Menakar Pro dan Kontra Legalisasi Ganja Medis

Pemerintah dan DPR diharap tidak terburu-buru melegalkan penggunaan ganja medis.

Prayogi/Republika.
Orang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) bersama Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Prof Musri Musman (kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat tersebut mendengar aspirasi dari masyarakat terkait legalisasi ganja untuk medis.Prayogi/Republika.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara

Penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan di Indonesia tidak diperbolehkan. Upaya untuk melegalkan penggunaan ganja sebagai bahan baku obat kini mencuat. Apalagi penggunaan ganja medis sudah banyak diakui dan disahkan secara hukum oleh beberapa negara di dunia.

Hari ini Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait legalisasi ganja medis. Salah satu pendapat yang didengar adalah Ketua Pembina Yayasan Sativa Prof Musri Musman. Ia mengatakan senyawa cannabidiol (CBD) dalam ganja tidak akan menimbulkan adiksi. CBD merupakan salah satu senyawa yang aktif yang terkandung di dalam ganja

"Sudah ditemukan bukti bahwa pemberian 300 miligram, hingga 600 miligram per hari kepada para penderita celebral palsy tidak mendatangkan mabuk, tidak membahayakan. Tidak mendatangkan adiksi," kata Musri dalam RDP yang digelar Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022).

Musri juga mengungkapkan bahwa minyak biji ganja pun mengandung banyak manfaat. Salah satunya mengandung edestin dan albumin.

"Daya cerna yang diberikan oleh minyak ganja ini itu mampu diserap 100 persen oleh tubuh, jadi tidak ada istilahnya itu akan meracuni akan memabukkan. Karena di sana mengandung yang disebut edestin 65 persen, dan albumin 35 persen. Itu persis seperti kita makan telur ayam," ujarnya.

Selain itu minyak biji ganja juga mengandung omega-6 dan omega-3. Mursi menambahkan, terdapat juga sejumlah vitamin, seperti vitamin B1, B2 yang bisa digunakan untuk mencegah stunting,

"Karena nutrisinya tinggi, dengan demikian kebermanfaatan minyak biji ganja ini tidak hanya semata-mata untuk medis, tetapi untuk nutrisi juga. Itu perlu diperhatikan," ungkapnya.

Selain bermanfaat untuk kesehatan tanaman ganja juga bisa memberikan manfaat ekonomi. Musri mengungkapkan manfaat ekonomi yang bisa didapat mencapai hingga Rp 34,8 triliun.

"Saya informasikan, bila seribu hektare area tanah yang tidak subur diberikan ke saya, maka saya akan bisa menghasilkan minyak cannabinois dengan total anggaran Rp 34,8 triliun satu tahun hasilnya," kata Musri. "APBD Aceh itu bisa disubsidi dengan seribu hektare tanah tadi," sambungnya, diikuti tepuk tangan anggota dewan yang hadir.

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan Komisi III akan mempertimbangkan adanya masukan yang meminta agar memperbolehkan penggunaan tanaman ganja dimanfaatkan untuk kesehatan. "Komisi III akan mempertimbangkan masukan tersebut di dalam proses pembahasan RUU tentang narkotika, baik dari perspektif kesehatan, pengawasan, dan penegakan hukum bersama dengan pemerintah," kata Desmond.

Apabila masukan tersebut telah mendapat hasil kajian atau penelitian secara lebih komprehensif dan mendapat persetujuan bersama, Panja RUU Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan untuk menyarankan pemerintah mengeluarkan tanaman ganja dari daftar narkotika golongan I ke golongan II atau golongan III agar bisa diakses oleh masyarakat yang membutuhkan dari aspek kesehatan.

"Tentunya perumusan pasal-pasal ke depan adalah melakukan pembatasan-pembatasan yang sifatnya pengawasan. Tadi juga dalam rapat kemungkinan akan dibentuk badan atau tiga lembaga, menteri kesehatan, kepolisian, dan BNN untuk melokalisir wilayah-wilayah untuk melakukan pengawasan agar tidak terlalu liar," ujarnya.

Desmond mengatakan RDPU kali ini merupakan upaya Komisi III menyerap aspirasi masyarakat. Adapun pihak yang kontra lantaran banyak yang belum paham manfaat ganja. Komisi III akan menggelar FGD dengan melibatkan pakar di bidang kesehatan.

"Kita akan melakukan FGD, melibatkan semua pakar kesehatan IDI dan macam-macam dalam rangka membicarakan tentang mana zat-zat yang harus kita keluarkan mana zat-zat yang harus kita tambah. Kita akan lihat itu, yang jelas ada zat-zat kimia, ada zat-zat yang kimia, kalau kimia sudah jelas dampaknya, ini harus ada kajian yang lebih jelas mudharat dan manfaatnya," tuturnya.

Pemohon uji materil UU Narkotika, Santi Warastuti, juga turut hadir dalam RDPU tersebut. Selain Santi, hadir juga tim kuasa hukum Santi, Singgih Tomi Gumilang, Ketua Pembina Yayasan Sativa Prof Musri Muswan dan Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Dhira Narayana.




