurut survei pada 2014, sebanyak 84 persen dari sekitar 2.400 wanita dengan keluhan nyeri kronis merasa mereka diperlakukan berbeda karena mereka berjenis kelamin wanita.

6. Mempertanyakan kejujuran pasien
Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh pasien dengan keluhan alergi yang menggunakan banyak obat. Tak jarang, dokter menuliskan keterangan bahwa pasien tidak jujur atau sulit untuk dihadapi.

Dr Burgart mengatakan, alergi bisa memiliki keterkaitan dengan depresi dan kecemasan. Namun, beberapa dokter cenderung bersikukuh bahwa pasien hanya mengalami kecemasan atau depresi, dan menilai bahwa alergi yang dikeluhkan oleh pasien itu tidak nyata atau hanya perasaan saja. Mereka tidak mempertimbangkan komponen imunologi terhadap kesehatan mental.

7. Tidak memberikan opsi pengobatan
Dokter tentu merupakan sosok yang ahli di bidangnya. Namun, pasien tetap memiliki hak untuk berpendapat mengenai terapi pengobatan yang akan mereka jalani. Pasien juga berhak untuk menerima penjelasan mengenai proses terapi mereka.

Di Amerika Serikat, Fletcher mengatakan situasi ini kerap dialami oleh pasien yang bergelut dengan masalah nyeri dan penggunaan obat nyeri. Sebagian dokter cenderung berasumsi bahwa pasien-pasien tersebut hanya orang yang memanfaatkan sistem untuk mendapatkan obat pereda nyeri seperti opioid.

Berdasarkan analisis meta selama 20 tahun, pasien hispanik dan latina memiliki kemungkinan 22 persen lebih rendah untuk menerima obat nyeri opioid dibandingkan pasien berkulit putih. Sedangkan pasien berkulit hitam memiliki kemungkinan 22 persen lebih rendah untuk menerima obat nyeri apa pun dibandingkan pasien berkulit putih.

 
Berita Terpopuler