Junta Myanmar Eksekusi Empat Aktivis

Keempat aktivis itu dihukum mati pada Januari.

AP Photo
Demonstran menutup jalan utama di Mandalay, Myanmar, Ahad (28/2). Otoritas militer Myanmar telah mengeksekusi empat aktivis demokrasi yang dituduh membantu melakukan aksi teror.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Otoritas militer Myanmar telah mengeksekusi empat aktivis demokrasi yang dituduh membantu melakukan aksi teror. Ini adalah eksekusi pertama di Myanmar dalam beberapa dekade.

Baca Juga

Media pemerintah pada Senin (25/7/2022) melaporkan, keempat pria itu dihukum mati pada Januari. Mereka dituduh membantu milisi memerangi tentara Myanmat yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun lalu, dan melancarkan tindakan keras berdarah terhadap lawan-lawannya. Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG), atau sebuah pemerintahan bayangan yang dilarang oleh junta militer yang berkuasa, mengutuk eksekusi tersebut.

"Sangat sedih. Kami mengutuk kekejaman junta dengan istilah yang paling keras jika itu yang terjadi. Komunitas global harus menghukum kekejaman mereka," kata juru bicara kantor presiden NUG, Kyaw Zaw kepada Reuters.

Surat kabar Global New Light of Myanmar melaporkan, keempat pria yang dieksekusi adalah tokoh demokrasi Kyaw Min Yu atau lebih dikenal sebagai Jimmy, serta mantan anggota parlemen dan artis hip-hop Phyo Zeya Thaw. Dua orang lainnya adalah sekutu pemimpin Myanmar terguling Aung San Suu Kyi, yaitu Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw.

Thazin Nyunt Aung, istri Phyo Zeya Thaw, mengatakan, dia belum menerima pemberitahuan tentang eksekusi suaminya. Sementara kerabat lainnya tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. 

Keempat pria itu telah didakwa di bawah undang-undang kontra-terorisme dan hukum pidana. Surat kabar Global New Light of Myanmar melaporkan, hukuman dilakukan sesuai dengan prosedur penjara. Namun surat kabar itu tidak menjelaskan lebih lanjut. Sebelumnya, eksekusi di Myanmar dilakukan dengan cara digantung.  

Sebuah kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), mengatakan, eksekusi yudisial terakhir di Myanmar terjadi pada akhir 1980-an. Seorang juru bicara militer tidak segera menanggapi panggilan telepon untuk dimintai komentar. Bulan lalu juru bicara militer Zaw Min Tun mengatakan, hukuman mati itu dibenarkan dan digunakan di banyak negara.

 

"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka. Bagaimana Anda bisa mengatakan ini bukan keadilan? Tindakan diambil untuk dilakukan pada saat-saat yang diperlukan," ujar Zaw Min Tun.

Hukuman mati itu menuai kecaman internasional. Dua pakar PBB menyebut eksekusi ini sebagai upaya keji untuk menanamkan rasa takut di kalangan masyarakat. 

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang merupakan ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), pada Juni mengajukan sebuah surat kepada pemimpin junta Min Aung Hlaing untuk tidak melakukan eksekusi. Dalam suratnya, Hun Sen menyampaikan keprihatinan mendalam terkait kondisi di Myanmar.

Junta Myanmar telah mengutuk pernyataan negara asing terkait perintah eksekusi. Junta meminta negara lain jangan campur tangan dalam urusan internal Myanmar. 

Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta tahun lalu. Konflik menyebar secara nasional setelah tentara menghancurkan sebagian besar aksi protes damai di kota-kota. AAPP mengatakan, lebih dari 2.100 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta.

Analis Myanmar dari kelompok International CRISIS, Richard Horsey, mengatakan, gambaran kekerasan yang sebenarnya sulit untuk dinilai karena bentrokan telah menyebar ke daerah yang lebih terpencil, di mana kelompok pemberontak etnis minoritas juga memerangi militer.  Eksekusi terbaru menutup peluang untuk mengakhiri kerusuhan.

"Setiap kemungkinan dialog untuk mengakhiri krisis yang diciptakan oleh kudeta kini telah dihapus. Ini adalah rezim yang menunjukkan bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya dan tidak mendengarkan siapa pun. Ia melihat ini sebagai demonstrasi kekuatan, tetapi ini mungkin salah perhitungan yang serius," ujar Horsey kepada Reuters.

 

 

 
Berita Terpopuler