Baca Juga

Indonesia Halal Watch(IHW) meminta Pemerintah Indonesia tidak latah terhadap kebijakan di negara lain seperti melegalkan ganja yang kini berlaku di negara Thailand. "Jadi kita tidak perlu latah soal hukum, apa yang terjadi di Thailand yang melegalkan penggunaan ganja, cukup saja di Thailand. Kita tidak perlu ikutan," katar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah dalam keterangan tertulis, Kamis.

Ia mengatakan Indonesia sudah tumbuh dan hidup dengan tatanan hukumnya sendiri serta warna akhlak yang religius sesuai dengan falsafah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Ikhsan Abdullah yang juga Wakil Sekjen MUI bidang Hukum dan HAM ini menilai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika sudah mengatur dengan jelas, yakni ganja hanya boleh digunakan untuk kepentingan kesehatan, penelitian, pendidikan, dan teknologi.

"Tetapi penggunaannya tetap harus ada rekomendasi dari dokter. Bila digunakan untuk mengobati pasien atau untuk orang yang sakit maka wajib meminta izin dari Kementerian Kesehatan," katanya.

Karena itu, menurut dia, sudah tidak perlu lagi DPR mengajak masyarakat untuk mengkaji dan membahas perihal pemanfaatan ganja untuk medis. Ia mendorong DPR untuk tetap berpegang teguh pada UU yang berlaku.

"Karena materi ganja dan kondisi sosiologis dan teologis bangsa Indonesia masih tetap tidak berubah seperti di Thailand misalnya. Yang tidak boleh atau dilarang adalah bila pemakaiannya disalahgunakan," kata Ikhsan Abdullah.

Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional Bidang Farmasi Mufti Djusnir menuturkan, pemanfaatan ganja untuk pengobatan harus berdasarkan pada bukti ilmiah alias evidence base. Hal ini mengingat dampak buruk senyawa di dalam ganja yakni delta-9 tetrahydrocannabinol atau THC bagi tubuh, salah satunya menyebabkan pengapuran sel otak.

"Konsekuensinya, kalau seseorang yang kemampuan mengikat oksigen di otaknya sangat rendah, maka orang itu menjadi bodoh jadinya," kata dia, Rabu (29/6/2022).

Studi dari para pakar terkait obat-obatan di Organisasi Kesehatan Dunia (ECDD WHO) pada 2020 menunjukkan cannabidiol (CBD) yakni senyawa dalam ganja bermanfaat untuk pengobatan epilepsi pada anak-anak. Akan tetapi, tak semudah itu mendapatkan CBD dari tanaman ganja. Dia mengatakan, rekayasa genetika dibutuhkan di sini.

"Kandungan ganja itu yang dominan THC. Kalau belum ada rekayasa genetika, kandungan THC mencapai 97 persen, CBD itu kandungannya 0,00 sekian (dua digit di belakang koma)," ujar dia.

Untuk pengobatan epilepsi sendiri, menurut dia, saat ini ada sekitar 10 jenis obat yang bisa dipilih pasien sehingga tak harus bergantung pada CBD. Ia pun meminta pemerintah dan penentu kebijakan berhati-hati mengambil langkah terkait pemanfaatan ganja untuk medis.

Sementara pakar hukum narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Dr Slamet Pribadi, mengatakan, DPR sebaiknya tidak terburu-buru mengambil keputusan terkait legalisasi ganja. Ia meminta DPR mendengarkan pertimbangan pendapat pihak-pihak yang meneliti dampak panjang penggunaan ganja.

"Saya berpendapat, bahaya ganja dipakai untuk berkepanjangan itu sangat bahaya. Kalau untuk medis, butuh resep dokter," kata dia.

Menurut dia, penggunaan ganja berkepanjangan lalu mencapai ketergantungan bisa menyebabkan masalah seperti keterlambatan berpikir, masalah di pengambilan keputusan serta mengurangi sistem imun tubuh pengguna. "Negara-negara yang sudah melegalkan ganja sudah pusing dengan banyak kecelakaan lalu-lintas, persoalan sosial. (Dampak ganja) positifnya ada, tetapi negatifnya lebih banyak," tutur dia.

Ahli yang pernah menjabat sebagai kepala bagian humas Badan Narkotika Nasional itu menuturkan, UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika, pada pasal 7 membolehkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan atas seizin atau rekomendasi dari pihak terkait khususnya Kementerian Kesehatan dan Badan POM. "Jadi, narkotika itu boleh digunakan, yang tidak boleh itu disalahgunakan. Khusus untuk ganja (pasal 7 dan 8 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika) kalau memang itu ada manfaat untuk kesehatan, silakan mengajukan izin. Kalau memang untuk medis," kata dia.

Namun hingga saat ini belum ada aturan detil mengenai perizinan ini. Dia mendorong Kementerian Kesehatan mengeluarkan aturan terkait hal ini sehingga masyarakat yang membutuhkan bisa memahaminya.

"Saya belum lihat peraturan pelaksanannya yang mengatur bagaimana mengajukan izin soal ganja (untuk medis)," kata dia.

Infografis Kolombia Izinkan Ekspor Ganja Kering - (Republika)

 
Berita Terpopuler