Umat Islam dan Media: Melihat ‘Deus Absconditus’ pada Kasus Holywings

Umat Islam sadar dan waspada ada tangan tak terlihat dalam kasus Holywings.

Wihdan Hidayat / Republika
Spanduk peringatan penutupan tempat usaha terpasang di pintu masuk Bar dan Restoran Holiwings Yogyakarta, Kamis (30/6/2022). Pemkab Sleman mengikuti wilayah lain ikut menutup outlet Holiwiy. Ada beberapa pertimbangan penutupan outlet Holywings Jogja tersebut, yaitu operasional usaha Bar dan Resto Holywings belum sesuai dengan ketentuan Perda maupun Perkada Kabupaten Sleman. Selanjutnya, usaha tempat huburan malam tersebut juga dinilai telah menimbulkan kegaduhan dan mengganggu ketentraman masyarakat serta ketertiban umum.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA: Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika dan Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Dalam sepekan terakhir di bulan Juli 2022 ada berita menyentak. Tiba-tiba meluncur penawaran untuk minum gratis minuman beralkohol di jaringan pub elite di ibu kota yang berada di bilangan distrik CBD Jakarta: Holywings. Melalui media Instagram mereka menawarkan minuman gratis ‘gin tonik’ kepada pengunjung yang menyandang nama Muhammad dan Maria.

Sontak saja minuman ini berbuah kehebohan di media sosial. Sadar memicu kehebohan langsung pihak Holywings menghapus iklan itu. Sayang, penawaran itu keburu di-chapter (disalin) para pengguna media sosial. Imbasnya isu itu segera menjadi liar. Tak lama kemudian, sehari berselang sudah muncul demontrasi dari umat Islam dan ormas. Mereka tak terima akan penyandingan kedua ‘nama suci’ itu dengan minuman beralkohol (khmar). Ustadz kondang Das’ad Latif, misalnya, muncul di tayangan Youtube sembari menangis haru ketika mengomentari itu. Pemuka agama Islam dan Katolik turut protes. Warga Nasrani di Manado juga memprotesnya sembari mendatangi bar Holywings yang ada di kotanya. 

Media tentu saja melahap soal ini. Kasus promosi minuman keras Holywings jadi sumber berita dengan  tak lupa sebagai cara untuk melakukan spasiliasasi atau menangguk uang (acent) hingga membuat framing. Bahkan tak luput akhirnya selain berlabuh menjadi soal pidana, masalah ini berubah juga menyerempt soal lain, bahkan sudah menjadi framing media dalam isu politik. 

Media internasional dari berbagai penjuru dunia baik itu Eropa, Amerika Serikat, India, Arab, Turki dan lainnya juga menulis kehebohan ini. Bila disimpulkan secara sederhana, media internasional heran mengapa soal-soal ‘Islamophobia’ seperti itu muncul di Indonesia yang mereka sebut dengan imajinasi dengan sebutan sebagai ‘negara Muslim’ (negara terbesar di dunia yang penduduknya beragama Islam).

Uniknya, keterkejutan mereka hampir bersamaan dengan munculnya berbagai aksi kekerasan kepada Muslim India yang juga menghebohkan dunia. Bahkan yang terakhir kasus ini menjadi heboh luar biasa karena di sebuah kota di India ada dua orang dipenggal kepalanya karena selama ini dituding bersikap ‘anti Islam’. Isu pun sama dengan di Jakarta, penghinaan kepada sosok Nabi Muhammad SAW.

Selain itu pada pekan-pekan yang sama, majalah ekonomi terkemuka dunia yang terbit di Inggris The Economist juga membuat tulisan menyengat mengenai Indonesia. Majalah yang menjadi bacaan wajib pelaku bisnis dunia menerbitkan tulisan bertajuk: 'Indonesia's campaign against Islamists is a ploy to silence critics' (Kampanye Indonesia melawan Islamis adalah taktik untuk membungkam para kritikus) yang terbit pada 23 Juni 2022. Tulisan dimasukkan dalam kategori kajian mengenai persoalan Asia dengan tajuk: Illusory extremists ( Ekstremis ilusi).

 

Bagaimana Sikap Umat Islam Indonesia?
 
Adanya beragam kelindan wacana dari framing politik hingga keinginan menangguk ‘fulus’ dari berita Holywings yang bersamaan dengan masih munculnya Islamofobia diberbagai belahan dunia, tentu saja harus membuat umat Islam Indonesia waspada agar tidak mudah terpancing aneka provokasi.

Umat Islam sudah sadar bahwa segala proyek terkait Islamofobia adalah proyek internasional yang jelas didukung kekuatan yang ekstra, yakni itu dapat melalui media maupun modal. Semua tahu proyek semacan ini sumber munculnya setelah terjadinya peristiwa runtuhnya menara kembar gedung World Trade Center’ di New York pada tahun 1999. Amerika Serikat saat itu marah besar. Presiden George Bush langsung mengatakan: Bersama kami (AS) atau menjadi musuh kami. Dia bahkan menyebut sebagai ‘Crusade’.

