Perubahan Iklim Sebabkan Penyakit Jadi Lebih Buruk dan Sistem Kekebalan Tubuh Melemah

Studi temukan lebih dari 58 persen penyakit jadi lebih buruk karena perubahan iklim

www.freepik.com.
menyebutkan lebih dari 58 persen penyakit menjadi lebih buruk karena perubahan iklim dan sistem tubuh pun ikut melemah. Ilustrasi.
Rep: Ali Mansur Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hasil penelitian dari peneliti di Universitas Hawaii Mamoa yang diterbitkan di Nature Climate Change menyebutkan lebih dari 58 persen penyakit menjadi lebih buruk karena perubahan iklim. Perubahan iklim ini termasuk pemanasan, kekeringan, gelombang panas, kebakaran hutan, curah hujan ekstrem, banjir, badai, kenaikan permukaan laut, perubahan biogeokimia, dan perubahan tutupan lahan.

Baca Juga

Disadur dari Euronews pada Jumat (12/8/2022), dengan menganalisis lebih dari 70 ribu makalah ilmiah para ilmuwan menemukan semua peristiwa iklim ekstrem yang dibuat lebih umum dan lebih parah oleh pemanasan global memiliki pengaruh pada penyakit yang dipicu oleh virus, bakteri, hewan, jamur, dan tanaman. Dari 375 penyakit yang dianalisis, 218 terbukti dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa bahaya terkait perubahan iklim membawa patogen lebih dekat ke manusia, dengan suhu yang lebih hangat dan lingkungan yang lebih lembap. Peningkatan curah hujan mendukung perkembangbiakan nyamuk, kutu, kutu, burung, dan mamalia yang menyebabkan penyebaran beberapa virus dan bakteri seperti demam berdarah, wabah, penyakit Lyme, dan malaria.

Populasi nyamuk, khususnya, telah menemukan tempat berkembang biak setelah banjir dan badai. Lalu pada gilirannya menyebabkan peningkatan patogen yang mereka tularkan, termasuk demam West Nile dan demam kuning. Namun perubahan iklim juga membawa orang lebih dekat dengan patogen. Cuaca ekstrem menyebabkan perpindahan dan migrasi paksa ribuan orang di beberapa bagian dunia yang paling rentan sehingga kontak antara manusia dan patogen meningkat.

Para peneliti telah menghubungkan gelombang panas dengan meningkatnya penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air seperti Vibrio atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan gastroenteritis. Sementara badai, banjir, dan kenaikan permukaan laut dikaitkan dengan penyebaran kolera, pneumonia, tipus, hepatitis, dan penyakit pernapasan dan penyakit kulit antara lain.

 

Sistem Kekebalan Tubuh Melemah

Selain menyebabkan penyakit semakin memburuk, perubahan iklim juga membuat sistem kekebalan tubuh manusia melemah. Itu karena tekanan tambahan dari kondisi berbahaya, situasi hidup yang tidak aman, dan akses yang tidak pasti ke layanan kesehatan yang dialami orang setelah peristiwa cuaca ekstrem.

"Mengingat konsekuensi luas dan meluas dari pandemi Covid-19, sungguh menakutkan untuk menemukan kerentanan kesehatan besar-besaran yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari emisi gas rumah kaca," ujar seorang profesor geografi di College of Social Sciences (CSS) dan memimpin penulis studi, Camilo Mora, dalam sebuah pernyataannya. 

Sayangnya, kata Camilo Mora, ada terlalu banyak penyakit dan jalur penularan. Oleh karena itu manusia harus benar-benar dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Kondisi ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global. Akan tetapi, kata dia, ada juga beberapa berita positif yang terungkap dalam laporan tersebut.

Sementara sebagian besar penyakit menjadi lebih buruk karena peristiwa ekstrem terkait perubahan iklim, beberapa menjadi lebih baik. Virus dan patogen yang tidak dapat bertahan hidup di suhu yang lebih hangat sebenarnya berkurang. Namun ini hampir tidak mengimbangi parahnya penyakit yang diderita karena cara emisi gas rumah kaca memengaruhi iklim bumi. 

Dengan demikian tidak mungkin manusia dapat beradaptasi pada waktunya untuk menghadapi penyakit yang lebih kuat dan lebih luas ini. Maka dunia perlu mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim untuk mengurangi risiko ini.

“Dengan perubahan iklim yang memengaruhi lebih dari 1.000 jalur transmisi seperti itu dan bahaya iklim yang semakin meningkat secara global, kami menyimpulkan bahwa mengharapkan masyarakat untuk berhasil beradaptasi dengan semuanya bukanlah pilihan yang realistis,” tulis penulis studi dalam sebuah artikel yang diterbitkan di The Conversation.

 
Berita Terpopuler