Pemerintah Diminta tak Lupakan Efek Kenaikan BBM 17 Tahun Lalu

Kenaikan inflasi akibat harga BBM akan menimbulkan kelompok miskin bertambah.

Republika/Thoudy Badai
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (29/8/2022). Pemerintah berencana menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis BBM Pertalite dan Solar bersubsidi. Republika/Thoudy Badai
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Febrianto Adi Saputro, Novita Intan, Antara

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dipastikan akan berdampak pada kenaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan pemerintah untuk belajar dari kenaikan harga BBM di tahun 2005.

Kepala BPS Margo Yuwono di Jakarta, Selasa (30/8/2022), mengatakan 17 tahun lalu pemerintah menaikkan harga bensin hingga 87,5 persen dan solar 104 persen. Akibatnya saat itu terjadi inflasi tinggi yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Hal tersebut disampaikan Margo dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah di kantor Kemendagri.

Dia melanjutkan, inflasi tersebut membuat konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi menurun dari 4 persen ke 3,2 persen. "Jadi ini perlu mendapatkan perhatian kita semua jangan sampai inflasi tinggi di masing-masing daerah dan menggerus daya beli sehingga ekonomi turun signifikan karena pengaruhnya kepada konsumsi pemerintah," katanya.

Kenaikan BBM pasti akan berdampak pada peningkatan harga barang yang berpotensi melemahkan daya beli masyarakat hingga timbulnya kemiskinan. "Jadi pertumbuhan ekonomi kita 56 persen disumbang konsumsi rumah tangga. Kalau ada inflasi tinggi dan menggerus pengeluaran rumah tangga maka dampak besar ke pertumbuhan ekonomi," kata

Margo juga mengingatkan bahwa peningkatan inflasi yang bisa disebabkan oleh kenaikan harga BBM berdampak pada bertambahnya angka kemiskinan secara nasional. Dia mengatakan, pemerintah di masa lalu sempat menaikkan BBM hingga memicu peningkatan inflasi ke angka 17 persen dan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan menjadi 17,7 persen.

Menurutnya, upaya pemerintah saat ini sudah bagus dalam menumbuhkan ekonomi sambil menekan angka kemiskinan di bawah satu persen. Namun, dia meminta agar jangan ada salah kebijakan sehingga pemerintah tidak bisa mengendalikan harga di masing-masing daerah yang bisa berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan memberikan efek sosial secara luas.

"Penting mengendalikan harga energi menjadi catatan penting supaya tidak memberikan impact kepada inflasi," katanya.

Pemerintah kemarin sudah mengumumkan sejumlah bantalan bagi kelompok masyarakat yang paling akan terdampak efek kenaikan harga BBM. Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan skema subsidi energi yang tepat sasaran untuk golongan masyarakat tidak mampu mendesak untuk diterapkan. Karena jika tidak, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan terus membengkak dan membebani keuangan negara.

Besarnya konsumsi BBM bersubsidi oleh kalangan mampu disebabkan mekanisme subsidi saat ini bersifat terbuka dan diberikan ke produk energi. "Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan," ujar dia.

Fakta tidak tepatnya sasaran subsidi energi khususnya BBM disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu. Subsidi solar yang beredar di pasar 89 persen dinikmati oleh dunia usaha. Untuk BBM penugasan jenis Pertalite, subsidinya dinikmati oleh 86 persen kalangan mampu.

Akibat subsidi yang tidak tepat sasaran itu, lanjut Josua, kuota BBM bersubsidi terus tersedot dan berimplikasi pada bertambahnya anggaran subsidi dari pemerintah. Kondisi tersebut bertambah parah di tengah kenaikan harga minyak dunia yang masih bertahan di atas 90 dolar AS per barel, jauh di atas asumsi makro pada APBN 2022 sebesar 63 dolar AS per barel.

Melihat kondisi tersebut, Josua menyarankan pemerintah untuk beralih ke penetapan nilai subsidi tetap, sehingga harga pasar dari BBM dapat berfluktuasi menurut pergerakan harga minyak dunia. Dengan jumlah subsidi yang dipatok tetap, maka anggaran subsidi pada APBN tidak berfluktuasi.