Mulai saat itulah framing media barat yang kemudian diikuti media Indonesia mengkaitkan agama Islam sebagai agama teror yang dipenuhi kaum radikal atau jihadis. Kata jihad melenceng artinya menjadi bunuh, perang, dan bom. Padahal arti aslinya jihad adalah bersunggung-sungguh. 

Tak hanya Muslim dunia, umat Islam di Indonesia juga terkapar dan terpapar atas framing ini. Padahal di balik itu semua ada modal yang sangat besar ‘memboster’-nya. Menteri Luar Negeri kala itu, Hillary Clinton, misalnya selang beberapa waktu kemudian ternyata diketahui menyepornsoro pembentukan ISIS yang menakutkan itu. Fakta ini terkuak dalam kampanye debat presiden AS dahulu kala Hillarry bersaing dengan Donald Trump.

 
Keterangan foto: Iklan minuman Holywings yang menghebohkan - (mirror.co.uk)

 

Maka, dalam hal ini pujian patut dialamtkan kepada pihak keamanan dan pihak pemerintah terkait. Mereka sigap membuat antisipasi sehingga tak membuat umat Islam marah hingga misalnya --yang paling ringan mengulang kembali aksi 212 gara-gara ada pihak yang ceroboh bermain isu SARA. Ingat dahulu juga kasus seperti Holywings juga pernah terjadi ketika ada survei yang memainkan simbol nabi melalui sebuah majalan hiburan yang kala itu tengah dalam masa puncaknya: Majalah Monitor. Dahulu kehebohan juga teredam karena aparat cermat dan tegas. Kenyataan ini sedikit terasa beda ketika terjadi pada polemik soal terjemahan surat Al Maidah beberapa tahun silam. Kala itu aparat terlibat sedikit gamang karena soalnya langsung menyangkut ke ‘jantung kekuasaan’. Akibatnya kasus itu membesar tak kerauan dan hanya membuat luka dan pembelahan publik.

Syukurlah beban itu kini hilang. Umat Islam sendiri makin dewasa dan sadar sepenuhnya adanya framing isu media yang bisa terus menggorengnya demi tujuan kepentingan finansial. Ke depan semua umat Islam jelas tetap ingin melihat dan merasakan kondisi negara tercinta ini tetap ramah, toleran, dan tidak membuat masalah perbedaan seolah tak bisa diselesaikan dengan adil. 

 

 

 

 

 

 

Memahami Media Era Digital dan Teknologi Informasi

Memang patu disyukuri umat Islam masa kini mulai dan sudah memahami bahwa media yang kini mulai merambah dunia digital serta teknologi informasi. Ini selaras dengan apa yang ditengarai cendikian Macedonia, filsuf Prof Ferid Muhic. Ia menulis laporan ‘Muslim of Macedonia Identity Challenges and And Uncertain Future’. Muhic menegaskan:

“Kelompok anti-Islam sekarang tak henti-hentinya berupaya mencemarkan nama baik Islam dan melawan kehadiran Muslim melalui tekanan politik, budaya, dan pemberitaan media”. Dan Muhic menuliskan keadaan ini bercermin pada pengalamannya selaku seorang Muslim Eropa yang budayanya kini menguasai dunia.

Muhic mengingatkan, beberapa kelompok ekstremis sayap kanan dan kalangan politisi berhaluan kanan neofasis telah meluncurkan kampanye di sejumlah negara Eropa Barat untuk mendorong ketakutan mereka terhadap Islam. Ini sudah terlihat secara kasat mata di Jerman, Prancis, Belanda, Swedia, Denmark, dan wilayah lain yang kuyup hidup dalam budaya Eropa (barat).

Pada tulisan lain, Muhic juga menengarai adanya kekuatan yang tersembunyi di balik bising dunia digital dan media terkait HAM demokrasi bila terkait umat Islam. Salah satunya adalah adanya kekuatan yang tersembunyi di balik dunia digital masa kini, terutama ketika terjadi pandemic Covid-19 melanda dunia. 

Muhic yang kelahiran Bosnia itu lebih lanjut menyatakan bila sebenarnya ada instrument tangan penguasa yang terlihat tapi tersembunyi: Deus absconditus (dewa tersembunyi/the invisible ruler). Adanya hal ini sebenarnya juga menjadi penanda bahwa kebebasan manusia sebagai individu sebenarnya telah berakhir.

Alhasil, saat sekarang, untuk rakyat Indonesia hanya dapat menunggu hadirnya toleransi sejati yang tidak hanya slogan semata. Mereka yang mayoritas Islam ini menanti jargon Pancasila di mana  sila pertamanya berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dapat benar-benar diimpelentasikan dalam kehidupan bersama. Isu ‘radikal-radikul’ tidak usah lagi menjadi gincu dari framing media dari ‘deus obsonditus’, namun  akan mampu menjadi kenyataan hidup keseharian yang lebih substantif dan beradab.

 

 

 

 
Berita Terpopuler