Pasukan Irak Bentrok dengan Pendukung Muqtada al-Sadr, 15 Orang Tewas

Kerusuhan di Baghdad ini terjadi setelah al-Sadr umumkan pengunduran diri.

AP Photo/Hadi Mizban
Pendukung ulama Syiah Muqtada al-Sadr memasuki Istana Pemerintah selama demonstrasi di Baghdad, Irak, Senin, 29 Agustus 2022. Al-Sadr, seorang ulama Syiah yang sangat berpengaruh mengumumkan ia akan mengundurkan diri dari politik Irak dan para pengikutnya yang marah menyerbu istana pemerintah sebagai tanggapan. Kekacauan Senin memicu kekhawatiran bahwa kekerasan bisa meletus di negara yang sudah dilanda krisis politik terburuk dalam beberapa tahun.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Bentrokan antara pendukung ulama Syiah Irak Muqtada al-Sadr dengan pasukan keamanan di negara tersebut telah menyebabkan sedikitnya 15 orang tewas. Kerusuhan yang berlangsung di Baghdad terjadi setelah al-Sadr mengumumkan menarik diri dari aktivitas politik, Senin (29/8/2022).

Baca Juga

Setelah mengumumkan mundur dari kegiatan politik, ratusan pendukung dan simpatisan al-Sadr menyerbu istana pemerintah. Mereka merobohkan penghalang semen di luar istana dengan menggunakan tali. Setelah itu, mereka menerobos gerbang istana. Para simpatisan al-Sadr pun terlibat bentrok dengan pasukan keamanan.

Bentrokan antara para pendukung al-Sadr dan pasukan keamanan juga terjadi di dalam Zona Hijau atau Green Zone yang dijaga ketat pada Senin malam. Zona Hijau merupakan pusat pemerintahan Irak sekaligus tempat gedung kedutaan-kedutaan asing berada. Menurut beberapa pejabat, saat bentrokan berlangsung, terdengar beberapa kali ledakan mortir.

Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) turut terlibat dalam menghadapi massa pendukung al-Sadr di Zona Hijau Baghdad. PMF adalah kelompok payung yang terdiri dari kelompok-kelompok paramiliter yang disetujui negara. Pejabat medis mengungkapkan, puluhan pengunjuk rasa terluka akibat tembakan dan gas air mata. Setidaknya 15 orang sudah dilaporkan tewas dalam bentrokan.

Perdana Menteri Sementara Irak Mustafa al-Kadhimi mengatakan, dia akan membuka penyelidikan atas insiden penembakan terhadap pengunjuk rasa. Dia menegaskan bahwa penggunaan amunisi hidup terhadap demonstran dilarang.

Pada Senin lalu, Muqtada al-Sadr mengumumkan bahwa dia akan berhenti dari aktivitas politik. Langkah itu sebagai respons atas kebuntuan politik yang pelik dan berkepanjangan di negara tersebut. “Dengan ini saya mengumumkan penarikan terakhir saya,” kata al-Sadr dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Twitter resminya.

 

Dia secara terbuka mengkritik sesama pemimpin politik Syiah karena gagal mengindahkan seruannya untuk reformasi. Al-Sadr tak menjelaskan tentang penutupan kantornya. Namun dia mengungkapkan bahwa lembaga budaya dan agama akan tetap buka atau beroperasi. Partai al-Sadr, Blok Sadris, memenangkan kursi terbesar di parlemen dalam pemilu yang digelar Oktober tahun lalu. 

Namun pada Juni lalu, dia menarik semua anggota partainya dari parlemen. Hal tersebut dilakukan setelah al-Sadr gagal membentuk pemerintahan pilihannya yang akan mengecualikan pesaingnya yang disokong Iran.

Setelah menarik semua anggota partainya dari parlemen, para pendukung al-Sadr menyerbu zona pemerintah pusat Baghdad. Sejak momen tersebut, mereka menduduki gedung parlemen. Proses pemilihan presiden dan perdana menteri baru pun terhenti. Selama 10 bulan terakhir, tak ada pemerintahan terpilih di Irak.

Saat ini al-Sadr menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilu dini. Dia mengatakan, tak ada politisi yang telah berkuasa sejak invasi Amerika Serikat (AS) tahun 2003 dapat memperoleh atau memegang jabatan. Sekutu al-Sadr, yakni Mustafa al-Kadhimi, masih tetap menjabat sebagai perdana menteri sementara.

Mundurnya al-Sadr dari aktivitas politik diprediksi akan semakin memperumit situasi politik di Irak. Al-Sadr adalah putra keempat dari Imam Syiah Irak Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr. Hingga 2004, dia merupakan penguasa de facto bagian kota Sadr, Baghdad. Ia pun mengepalai pasukan Tentara Mahdi.

 

Sejak berhasil mengalahkan ISIS pada 2017, Irak telah berjuang untuk pulih. Namun perebutan kekuasaan antara partai-partai politik di sana menghambat proses tersebut. Irak merupakan produsen terbesar kedua Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). 

 
Berita Terpopuler