Kebijakan ini perlu diperkuat dengan fleksibilitas anggaran untuk perlindungan sosial. Tujuannya untuk meningkatkan anggaran perlindungan sosial sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.

"Dengan kebijakan ini, kami menilai alokasi anggaran akan lebih tepat sasaran ke masyarakat paling rentan yang terdaftar sebagai penerima perlindungan atau bantuan sosial," kata Josua.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah perlu terus memperkuat data penerima yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi melalui digitalisasi. Ke depan, dengan posisi data penerima yang berhak sudah lengkap, pemerintah dapat secara perlahan menaikkan harga minyak ke harga pasar atau memberikan subsidi namun dengan jumlah yang tetap sehingga kesehatan anggaran dapat terjaga.

Dia menambahkan, usulan mekanisme pembatasan BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina cukup baik dan dapat membatasi jumlah pemakaian oleh orang kaya. Melalui digitalisasi, aplikasi MyPertamina dapat membatasi jumlah konsumsi per kendaraan, begitu pula dengan jenis kendaraan yang dapat mengkonsumsi BBM bersubsidi.

"Pertamina perlu meningkatkan koordinasi dengan Korlantas Polri terkait dengan data kendaraan per plat nomor, serta matching data kependudukan dan kemiskinan yang bisa bekerjasama dengan TNP2K ataupun Kemensos dan Kemendagri. Dengan demikian, BBM bersubsidi dapat disalurkan tepat sasaran," kata dia.

Josua berpendapat, jika melihat kondisi psikologis masyarakat saat ini, angka psikologis harga BBM berada di level Rp 10 ribu untuk dapat mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi dalam APBN tidak bengkak menjadi Rp 700 triliun, atau tetap Rp 502,6 triliun.

"Dari sisi daya beli, kami menghitung direct impact kenaikan Pertalite 30,72 persen ke inflasi (proporsi Pertalite 80 persen dari total bensin) sebesar 0,93 persen. Untuk indirect impact, kami perkirakan akan sebesar setengah dari direct impact atau sekitar 0,47 persen," ujar Josua.

Josua mengingatkan yang juga penting adalah upaya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi bisa dilakukan apabila payung hukum dari pemerintah sudah ada. Sehingga, revisi Perpres terkait pengendalian BBM bersubsidi perlu segera diterbitkan oleh pemerintah mengingat kuota BBM bersubsidi diperkirakan habis pada Oktober atau November 2022.





Baca Juga

Pemerintah memastikan ketersediaan anggaran tambahan bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun pada tahun ini. Anggaran tambahan bantuan sosial tidak akan mengurangi anggaran subsidi BBM senilai Rp 502,4 triliun pada 2022.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menekankan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk memberikan bantuan langsung tunai tersebut bukan dari anggaran subsidi BBM. “Saya pastikan anggaran bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. Jadi memang anggaran subsidi itu sudah ada Rp 502,4 triliun, itu bansos ada anggarannya sendiri,” ujarnya saat konferensi pers, kemarin.

Isa menjelaskan dana bansos senilai Rp 24,17 triliun berasal dari tambahan anggaran sebesar Rp 18,6 triliun dari DPR pada 19 Mei lalu dan cadangan lain, sehingga total keseluruhan sekitar Rp 22 triliun. Kemudian sisanya Rp 2 triliun lainnya merupakan earmarking dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), sehingga total anggaran bansos khusus BLT yang akan diberikan dalam waktu dekat sebesar Rp 24,17 triliun.

“Kita mendapatkan tambahan bansos yang telah disetujui DPR senilai Rp 18,6 triliun waktu itu. Kemudian dari cadangan lain kita bisa tambahkan, sehingga Rp 22 triliun,” jelasnya.

“Kemudian akan dimintakan Kemendagri untuk menginstruksikan kepada pemerintah daerah agar digunakan untuk membantu masyarakat menghadapi masalah kenaikan pangan dan energi,” katanya.

Menurutnya pemerintah ingin memastikan masyarakat terutama masyarakat rentan dan miskin untuk mendapatkan pertolongan, dengan atau tanpa kenaikan harga BBM nantinya. “Saya pastikan anggaran bansos itu bukan anggaran subsidi. Jadi anggaran subsidi sudah ada Rp 502,4 triliun, dan tambahan bansos ada anggarannya sendiri,” ucapnya.

Adapun penyaluran tambahan bantuan sosial senilai Rp 24,17 triliun akan dilakukan melalui program yang didesain dan diberi nama oleh masing-masing pemerintah daerah, baik disalurkan bagi penyedia angkutan umum, nelayan, maupun masyarakat rentan lain.

Sementara Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp 12,4 triliun bagi 20,65 juta masyarakat diberikan kepada masyarakat penerima manfaat program keluarga harapan (PKH). “Kita lihat belakangan harga pangan dan energi naik, jadi di sini menjadi perhatian pemerintah dan Presiden Jokowi untuk merespons ini karena rakyat tidak mungkin dibiarkan bertahan sendiri,” ucapnya.

Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama mengingatkan pemerintah untuk tidak boros dalam penggunaan dana APBN. Kenaikan harga BBM disebut-sebut lantaran subsidi BBM membebankan APBN.

Ia menyayangkan pemerintah justru menggunakan dana APBN untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Ia merinci, Kementerian PUPR secara bertahap telah mengalokasikan anggaran pada 2022-2024 sebesar Rp 43,73 triliun yang nantinya digunakan untuk pembangunan prasarana dasar IKN, istana dan komplek perkantoran.

Rincian penggunaan anggaran untuk IKN tersebut adalah pada Tahun Anggaran (TA) 2022 sebesar Rp 4,07 triliun, di TA 2023 sebesar Rp 20,48 triliun, dan pada TA 2024 direncanakan sebesar Rp 18,18 triliun.

"Penggunaan dana APBN secara besar-besaran untuk membangun IKN membuktikan kekhawatiran Fraksi PKS sejak awal bahwa proyek IKN hanya akan membebani APBN dan tujuan pemerataan yang diharapkan tidak akan tercapai," kata Suryadi dalam keterangan tertulisnya.

Ia mengungkapkan total anggaran KemenPUPR TA 2023 diperkirakan sebesar Rp 125,22 Triliun, di mana sebesar Rp 20,48 triliun dialokasikan khusus untuk IKN. Sehingga dengan demikian pada TA 2023 sekitar 16,57 persen dari total anggaran KemenPUPR hanya diperuntukkan untuk satu kota kecil seukuran IKN yang diperkirakan hanya akan dihuni sekitar 1,9 juta orang.

Sedangkan sisa anggaran KemenPUPR TA 2023 jika disebar secara merata ke seluruh provinsi di Indonesia, maka masing-masing provinsi hanya akan mendapatkan sekitar Rp 2,8 triliun saja atau hanya 2,25 persen dari total anggaran KemenPUPR TA 2023. Suryadi menambahkan, perbandingan lainnya dapat dilihat dari segi anggaran padat karya yang hanya naik sedikit saja dari TA 2022 sebesar Rp 13,64 triliun menjadi Rp 14,34 triliun pada TA 2023.

"Dibandingkan dengan anggaran padat karya pada TA 2021 sebesar Rp 24,27 triliun, maka anggaran padat karya TA 2023 turun 40 persen dari anggaran padat karya TA 2021," ungkapnya.

"Fraksi PKS mengingatkan agar pembangunan IKN ini tidak menimbulkan kesenjangan baru, di mana hanya satu wilayah saja yang mendapatkan perhatian besar sedangkan wilayah Indonesia lainnya tidak mendapatkan perhatian yang sama besarnya. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan awal pemindahan IKN yaitu untuk pemerataan," katanya.

Postur Rancangan APBN 2023. - (Tim Infografis Republika.co.id)




 
Berita Terpopuler